Pengamat Unila: Pejabat Flexing Bisa Picu Krisis Kepercayaan Publik

Pengamat Sosial dari Universitas Lampung, Arif Sugiono. Foto: Ist.
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Larangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, agar kepala daerah dan pejabat publik tidak pamer kekayaan mendapat dukungan dari kalangan akademisi.
Pengamat sosial Universitas Lampung (Unila), Arif Sugiono, menilai instruksi tersebut sangat penting untuk dipatuhi.
Menurutnya, di tengah kondisi sosial ekonomi yang penuh tekanan, gaya hidup mewah pejabat maupun keluarganya dapat memicu kecemburuan sosial dan memperlebar jarak dengan rakyat.
"Pejabat publik harus lebih peka. Jangan sampai di saat masyarakat banyak mengalami kesulitan, justru mereka tampil mencolok dengan kemewahan. Itu hanya akan memperlebar jurang kesenjangan,” ujar Arif saat dimintai tanggapan, Rabu (3/9/2025).
Ia menambahkan, masyarakat saat ini semakin cerdas dan kritis dalam menilai pemimpinnya. Mereka bisa membedakan mana pejabat yang benar-benar berpihak kepada rakyat, dan mana yang hanya sibuk mempertontonkan gaya hidup glamor.
Jika pejabat terus gemar flexing, kata Arif, yang terancam hilang adalah kepercayaan publik, padahal kepercayaan merupakan modal utama pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.
Baca juga : Pemprov Lampung Ingatkan Pejabat dan ASN Jaga Kesederhanaan, Marindo: Jangan Flexing
Untuk mencegah hal tersebut, Arif mendorong lahirnya aturan internal di setiap instansi pemerintah yang tegas melarang aparatur pamer kekayaan, lengkap dengan sanksi yang jelas, agar tidak berhenti sebatas imbauan.
Ia juga menekankan pentingnya pejabat lebih sering terjun ke lapangan dan membaur bersama rakyat, sehingga terbentuk kedekatan emosional yang dapat mengikis jarak sosial.
"Gaya hidup sederhana pejabat publik akan menjadi sinyal positif bahwa pemerintah benar-benar hadir untuk rakyat. Sebaliknya, kemewahan hanya akan menimbulkan kecemburuan dan ketidakpuasan,” tegasnya.
Arif menutup dengan pesan moral bahwa gaya hidup pejabat sejatinya juga menyampaikan pesan politik dan sosial.
"Pejabat publik harus menjadi teladan. Tunjukkan kepedulian, bukan kemewahan, agar terjalin komunikasi yang sehat dan kepercayaan yang kuat antara pemerintah dengan masyarakat,” pungkasnya.
Untuk diketahui, Flexing adalah kebiasaan memamerkan kemewahan, kekayaan, atau gaya hidup mewah secara berlebihan di media sosial untuk mendapatkan perhatian, pengakuan, atau membuat orang lain iri. Perilaku ini dapat berakar dari rasa tidak percaya diri, kecemburuan sosial, atau keinginan untuk meningkatkan citra diri.
Flexing dapat menimbulkan dampak negatif seperti kesenjangan sosial, budaya konsumtif, dan kesulitan dalam membedakan teman tulus karena mereka hanya ingin memanfaatkan kekayaan.
Sementara pengamat politik Universitas Lampung (Unila), Bendi Juantara, menekankan bahwa seorang kepala daerah maupun pejabat publik sejatinya merupakan representasi rakyat yang diwakilinya.
"Jabatan yang dia emban menjadikan tubuhnya itu adalah tubuh publik yang akan dikonsumsi oleh publik, baik dari sikap hingga kebijakan yang dia ambil," jelas Bendi.
Ia mengingatkan, seorang pemimpin tidak boleh menempatkan diri berseberangan dengan harapan rakyat, karena hal itu bisa berdampak pada turunnya kepercayaan publik serta mempengaruhi keseriusan kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan.
Bendi berharap kesadaran untuk tidak flexing sebenarnya sudah tumbuh dari dalam diri pejabat publik itu sendiri.
"Justru yang perlu dibangun adalah keteladanan dan kesederhanaan dalam menjalani kehidupan publik," pungkasnya. (*)
Berita Lainnya
-
Kolaborasi Kejati dan Pelindo Salurkan Bantuan ke Korban Banjir Lampung
Kamis, 04 September 2025 -
Pemprov Lampung Larang Pejabat dan ASN Flexing, Marindo Ajak ASN Bersikap Sederhana
Kamis, 04 September 2025 -
Lampung Tambah Lima Madrasah Baru di 2025, Tahun Depan Ditargetkan 20 Lagi
Rabu, 03 September 2025 -
Motor Tukang Parkir Alfamart di Bandar Lampung Digondol Maling, Uang Angsuran Rp2 Juta Ikut Raib
Rabu, 03 September 2025