• Jumat, 15 November 2024

Melihat Kehidupan Petani Singkong di Lampung Bagian 2, Omzet Perusahaan Tembus 1 Miliar per Hari

Selasa, 23 Februari 2021 - 08.26 WIB
2.5k

Sopir truk yang memuat singkong milik petani harus antri saat akan menjual di pabrik milik PT Budi Starch & Sweetener Lampung Timur, Senin (22/2). Foto: Agus/Kupastuntas.co.

Bandar Lampung, Kupastuntas.co - Perusahaan mampu memproduksi tepung tapioka sebanyak 100 ton setiap hari, dengan omzet mencapai Rp1 miliar. Keuntungan pengusaha semakin berlimpah, karena memiliki lebih dari satu perusahaan dan tersebar di sejumlah daerah.

Perusahaan tepung tapioka, PT Budi Starch & Sweetener di Kabupaten Lampung Timur menetapkan harga beli singkong dari petani sesuai kebijakan yang sudah ditetapkan manajemen perusahaan.

Humas PT  Budi Starch & Sweetener, Anwar mengatakan, saat ini pihaknya menetapkan harga beli singkong sebesar Rp830 per kg dengan potongan 20 persen.

Ia menjelaskan, perusahaannya tidak bermitra dengan lapak atau melakukan kontrak dengan beberapa lapak untuk mendapatkan bahan baku singkong. Perusahaan menerima langsung bahan baku singkong dari petani.

“Petani bisa langsung menjual sendiri singkongnya ke sini, dengan syarat setuju dengan harga yang ditentukan. Kami tidak ada sistem bermitra dengan lapak, siapa saja bisa jual ke sini dengan harga yang sudah ditetapkan perusahaan. Jika tidak sepakat kami persilahkan untuk menjual ke perusahaan lain," kata Anwar, Senin (22/2).

Ia mengungkapkan, setiap hari perusahaannya bisa menampung maksimal 400 ton singkong. Dengan bahan baku sebanyak itu, tepung tapioka yang bisa diproduksi mencapai 100 ton. Jika harga tepung tapioka dibanderol Rp10 ribu per kg, maka omzet perusahaan bisa mencapai Rp1 miliar dalam satu hari. Sementara PT  Budi Starch & Sweetener memiliki lima cabang perusahaan yang tersebar di Lampung Timur, Lampung Tengah, Lampung Utara dan Tulangbawang Barat .

“Untuk mendapatkan tepung tapioka itu perbandingannya 4 kilogram singkong menghasilkan 1 kilogram tapioka. Jadi 1 banding 4. Makanya kami hanya memaksimalkan 400 ton, karena target produksi kami 100 ton tapioka per hari," papar Anwar.

Ia melanjutkan, produksi tepung tapioka dikirim langsung ke induk perusahaan yang ada di Bandar Lampung. "Kami di sini sifatnya hanya memproduksi tapioka saja, melakukan penggilingan saja," ungkapnya.

Pernyataan yang sama disampaikan pegawai bagian personalia PT  Budi Starch & Sweetener di  Desa Gedung Ketapang, Kecamatan Sungkai Selatan, Lampung Utara, Kholil bahwa penetapan harga singkong berdasarkan perintah langsung pimpinan perusahaan di Bandar Lampung.

"Kalau harga beli singkong sudah ditetapkan pimpinan perusahaan di Bandar Lampung. Kita hanya menjalankan. Tidak ada kesepakatan dengan petani,” jelas dia.

Ditanya kriteria atau indikator dalam penetapan harga singkong, Kholil enggan menjawab. "Ini perusahaan bang, kalau mau jual ya harganya segitu. Dan kalau mau jelas nanti ketemu sama pimpinan saya, kalau masalah harga kenapa segitu dan hitungannya seperti apa, saya nggak tahu," ujar Kholil.

Sementara itu, Pimpinan PT Florindo Makmur di Bumi Nabung, Lampung Tengah,  Solihin mengungkapkan rendahnya harga singkong diakibatkan banyak perusahaan tapioka dalam tekanan pandemi.

Menurut Solihin, perusahaan tidak maksimal dalam menjual produk hasil olahan singkong selama pandemi. "Gudang kita penuh, terkendala di pemasarannya," ujar dia.

Di tempat terpisah, Kepala Dinas Ketahanan Pangan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung, Kusnardi mengatakan penurunan harga ubi kayu dampak dari pandemi Covid-19, yang berpengaruh terhadap menurunnya permintaan

"Di tengah pandemi Covid-19 seperti saat ini kan perekonomian lesu. Tentunya juga berpengaruh terhadap penurunan permintaan. Karena semua industri mengalami penurunan," katanya.

Ia melanjutkan, tidak stabilnya harga ubi kayu di tingkat petani, karena ubi kayu bukan barang yang harganya dikendalikan oleh pemerintah seperti beras, gula, minyak goreng yang sudah diatur harga eceran tertinggi (HET).

"Kita terus berupaya untuk menetapkan angka refraksi yang lebih objektif. Karena memang ubi kayu merupakan barang yang tidak dikendalikan harganya oleh pemerintah," terang Kusnardi.

Menurutnya, ubi kayu dapat dijadikan pangan lokal alternatif selama pandemi Covid-19. Pengembangan itu menjadi bagian dari program jangka panjang diversifikasi pangan pokok selain beras.

"Namun sekarang kan susah juga karena banyak masyarakat yang sudah tidak mau mengkonsumsi makanan dari ubi kayu seperti tiwul," papar dia.

Untuk diketahui, berdasarkan data Kementerian Perindustrian, ada 140 perusahaan yang memproduksi tepung tapioka secara Nasional. Dan sebanyak 71 perusahaan atau 50 persen lebih beroperasi di Provinsi Lampung.

Sebanyak 71 perusahaan tepung tapioka di Provinsi Lampung itu tersebar di 10 kabupaten/kota, yakni Tulangbawang Barat, Lamteng, Lamsel, Lamtim, Lampura, Tulang Bawang, Tulangbawang Barat, Mesuji, Pesawaran, dan Mesuji. Di Lampung Tengah berdiri paling banyak perusahaan tepung tapioka yakni 38 perusahaan atau 55 persen. (Agus/Towo/Riki/Ria)

Video KUPAS TV : ALAT PEMBAKAR LIMBAH DI LAMPUNG TAK BEROPERASI, ANGGARAN 4,8 MILIAR MUBAZIR (BAGIAN 5 – HABIS)

Editor :