• Jumat, 15 November 2024

Melihat Kehidupan Petani Singkong di Lampung (Habis), Cabut Izin Perusahaan Nakal

Kamis, 25 Februari 2021 - 07.55 WIB
860

KPPU tengah mengkaji dan memetakan struktur pasar ubi kayu di Lampung, termasuk dugaan adanya praktik monopoli maupun oligopoli bisnis ubi kayu yang dilakukan oleh perusahaan.

Bandar Lampung, Kupastuntas.co - Perusahaan tepung tapioka yang terbukti melakukan praktik oligopoli bisa terancam denda Rp1 miliar, sesuai UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1999. KPPU pun bisa merekomendasikan pencabutan izin perusahaan.  

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kantor Wilayah II Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, Bengkulu, Bangka Belitung saat ini sedang melakukan kajian terhadap komoditas ubi kayu atau singkong yang dihasilkan oleh petani di Provinsi Lampung. Hal itu dilakukan menindaklanjuti adanya harga singkong di tingkat petani yang fluktuatif, sehingga kerap merugikan petani.

Kepala Kantor KPPU Kantor Wilayah II, Wahyu Bekti Anggoro mengatakan harga komoditi ubi kayu yang dihasilkan oleh petani Lampung tidak menentu dan terus berfluktuasi, baik mengalami kenaikan juga sering mengalami penurunan yang membuat petani sering merugi.

"Permasalahan dari industri ubi kayu di Lampung ini disebabkan karena tidak adanya pedoman dan regulasi yang mengatur terkait standar baku dalam perhitungan dan pengukuran refraksi dari ubi kayu itu sendiri," kata Wahyu, Rabu (24/2).

Untuk itu, lanjut dia, saat ini KPPU tengah melakukan kajian dan pemetaan terhadap struktur pasar ubi kayu di Lampung, termasuk adanya dugaan praktik monopoli maupun oligopoli bisnis ubi kayu yang dilakukan oleh sebagian perusahaan.

Baca juga: Melihat Kehidupan Petani Singkong di Lampung Bagian 2, Omzet Perusahaan Tembus 1 Miliar per Hari

"Sampai saat ini kajiannya masih dalam proses dan belum selesai. Termasuk perusahaan yang terlibat didalamnya. Juga penetapan harga singkong yang dilakukan secara sepihak. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini sudah bisa keluar hasilnya," ujar dia.

Wahyu menerangkan, kajian terhadap komoditas singkong memerlukan waktu yang lama. Karena KPPU harus meminta keterangan dari semua perusahaan maupun instansi yang terlibat di dalam bisnis singkong.

"Kajian singkong memakan waktu yang lama karena perusahaan harus diminta keterangan langsung. Dari instansi juga langsung diminta keterangan termasuk perusahaan tapioka itu memakan waktu yang panjang," ungkapnya.

Wahyu menegaskan, jika terbukti ada perusahaan yang melakukan praktik monopoli dengan menguasai penuh penjualan maupun praktik oligopoli dimana beberapa perusahaan melakukan penguasaan penuh pembelian bahan baku, dapat dikenakan sanksi denda minimal Rp1 miliar sesuai yang tercantum pada UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang merubah besaran denda dari UU 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

"Untuk sanksi saat ini kita sudah menggunakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang merubah besaran denda dari UU No. 5 Tahun 1999 , yaitu minimal Rp1 miliar tanpa besaran denda maksimal. Tapi KPPU juga bisa memberikan rekomendasi sampai ke pencabutan izin," lanjut Wahyu.

Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung, Satria Alam didampingi Kabid Perdagangan Dalam Negeri, Zimmi Skil menjelaskan bahwa ubi kayu merupakan barang bebas yang tidak diatur oleh Kementerian Perdagangan.



Karena hal tersebut maka otomatis harganya sesuai dengan harga pasaran atau hukum pasar dan pabrikan. "Karena tidak ada regulasi maka terjadilah harga pasar antara petani dan pabrik. Ada kesepakatan antara petani dan pabrik seperti ketetapan kadar air yang harus diikuti oleh petani supaya kualitas singkong masuk dalam kriteria perusahaan. Namun jika kualitas tersebut rendah maka akan mempengaruhi penurunan harga," jelas dia.

