• Senin, 25 November 2024

Refly Harun Anggap Pemilu 2024 Bakal Banyak Kecurangan, Kekurangan dan Keterlibatan Aparat

Selasa, 14 November 2023 - 20.09 WIB
82

Diskusi bertema 'Menyelamatkan Demokrasi dari Cengkeraman Oligarki dan Dinasti Politik' di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (14/11/2023). Foto: Istimewa.

Kupastuntas.co, Jakarta - Pakar hukum tata negara, Refly Harun, mengaku sudah lama mengkritik Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sebagai pemimpin bermasalah sebelum publik belakangan ini mengkritisi kepala negara punya catatan dalam mewujudkan demokrasi yang sehat di Indonesia.

Namun, dia merasa heran tidak ada yang berani bersuara dengan membawa narasi memakzulkan Jokowi saat mantan Gubernur DKI Jakarta itu punya banyak catatan negatif mewujudkan demokrasi yang sehat.

Refly mengatakan itu saat menjadi pembicara diskusi di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (14/11/2023) bertema 'Menyelamatkan Demokrasi dari Cengkeraman Oligarki dan Dinasti Politik'.

"Saya sudah mengkritik pemerintahan ini dan berkali-kali dianggap sakit hati dan sebagainya. Alhamdulilah hari ini menemukan pembenarannya, bahwa pemimpin kita ini pemimpin yang bermasalah, tetapi 275 juta rakyat Indonesia enggak berani mengatakan, ini saatnya meng-impeachment Presiden Jokowi. Enggak ada yang berani juga ngomong, ya," kata Refly.

Adapun, tokoh yang hadir dalam diskusi ialah para pakar hukum tata negara seperti Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar atau Uceng dan Refly Harun.

Baca juga : Guru Besar IPB Rokhmin Dahuri: Ada yang Janji Netral di Hadapan Bakal Capres, Tetapi Diingkari

Diskusi yang sama juga dihadiri peneliti LIPI Ikrar Nusa Bakti, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid, hingga budayawan Romo Magnis Suseno.

Refly mengatakan, masih ada cara bagi masyarakat untuk menyelamatkan demokrasi menjadi lebih sehat jauh dari cengkeraman oligarki dan dinasti politik.

"Jawabannya menurut saya kalau dalam jangka pendek ialah, satu kalau kita mau menyelamatkan diri, pastikan pemilu itu berjalan jujur dan adil, tetapi untuk memastikan itu tidak gampang. Anasir curang sudah dari hulu. Mulai dari Presidential Threshold sampai rekrutmen penyelenggara pemilu yang disetir Istana dengan mayoritas anggota prokekuasaan," kata alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Baca juga : Bivitri Susanti: Intelektual Diam Pertanda Demokrasi Kita Dalam Bahaya

Selanjutnya lanjut Refly, cara memastikan demokrasi menjadi sehat dan terbebas dari cengkeraman oligarki ialah tidak memilih sosok titipan yang mewakili dinasti politik.

"Ya, saatnya kita tidak memilih orang yang titipan dari dinasti tersebut. Saya tidak ngomong tentang orang. Kalau kata Usman Hamid sama Bivitri saya tidak ngomong tentang orang, saya juga tidak ngomong tentang orang, tetapi kalau ada satu kebenaran yang pasti, mutlak, ya, kita kritik di sana dan yang mutlak itu proses di MK tidak benar," katanya.

Menurut Refly, tidak mudah mewujudkan demokrasi yang sehat menyambut Pemilu 2024 RI dengan potensi kecurangan yang besar.

Baca juga : Zainal Arifin Mochtar Usul Agar Aturan Pembatasan Wewenang Presiden Hingga 2024 Segera Dibuat

Namun kata pria kelahiran Palembang itu, masyarakat punya tanggung jawab untuk mengawal proses pemilu jauh bisa terlaksana dengan adil.

"Saya mengatakan pemilu kita ini pemilu yamg becek, pemilu yang comberan, pemilu yang akan banyak money politics-nya, banyak kecurangan, banyak kekurangannya, banyak keterlibatan aparat, financial resources-nya, state aparat terlibat semua. Yakin saya dan itu sudah dimulai," terangnya.

"Maka walaupun demikian, karena kita menjadi bagian masyarakat yang bertanggung jawab, sedapat mungkin kita tetap mengawalnya menjadi pemilu yang jujur dan adil. Kita harus menjadi relawan-relawan untuk memastikan pemilu itu tidak curang, hasilnya adalah apa yang diputuskan oleh rakyat di bilik suara," ujarnya.

Baca juga : Amnesty Bocorkan Temuan Internasional yang Menyebutkan Jokowi Menggunakan Hukum untuk Mengontrol Parpol

Terakhir, Refly saat menjadi pembicara mengingatkan pimpinan kampus bisa netral dan jika pun berpihak tidak berdasarkan tekanan kekuasaan.

"Sekarang hati-hati, kampus akan diombang-ambingkan dengan kekuatan politik. Kalau bapak yakin netral, netral benar. Kalau berpihak, ya, sudah. Berpihak secara sehat," ungkapnya.

"Berpihak lah dengan hati nurani dan akal sehat bukan berpihak kekuasaan dan uang serta tekanan dan takut kehilangan jabatan sebagai rektor," pungkasnya. (*)