• Jumat, 10 Januari 2025

Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Migran, Rifandy: Implementasi di Lapangan Sering Tidak Optimal

Kamis, 09 Januari 2025 - 13.27 WIB
29

Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung, Rifandy Ritonga. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI) selama tahun 2024 masih menghadapi berbagai tantangan, khususnya bagi pekerja asal Provinsi Lampung yang menjadi penyumbang terbesar kelima.

Meskipun Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) telah menjadi landasan hukum yang jelas, implementasianya di lapangan dianggap masih sering tidak optimal.

Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung, Rifandy Ritonga menilai, masih banyak pekerja migran terutama yang bekerja di sektor informal seperti rumah tangga menjadi korban kekerasan, pelecehan, bahkan berujung pada kematian.

Hal tersebut menurutnya disebabkan atas lemahnya pengawasan terhadap majikan dan lingkungan kerja di negara tujuan, ditambah minimnya pendampingan hukum dari pemerintah, membuat mereka rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia.

"Selain itu, edukasi yang belum memadai sebelum keberangkatan serta akses komunikasi yang terbatas selama bekerja di luar negeri semakin memperburuk kondisi mereka," kata Rifandi, saat dimintai tanggapan, Kamis (9/1/2025).

Rifandi menyebut, dengan tingginya angka keberangkatan PMI ilegal juga menjadi masalah serius. Faktor utama yang mendorong calon PMI memilih jalur ilegal yakni besarnya biaya yang harus dikeluarkan, prosedur administrasi yang rumit, serta lamanya waktu proses untuk menjadi PMI resmi.

"Banyak di antara mereka terjebak dalam rayuan agen atau calo yang menjanjikan keberangkatan cepat, meskipun tanpa perlindungan hukum yang memadai," katanya.

Baca juga : Lampung Kirim 25.162 Pekerja Migran Selama 2024, Terbanyak Kelima Nasional

Di sisi lain lanjut Rifandy, tekanan ekonomi, minimnya peluang kerja di dalam negeri, serta ketidaktahuan akan risiko besar menjadi pendorong utama para PMI mengambil langkah berbahaya tersebut.

"Melihat banyaknya kasus yang menimpa PMI, khususnya yang berasal dari Lampung, diperlukan upaya yang lebih serius dari pemerintah. Pengawasan terhadap agen penyalur tenaga kerja harus diperketat untuk memastikan perjanjian kerja memenuhi standar hukum internasional," ucapnya.

Lebih lanjut Rifandy, adanya edukasi dan pelatihan yang komprehensif bagi calon PMI juga menjadi hal yang mendesak, agar mereka memahami hak-hak dan kewajibannya di negara tujuan.

"Pemerintah juga perlu menjalin kerja sama bilateral yang lebih kuat dengan negara-negara tujuan untuk menjamin perlindungan hukum yang lebih efektif," imbuhnya.

Baca juga : Fenomena Pekerja Migran Lampung: Antara Harapan Ekonomi dan Tantangan Perlindungan

Selain itu, penyederhanaan prosedur administrasi dan penurunan biaya penempatan juga sangat penting untuk mendorong masyarakat memilih jalur legal.

Sebagai salah satu daerah dengan jumlah pengiriman PMI yang signifikan Rifandy menganggap bahwa Provinsi Lampung membutuhkan perhatian khusus.

"Pemerintah daerah harus berperan lebih aktif dalam memperkuat fungsi (BLK) Balai Latihan Kerja dan mengawasi kinerja agen penyalur PMI. Mekanisme pelaporan yang mudah, cepat, dan aman bagi PMI yang menghadapi masalah di luar negeri juga perlu disediakan," tegasnya.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan para PMI tidak hanya disebut sebagai 'pahlawan devisa', tetapi juga benar-benar mendapatkan perlindungan yang layak dan sesuai dengan martabat mereka sebagai manusia.

"Pemerintah harus memastikan bahwa setiap PMI, baik yang resmi maupun yang rentan terjebak jalur ilegal, memiliki akses terhadap perlindungan hukum, kesejahteraan, dan keamanan yang lebih baik di masa depan," ungkasnya. (*)