• Rabu, 29 Oktober 2025

Soal Kebijakan TPP 2026, Pengamat Sebut Pemkot Metro Buat Gebrakan Revolusi Birokrasi Daerah

Rabu, 29 Oktober 2025 - 11.49 WIB
165

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Dharma Wacana Metro, Dr. (Cand.) Ari Gusnita. Foto: Arby/kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Gebrakan Pemerintah Kota (Pemkot) Metro yang menjadikan Rencana Hasil Kinerja (RHK) sebagai dasar utama pembayaran Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) tahun 2026 mendapat dukungan penuh dari berbagai kalangan.

Kebijakan itu dinilai sebagai langkah konkret yang bisa mengakhiri budaya “absen tapi dibayar” di tubuh aparatur sipil negara (ASN).

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Dharma Wacana (UDW) Metro, Dr. (Cand.) Ari Gusnita menyebut, keputusan Pemkot Metro ini sebagai revolusi birokrasi tingkat daerah yang berani dan berorientasi hasil.

"Kebijakan ini bukan hanya soal teknis penilaian kinerja, tapi soal moral publik. Selama ini ASN terbiasa dengan logika datang, absen, gajian. Kini logika itu dibalik: yang kerja dibayar, yang tidak kerja, tidak dibayar,” kata Ari, saat dikonfirmasi, Rabu (29/10/2025).

Menurutnya, kebijakan KPI bulanan berbasis bukti digital yang digagas Wakil Wali Kota Metro Dr. M. Rafieq Adi Pradana merupakan bentuk penerapan nyata prinsip pay for performance yang selama ini hanya berhenti pada wacana di banyak daerah.

"Sebagian besar daerah masih membayar TPP secara rata tanpa melihat hasil kerja. Metro melakukan lompatan penting dengan menjadikan kinerja sebagai basis fiskal, bukan basa-basi administrasi,” ujarnya.

Wanita yang juga merupakan dosen ilmu politik di UDW Metro itu menilai, sistem KPI bulanan yang diwajibkan dengan unggahan bukti digital akan mengubah pola perilaku ASN secara signifikan.

Ia menegaskan, selama ini sistem tahunan sering kali membuka ruang untuk manipulasi laporan di akhir tahun.

"Selama ini banyak ASN bekerja di akhir tahun demi laporan SKP. Dengan sistem bulanan, pegawai dipaksa konsisten bekerja dan melaporkan capaian riil setiap bulan. Itu mematikan pola malas menahun yang jadi penyakit birokrasi,” jelasnya.

Baca juga : Pemkot Metro Bakal Terapkan Kebijakan TPP Baru, ASN Malas Siap-siap Dievaluasi

Ia juga menggarisbawahi peran audit digital dalam sistem e-Kinerja/MyASN sebagai kunci akuntabilitas. Menurutnya, konsep TPP proporsional ini bukan hanya efisien secara fiskal, tapi juga adil secara moral.

"Audit trail digital itu penting karena membuat setiap bukti kerja punya jejak yang tidak bisa direkayasa. Metro benar mengambil jalur digitalisasi untuk memastikan kinerja tidak bisa dimanipulasi. Rakyat bayar pajak bukan untuk membiayai pegawai tidur di kantor. Jadi ketika pemerintah menautkan gaji tambahan dengan hasil kerja, itu sebenarnya cara paling jujur mengelola uang publik,” paparnya.

Dalam pandangannya, langkah Pemkot Metro menghapus paradigma TPP sebagai hak tetap adalah keputusan yang mendidik ASN untuk kembali pada esensi pelayanan publik.

"TPP bukan hak otomatis, melainkan penghargaan atas kinerja. Kalau pegawai malas tetap dibayar sama dengan yang rajin, itu ketidakadilan publik,” tegasnya.

Meski mendukung penuh, Ari Gusnita juga mengingatkan Pemkot Metro agar tak berhenti pada semangat awal.

Ia juga menilai, implementasi di lapangan harus disertai disiplin pengawasan, pendampingan, dan keberanian menindak ASN yang tidak patuh.

"Kebijakan sebaik apa pun akan gagal jika tidak ditegakkan. Jangan sampai ASN yang malas tetap mendapat jalan belakang. Kalau bukti tak diunggah, ya TPP nol. Itu harus dijalankan konsisten,” ujarnya tegas.

Ia juga mendorong agar setiap organisasi perangkat daerah (OPD) memiliki unit kecil verifikasi internal yang memastikan KPI bulanan tidak sekadar formalitas.

"Verifikasi lapangan tetap perlu, karena bukti digital bisa saja hanya administrasi. Pengawasan lapangan penting agar KPI benar-benar mencerminkan output kerja,” imbuhnya.

Pengamat itu juga melihat kebijakan ini sebagai angin segar bagi ASN berintegritas yang selama ini merasa bekerja keras tanpa penghargaan yang setimpal.

"Banyak ASN yang selama ini frustrasi karena kerja keras mereka disamakan dengan yang santai-santai. Sistem baru ini memberi keadilan bagi siapa yang berkontribusi, dia yang dihargai,” tuturnya.

Ari menyebut, Metro bisa menjadi model nasional reformasi ASN berbasis kinerja bulanan jika konsisten menjalankan mekanisme ini selama setahun penuh.

"Bila ini berhasil, saya kira akan banyak daerah meniru. Karena ini bukan sekadar kebijakan TPP, ini adalah perubahan cara berpikir birokrasi,” bebernya.

Ari juga mengapresiasi rencana Pemkot membuka ringkasan capaian ASN kepada publik melalui kanal resmi. Transparansi ini, menurutnya, merupakan langkah strategis untuk membangun kepercayaan warga.

"Langkah itu menegaskan bahwa ASN bukan bekerja untuk atasan, tapi untuk masyarakat. Ketika hasilnya bisa dilihat publik, pegawai akan lebih berhati-hati dan bangga dengan hasil kerjanya sendiri,” ujarnya lagi.

Pengamat tersebut bahkan menyarankan agar publik diberi ruang untuk memberi umpan balik atas capaian yang dirilis tiap bulan, terutama untuk unit pelayanan langsung seperti pendidikan, kesehatan, dan perizinan. Menurutnya, feedback publik itu bisa menjadi indikator sosial yang melengkapi KPI digital.

"Kebijakan TPP berbasis KPI bulanan adalah reformasi yang butuh nyali dan integritas. Tidak banyak kepala daerah berani mengambil langkah ini, karena kebijakan ini pasti menabrak kenyamanan banyak pihak. Tapi kalau Metro konsisten, ini akan jadi tonggak sejarah reformasi birokrasi di daerah. Ini kebijakan yang sederhana tapi revolusioner: yang kerja dibayar, yang malas tak diberi ruang. Begitulah seharusnya negara dijalankan,” tandasnya. (*)