• Jumat, 25 April 2025

Komisi II DPRD dan WALHI Lampung Minta PT. SJIM Hentikan Reklamasi Hingga Kantongi Izin KKPRL

Rabu, 13 September 2023 - 12.10 WIB
173

Reklamasi PT. Sinar Jaya Inti Mulya (SJIM) di pesisir Pantai Karang Jaya, Kecamatan Panjang, Kota Bandar Lampung. Foto: Dok/kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Lampung akan turun ke lapangan melakukan pengecekan terhadap reklamasi yang dilakukan oleh PT. Sinar Jaya Inti Mulya (SJIM) di pesisir Pantai Karang Jaya, Kecamatan Panjang, Kota Bandar Lampung.

Reklamasi yang dilakukan oleh PT. SJIM seluas14,83 hektar tersebut bergerak di bidang pengolahan dan jual beli minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO). Reklamasi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut rupanya belum memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).

"Kita akan cek kebenarannya apakah benar perusahaan tersebut belum melengkapi izin yang dianjurkan. Kita mau cek dulu kebenarannya dan konfirmasi dengan dinas terkait yang membidangi," kata Wakil Ketua Komisi II DPRD Provinsi Lampung, I Made Bagiasa, saat dihubungi kupastuntas.co, Rabu (13/9/202).

Ia mengatakan, jika perusahaan tersebut belum memiliki izin maka tidak diperbolehkan beroperasi. Perusahaan tersebut diminta terlebih dahulu melengkapi syarat-syarat yang diwajibkan.

"Kalau belum ada izin jangan dulu beroperasi dong karena semua harus ada izinnya. Ini kan negara hukum jadi harus mengukuti apa yang diwajibkan. Kalau semaunya nanti gunung di robohkan lagi," lanjutnya.

Baca juga : Reklamasi 14,83 Hektar di Panjang Belum Punya Izin KKPRL

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, Irfan Tri Musri mengatakan, reklamasi yang dilakukan oleh PT. SJIM harus jelas peruntukan nya dan jangan sampai memberikan dampak negatif kepada warga sekitar.

"Tentunyakan pengerukan tersebut harus jelas peruntukan dan perizinannya. Kemudian hal lainnya tentu bagaimana kegiatan itu tidak memberikan dampak negatif kepada masyarakat sekitar. Apalagi sampai menghilangkan akses nelayan terhadap sumber daya pesisir," kata Irfan.

Oleh karena itu, Walhi Lampung mengecam keras pihak-pihak yang dengan sengaja mengganggu dan menghilangkan mata pencaharian para nelayan yang menggantungkan hidupnya terhadap hasil laut.

"Tentu kita sangat mengecam jika ada pihak-pihak yang menghilangkan aktivitas yang dapat mengganggu kegitan para nelayan dan juga masyarakat sekitar yang ikut terdampak reklamasi tersebut," ungkapnya.

Ia juga berharap agar pemerintah daerah dan juga perusahaan dapat memberikan solusi dan alternatif bagi para nelayan yang kehilangan mata pencaharian akibat aktifitas reklamasi tersebut.

"Tentu kompensasi bukan berupa beras, karna sangat tidak seimbang jika nelayan kehilangan sumber kehidupannya hanya diganti segelintir beras setiap bulan. Tetapi harus ada solusi dan alternatif baik oleh pemerintah maupun perusahaan jika nelayan mendapatkan keluhan atau permasalahan," jelasnya.

Sementara Kabid Pengelolaan Ruang Laut Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, Sadariah mengatakan, banyak tahapan yang harus dilakukan oleh perusahaan sebelum melakukan reklamasi.

"Reklamasi ini banyak sekali tahapan yang harus dilalui. Kajian juga harus lengkap dengan melibatkan langsung masyarakat sekitar. Dampaknya seperti apa harus dibicarakan sehingga ada kesepakatan," katanya.

Menurutnya, yang terpenting adalah setiap kegiatan yang dilakukan di perairan, harus memperhatikan kepentingan nelayan lokal dan masyarakat kecil. Hal tersebut lantaran sudah ada Undang-Undang perlindungan nelayan.

"Dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa kepentingan nelayan lokal harus tetap diakomodir. Jadi misal kalau ada reklamasi mereka harus diberikan alternatif untuk bisa tetap bersandar kapal dan tetap bisa melaut. Jadi tidak terganggu," terangnya.

Ia menambahkan, sampai dengan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan mendapatkan kesimpulan dari pemerintah pusat maka kegiatan reklamasi tersebut diminta untuk dihentikan sementara.

"Sampai pemeriksaan lebih lanjut dan mendaptkan kesimpulan itu dihentikan sementara. Jadi baru secara lisan karena Kementerian Kelautan dan Kementerian Perhubungan sedang berkoordinasi dan kemungkinan akan turun lagi kelapangan," katanya.

Berdasarkan Undang-undang Cipta Kerja terdapat empat tahapan untuk menjatuhkan sangsi terhadap perusahaan yang belum melengkapi perizinan namun sudah beroperasi.

"Berdasarkan UU Cipta Kerja ada 4 tahapan pertama teguran tertulis, paksaan pemerintah, pengenaan sangsi administratif atau berupa denda dan pencabutan atau pembekuan izin. Nah ini belum kami lakukan karena kami sedang melakukan pemeriksaan lebih lanjut," pungkasnya. (*)