• Sabtu, 20 April 2024

Tujuh Perusahaan Singkong di Lampung Mangkir Dipanggil Dewan

Senin, 08 Maret 2021 - 16.25 WIB
330

Rapat Dengar Pendapat (RDP) perihal impor singkong. Foto: Ria/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Lampung menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan instansi terkait menyikapi keluhan petani di Lampung terkait anjloknya komoditas ubi kayu atau singkong, Senin (8/3/2021).

Rapat yang digelar di ruang rapat komisi setempat juga mengundang tujuh perusahaan singkong yang ada di Lampung, diantaranya CV Dzasyaqarqi Group, CV Mizan Company, Koperasi Sido Jaya Abadi, PT Bumi Madu Mandiri, CV Asa Dwiana, CV Mitra Usaha Tani dan CV Aneka Tani Maju Mandiri. 

Namun, ketujuh perusahaan tersebut tidak ada satupun yang memenuhi undangan. Karenanya DPRD berencana akan melakukan pemanggilan ulang.

"Nah ini tidak tahu kenapa tidak hadir, nanti akan kita panggil ulang. Saya kira percuma juga mereka hadir karena jika dilihat perusahaan itu kapasitas nya tidak terlalu besar," kata Ketua Komisi I DPRD Lampung, Yozi Rizal.

Baca juga : DPRD Minta Arinal Surati Menteri Perdagangan Terkait Harga Singkong

Ia juga meminta kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) untuk memberikan data kepada DPRD jumlah perusahaan singkong di Lampung yang sudah memperoleh izin.

"Mereka kita akan undang semua sekaligus kroscek siapa tau ada diantaranya perusahaan yang tidak ada izin. Jika tidak punya izin kita mau tutup," lanjutnya. 

Sementara itu, Plt Kepala Dinas PM-PTSP Provinsi Lampung, Yudi Alfadri mengatakan, terdapat 30 pabrik singkong di Lampung yang masih eksis dan masih beroperasi hingga saat ini dan aktif menyampaikan laporan kegiatan penanaman modal (LKPM).

"Data di kami ada 30 pabrik yang eksis beroperasi sampai sekarang di Lampung juga aktif menyampaikan LKPM. Dimana 30 pabrik ini memiliki nomor induk berusaha (NIB)," terang Yudi. 

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Kantor KPPU Wilayah II, Wahyu Bekti Anggoro mengungkapkan, berdasarkan hasil kajian KPPU ada 54 perusahaan dan 71 pabrik tapioka yang eksis di Provinsi Lampung. 

"Satu perusahaan bisa mempunyai dua pabrik. Ada 54 perusahaan dan terdapat 71 pabrik tapioka yang sudah kami konfirmasi. Pabrik tersebut tersebar di 10 Kabupaten. Paling banyak di Lampung Tengah ada 38 pabrik," ujar Wahyu.

Ia melanjutkan, KPPU sudah menjalankan kajian terkait harga singkong di Lampung yang sudah berjalan selama delapan bulan. Lampung menjadi daerah penghasil singkong terbesar, namun harganya terus berfluktuasi. Hal tersebut menjadi latar belakang KPPU melakukan kajian harga singkong. 

"Hasil dari kajian dalam rangka pencegahan ini bisa menjadi dasar penegakan hukum. Artinya apabila nanti KPPU dalam kajian ini menemukan perilaku yang mengarah pada pelanggaran UU akan kami naikan ke kegiatan penegakan hukum," lanjutnya. 

Ia juga mengatakan, dari hasil kajian yang selama ini sudah dilakukan, terdapat beberapa hal yang mengarah kepada perilaku pelanggaran. Meskipun belum bisa dipastikan apakah temuan tersebut menjadi sebuah perkara.

"Apabila ini menjadi sebuah kegiatan penegakan hukum melalui proses penyelidikan, pemberkasan kemudian akhirnya persidangan. KPPU bisa menjatuhkan denda minimal 1 miliar sampai saat ini berdasarkan UU cipta kerja," terang Wahyu.

Selain itu, KPPU bisa menetapkan pembatalan perjanjian, menghentikan integrasi vertikal penyalahgunaan posisi dominan, penetapan pembatalan merger dan akuisisi, penetapan pembayaran ganti rugi, pengenaan denda minimal Rp1 miliar maksimal 50 persen dari keuntungan bersih selama kurun waktu pelanggaran, atau 10 persen dari penjualan selama kurun waktu pelanggaran. 

"Artinya apabila ditemukan pelanggaran sudah dilakukan 10 tahun tapi bisa denda sampai 50 persen dari keuntungan dan 10 persen dari penjualan," ungkapnya.

Ia juga membeberkan jika kajian singkong yang dilakukan terkait permasalahan refaksi atau pemotongan kadar aci dalam produk singkong dan juga bonggol singkong.

"Tidak ada peraturan terkait refaksi sehingga saat ini belum terdapat peraturan di tingkat pusat dan daerah terkait refaksi. Tidak terdapat pedoman yang memberikan metode dan standar kerja dalam pengukuran refaksi," paparnya. 

Kemudian setiap pabrik memiliki metode refaksi yang berbeda-beda. Pengukuran refaksi yang tidak obyektif dari semua pabrik yang berbeda tersebut berdampak pada pengukuran refaksi yang tidak objektif, sehingga kualitas ubi kayu dinilai sama oleh pabrik. 

Efeknya adalah mendorong petani yang ada di Provinsi Lampung untuk memanen budidaya ubi kayu asalan dan belum memenuhi umur panen. Selain merugikan petani, kondisi ini sebetulnya juga merugikan pabrik karena biaya produksi akan meningkat, karena bahan baku yang digunakan adalah bahan baku asalan.

"Kondisi ini juga menurunkan citra kualitas ubi kayu di Provinsi Lampung," pungkasnya. (*)


Video KUPAS TV : PENERIMA KARTU PRAKERJA DAPAT BANTUAN KREDIT USAHA