Meskipun demikian, kata Satria, pemerintah daerah wajib melakukan koordinasi dalam menggeliatkan pemasaran produksi ubi kayu. Seperti ekspor tapioka atau ekspor UMKM hasil olahan ubi kayu.

Ia menerangkan, pada tahun 2019 lalu, Lampung berhasil mengekspor tapioka sebanyak 24,4 ton ke negara Cina. Namun pada tahun 2020, ekspor tersebut terhenti akibat tidak adanya permintaan dari negara tersebut karena adanya pandemi Covid-19.

Untuk itu, kata dia, pada tahun 2021 ini pemerintah akan menggeliatkan ekspor produk UMKM, salah satunya makanan hasil komoditas ubi kayu. Disperindag juga akan memberikan pelatihan kepada masyarakat dalam melakukan pengolahan singkong,  yang kemudian akan didorong ke pasar ekspor dan pasar dalam negeri.

"Kementerian sudah mulai koordinasi dengan beberapa negara seperti Swedia, Amerika, Cina, Jepang dalam menggalakan produk UMKM. Ditargetkan ada 500 ribu produk UMKM dari beberapa provinsi termasuk Lampung. Pelatihan dan bimtek juga akan dilakukan di industri pengolahan singkong, sehingga hasil olahan tersebut bisa didorong masuk ke perdagangan dalam negeri maupun luar negeri.

Dimintai tanggapannya, Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Bandar Lampung (UBL), Syahril Daud menerangkan rendahnya harga singkong di tingkat petani dikarenakan pasar ekspor tapioka yang dihasilkan oleh pabrikan mengalami hambatan akibat pandemi Covid-19.

Akibatnya, banyak tepung tapioka menumpuk di pasar dalam negeri. Sementara operasional perusahaan harus jalan dan petani tetap menanam singkong. Akibat kondisi tersebut, perusahaan terpaksa membeli singkong dengan konsekuensi harga murah.

“Memang tata niaga bisnisnya agak bermasalah, itu sebenarnya penyebab utamanya. Tapi kalau pasar ekspornya berjalan lancar, tentu bisa berjalan dengan baik,” ujar Syahril Daud, Rabu (24/2).

Menurutnya pemerintah daerah harus dapat memberikan solusi terhadap permasalahan tata niaga singkong tersebut, dengan membuat semacam regulasi untuk mengatur tata niaga agribisnis di dalam singkong dan tapioka.

Regulasi ini sangat diperlukan sehingga tidak ada lagi pihak yang merasa dirugikan. Seperti yang terjadi saat ini, dimana pihak petani merasa dirugikan oleh perusahaan.

“Harus ada kebijakan pemerintah untuk mengatur masalah harga singkong ini, terutama peraturan tata niaga. Contohnya pelaku usaha harus memberikan harga yang wajar, masih bisa saling menguntungkan. Karena di dunia agribisnis ini petani, pengolah, pasar itu merupakan satu kesatuan. Jadi pihak industri sangat bergantung pada pihak petani, dan petani juga tergantung dengan  pihak industri untuk mengolah hasil singkongnya,” terangnya.

Baca juga: Melihat Kehidupan Petani Singkong di Lampung Bagian 3, Perusahaan Diduga Lakukan Praktik Oligopoli

“Kalau harga tapiokanya lagi murah, jangan semua cost itu dibebankan kepada petani semua. Pengusaha itu jangan selalu berbicara untung dan untung saja,” lanjut dia.   

Daud mengakui, selama ini masih ada sejumlah perusahaan besar di Provinsi Lampung yang memainkan harga singkong di tingkat petani. Dia berharap konsumsi olahan singkong di dalam negeri dapat lebih ditingkatkan. Sebab selama ini pasar tapioka sangat tergantung pada  ekspor dan pemanfaatan di dalam negeri masih rendah. (Ria/Erik)

Berita ini sudah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas edisi Kamis (25/2/2021).


Video KUPAS TV : PROYEK MILIARAN GOR SABURAI KINI TERBENGKALAI

Editor :