Melihat Data Pasien Covid-19 di Lampung (Bagian 3) Pasien Negatif Menjadi Positif
Bandar Lampung, Kupastuntas.co - Aparat penegak hukum perlu melakukan penyelidikan terkait dugaan permainan data penanganan Covid-19 di Provinsi Lampung. Data ini adalah dasar pengajuan klaim dana pembiayaan pasien Covid-19 ke Kementerian Kesehatan.
Tingginya jumlah pasien Covid-19 di Provinsi Lampung menyebabkan klaim pembiayaan jasa rumah sakit rujukan Covid-19 di daerah ini tinggi.
Dana penanganan Covid-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kepada 30 rumah sakit sakit rujukan di Provinsi Lampung mencapai ratusan miliar. Rumah Sakit Urip Sumoharjo misalnya, sampai tahun 2020 menyerap dana penanganan Covid-19 dari Kemenkes sebesar Rp24,6 miliar.
Baca juga: Melihat Data Pasien Covid-19 di Lampung (Bagian 1) Klaim Satu Rumah Sakit Rp 24,6 M
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Moeloek sebagai rujukan utama perawatan pasien Covid-19 di Provinsi Lampung, ditaksir mencapai Rp73 miliar lebih selama tahun 2020.
Sayangnya, sebagian besar rumah sakit memilih tutup mulut saat dikonfirmasi besaran dana Covid-19 yang diterima dari Kemenkes. Muncul pertanyaan, apakah dana penanganan Covid-19 yang dikucurkan sudah sesuai fakta di lapangan, meskipun sudah dilakukan verifikasi oleh BPJS Kesehatan?
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Chandra Muliawan meminta pihak terkait melakukan investigasi dan audit anggaran penanganan Covid-19 di rumah sakit yang melakukan pelayanan pasien Covid-19.
Chandra menjelaskan, berdasarkan data perkembangan baru Covid-19 di Lampung per 27 April 2021, sebanyak 15.633 orang terkonfirmasi, 13.911 sembuh, dan 851 meninggal dunia. Data ini merupakan update harian dari sejumlah media di Lampung yang bersumber dari BNPB/Bappeda Lampung.
"Data tersebut kami ambil melalui media pers dikarenakan update data dan perkembangan Covid-19 melalui https://covid19.lampungprov.go.id sudah tidak lama diperbaharui. Terakhir update data harian pada 14 Maret 2021. Artinya sudah satu bulan lebih tidak memberikan informasi teraktual perkembangan Covid-19 di Lampung," kata Chandra, Selasa (27/4).
Chandra menerangkan, saat ini tingkat penyebaran Covid-19 di Lampung mengalami tren penurunan dengan kurva yang semakin landai. Namun hal itu berbanding terbalik dengan tingkat kematian akibat Covid-19 yang kini menempati nomor 2 Nasional dengan angka kematian atau fatality rate 5,4 persen atau di bawah Provinsi Jawa Timur.
"Selama satu tahun lebih bergulat dengan pandemi Covid-19, banyak permasalahan yang mengiringinya mulai dari kebijakan yang tidak populis dari pemerintah pusat dan tidak sinergisnya dengan pemerintah daerah dalam penanganan Covid-19. Hampir semua anggaran baik APBN dan APBD di refocusing untuk penanganan Covid-19," bebernya.
Ia melanjutkan, selama ini anggaran penanganan bagi korban atau pasien Covid-19 ditanggung Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kesehatan, yang diklaim oleh pihak rumah sakit. “Dan itu (klaim) harus transparan, jangan ditutupi. Pembiayaan yang ditanggung pemerintah mulai dari perawatan hingga pemakaman jenazah. Artinya sejak pertama kali hingga meninggal semua biaya ditanggung oleh pemerintah," papar dia.
Menurut Chandra, permasalahan Covid-19 bukan hanya mengenai virusnya yang mematikan, tapi juga mengenai penanganannya yang tidak sesuai dengan prosedur dan jauh dari aspek nilai-nilai kemanusiaan serta lebih mementingkan keuntungan semata.
"Hal tersebut pernah dialami oleh salah satu klien LBH Bandar Lampung pada akhir tahun 2020 yang berobat karena mengalami diabetes pada salah satu rumah sakit swasta di Bandar Lampung. Sebelum ditangani dilaksanakan terlebih dahulu rapid test antibodi dan Swab PCR, namun sehari setelahnya pasien meninggal. Lima hari kemudian hasil tes keluar dan dinyatakan positif terpapar Covid-19 yang disampaikan secara lisan oleh pihak rumah sakit," ungkapnya.
Namun, kata dia, pihak rumah sakit tidak pernah memberikan hasil tes secara tertulis maupun dokumen atau rekam medis lainnya kepada keluarga pasien. Setelah hampir satu minggu didesak oleh pihak keluarga, akhirnya pihak rumah sakit mengeluarkan secarik kertas yang pada pokoknya menyatakan pasien tersebut positif Covid-19.
Baca juga: Melihat Data Pasien Covid-19 di Lampung (Bagian 2) RSUD Abdul Moeloek Ditaksir Terima Klaim 73 M
Kemudian, lanjut Chandra, keluarga pasien mengkonfirmasi ke UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Lampung dengan menyertakan data pasien. Hingga akhirnya pihak laboratorium menyatakan tidak pernah menerima sampel pasien tersebut.
