• Senin, 25 November 2024

Kuasa Hukum ASN Tersangka Korupsi Dinas Perkim Lampura Tuding Proses Hukum Tidak Adil

Kamis, 18 Juli 2024 - 10.45 WIB
586

Penasihat Hukum AA, Andhes Tan (pakai jas). Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Penahanan tersangka terhadap Achmad Avandi (AA) seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pada dinas perumahan dan kawasan permukiman (Perkim) Lampung Utara (Lampura), proses hukumnya dinilai sebagai tindakan yang tidak adil.

Hal tersebut disampaikan oleh Penasihat Hukum AA, Andhes Tan mengatakan, penahanan klien mereka oleh Kejati Lampung tidak berdasar dan menyebut proses hukum yang dihadapi AA sebagai tindakan yang tidak adil.

"Kami mengonfirmasi bahwa klien kami, AA, telah ditahan oleh penyidik Kejati Lampung pada Rabu, 17 Juli 2024. Namun, kami membantah segala tuduhan yang dialamatkan kepada klien kami, sebab penahanan yang dilakukan tidak berdasar serta proses hukum yang dihadapi merupakan tindakan yang tidak adil," kata Adhes Tan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/07/24).

Ia menerangkan Kliennya dituduh melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 KUHP. Tuduhan ini terkait peran AA sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dalam kegiatan jasa konsultasi pada tahun anggaran 2017, 2018, 2019, dan 2020 di Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Lampung Utara.

"Perlu dipahami bahwa PPTK, dalam hal ini klien kami, hanya bertanggung jawab atas administrasi keuangan. Dalam lingkup pekerjaan, ranah dan wewenangnya berada pada Penanggung Jawab Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), PPK Vendor, dan Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP). PPTK bukanlah pelaku pengadaan barang dan jasa," katanya.

BACA JUGA: Kejati Lampung Tahan 2 ASN Tersangka Kasus Korupsi Dinas Perkim Lampura

Dalam kesempatan itu ia mempertanyakan terhadap pihak-pihak seperti PA, KPA, pihak ketiga, hingga PPHP tidak dijadikan tersangka juga, sementara PPTK hanya menerima kelengkapan data yang telah diverifikasi oleh pihak-pihak tersebut. "Ada apa ini, Kejati? Apakah pihak lain sudah diamankan," tanyanya.

"Kejati Lampung tidak mengindahkan nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Jaksa Agung. Nota tersebut mengedepankan penyelesaian administratif oleh pengawas internal jika terdapat laporan atau aduan terkait kerugian negara," jelasnya

Dalam penahanan tersebut juga pihaknya menilai alat bukti yang menjadikan kliennya sebagai tersangka tidak valid alias cacat. Audit keuangan negara dilakukan oleh akuntan publik, bukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang seharusnya memiliki wewenang penuh dalam menentukan ada tidaknya kerugian negara.

"Auditor akuntan publik adalah pihak swasta yang dibayar oleh pihak penyidik Kejati untuk melakukan audit keuangan terkait perkara ini, yang artinya hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi klien kami," tegasnya.

Atas penahanan terhadap AA, pihaknya juga berharap agar Kejati Lampung dapat meninjau ulang proses hukum yang sedang berjalan dan memastikan keadilan bagi klien mereka. Mereka juga mendesak agar penegakan hukum dijalankan sesuai dengan amanat UUD 1945.

Diketahui sebelumnya Kejati Lampung telah menahan dua Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Pemerintah Kabupaten Lampung Utara terkait dugaan korupsi pada proyek perencanaan di Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) untuk tahun anggaran 2017-2020.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Lampung, Ricky Ramadhan, mengatakan kasus tersebut berawal dari dugaan bahwa WP dan AA, yang bertindak sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), memanfaatkan perusahaan pinjaman untuk menyamarkan peran sebagai penyedia pekerjaan.

Namun Faktanya pekerjaan tersebut dilakukan oleh PPK dan PPTK sendiri dengan mengeluarkan surat pertanggungjawaban yang fiktif dengan rincian sejumlah kegiatan perencanaan yang melibatkan jasa konsultasi, survei pendataan, dan verifikasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH).

Aktivitas tersebut mencakup 15 paket di tahun 2017, 10 paket di tahun 2018, 8 paket di tahun 2019, dan 4 paket di tahun 2020. Berdasarkan laporan akuntan publik, total kerugian negara akibat tindakan tersebut mencapai Rp1,751 miliar. (*)