"Hal tersebut merupakan satu dari sekian kasus yang terjadi di Provinsi Lampung, seperti yang sudah banyak dimuat di berbagai media cetak, online, maupun elektronik, bagaimana pihak rumah sakit meng-covid kan pasien dan diduga dengan tujuan untuk mengklaim dana penanganan Covid-19. Jika ditelisik lebih lanjut banyak aspek hukum yang dilanggar oleh oknum rumah sakit yang diduga menjadikan layanan pandemi Covid-19 sebagai ajang pemburu rente dengan modus mengubah pasien negatif Covid-19 menjadi positif untuk mendapat klaim keuangan," papar dia.
Chandra menyebutkan, dalam Pasal 263 KUHP tertulis barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
“Pasal 29 ayat 1 huruf a, h, l, m dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit juga disebutkan, setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat, menyelenggarakan rekam medis, memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien, menghormati dan melindungi hak-hak pasien," ungkapnya.
Selanjutnya sesuai dengan Pasal 32 huruf c, e, f, j, q, r dalam UU yang sama dinyatakan setiap pasien mempunyai hak memperoleh pelayanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi dan memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi.
“Selanjutnya sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya," tandasnya.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat LSM Pergerakan Masyarakat Anti Korupsi (Pematank) Lampung, Suadi Romli mengaku menerima banyak keluhan dari masyarakat yang ragu anggota keluarganya dinyatakan positif Covid-19 oleh pihak rumah sakit.
"Seharusnya pihak rumah sakit terbuka dan menjelaskan prosedurnya serta dibuktikan dengan lampiran hasil tes baik rapid maupun swab, biar keluarga pasien bisa paham," jelas Romli.
Romli menegaskan, data pasien yang positif di rumah sakit hendaknya jangan ditutupi, karena semua biaya perawatannya ditanggung oleh anggaran negara.
"Masyarakat patut mengetahuinya, yang mana selama ini seolah kucing-kucingan ketika masyarakat menanyakan jumlah pasien dan dana Covid yang sudah diterima," ujarnya.
Romli meminta aparat penegak hukum (APH) melakukan penyelidikan, karena tidak menutup kemungkinan adanya dugaan permainan dalam klaim pasien yang meninggal karena Covid.
"Jelas dong, karena pihak APH memang tugasnya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terkait anggaran yang dikelola oleh setiap instansi,” tegasnya.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), Yusdianto menuding ada yang tidak beres apabila rumah sakit bersikap tidak terbuka dan transparansi dalam memberikan informasi dana penanganan Covid-19 kepada publik.
Yusdianto mengatakan, RSUAM merupakan badan layanan umum daerah. Sehingga wajib secara terbuka dan transparan menyampaikan penggunaan anggaran Covid-19 apalagi ini untuk kepentingan publik.
"Salah satunya misalkan hal-hal yang berkenaan dengan anggaran di RSUAM, maka tidak ada alasan atau hal yang menghalangi rumah sakit untuk memberikan jawaban atau informasi yang dikehendaki oleh publik," kata Yusdianto.
Ia meminta komitmen kepada setiap institusi khususnya badan pelayanan publik untuk secara transparan dan terbuka. Apalagi RSUAM itu adalah institusi publik bukan swasta, maka mulai dari perencanaan, penggunaan anggaran serta pertanggungjawabannya disampaikan secara terbuka sehingga diketahui oleh publik.
"Kalau misalkan sampai ada ketidaktransparanan, ini mengidentifikasikan ada yang tidak beres, tidak wajar dan tidak benar dalam tata kelola badan layanan umum tersebut. Jadi ada yang tidak wajar dari rumah sakit apabila tidak memberikan data tersebut kepada publik," ujarnya.
Menurut Yusdianto, dalam ranah ini kepolisian belum bisa masuk. Namun Ombudsman bisa untuk melakukan kroscek terkait layanan dan keterbukaan di rumah sakit tersebut. "Ombudsman yang dapat melakukan pemeriksaan apabila ada lembaga-lembaga yang ngeyel seperti itu," tandasnya. (*)
Berita ini sudah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas Edisi Cetak, Rabu (28/4/2021).
Video KUPAS TV : MASYARAKAT JANGAN SIA-SIAKAN KESEMPATAN PENGHAPUSAN PAJAK KENDARAAN! (BAGIAN 1)
Berita Lainnya
-
Kepergok Gasak Uang Nasabah Bank, Warga Sumsel Nyaris Babak Belur Dihakimi Massa
Sabtu, 16 November 2024 -
Empat Profil Talenta Masa Depan, Paparan Dina Sartika di Seminar Universitas Teknokrat Indonesia
Sabtu, 16 November 2024 -
Pimpin Delegasi Indonesia di COP29, Hashim Djojohadikusumo Pikat Pendanaan Hijau EUR 1,2 Miliar untuk Sektor Kelistrikan
Sabtu, 16 November 2024 -
Porsadin VI Nasional Resmi Dibuka, Menko Pangan Motivasi Santri untuk Berprestasi
Jumat, 15 November 2024