• Kamis, 03 Oktober 2024

Pengamat: Ada Potensi Pelanggaran Pidana Pemilu Dalam Kasus Dugaan Anggota KPU Terima Rp 530 Juta

Senin, 04 Maret 2024 - 08.56 WIB
250

Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Perkumpulan Masyarakat Untuk Demokrasi (Permadema), Tyaz Aprizal. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Perkumpulan Masyarakat Untuk Demokrasi (Permadema), Tyaz Aprizal menyebut, kasus dugaan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandar Lampung berinisial FT menerima Rp530 dari caleg EN ada potensi pelanggaran pidana Pemilu.

Hal itu dikatakan Tyaz menanggapi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Lampung yang menyatakan kasus tersebut tidak masuk ke dalam pidana pemilu dan masuk pada pelanggaran etik.

Menurutnya, Bawaslu tidak perlu bias dengan membawa persoalan tersebut ke ranah pidana umum, karena konteks kejadian tersebut adalah kontestasi Pemilu yang pengaturannya diatur secara spesifik, sehingga segala bentuk penyelesaiannya harus merujuk ke Undang-Undang Pemilu dan aturan teknis lainnya.

"Kejadian sebagaimana dimaksud jika kita cermati lebih detail sebenarnya tidak hanya persoalan kode etik penyelenggara Pemilu semata, melainkan juga mengandung dugaan pelanggaran Tindak Pidana Pemilu (TPP)," ujar eks aktivis FISIP Unila itu, Senin (4/3/2024) pagi.

Terkait dengan hal itu lanjutnya, tinggal melihat komitmen dan niat baik Bawaslu Provinsi Lampung dan jajarannya untuk memproses hal tersebut bersama dengan unsur Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).

"Terkait dugaan pelanggaran kode etik tidak perlu berbelit-belit, Bawaslu maupun KPU Lampung tinggal merekomendasikan berkas-berkas pelanggaran saja ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) tanpa harus memeriksa atau meminta keterangan kepada terlapor. Biarkan saja DKPP yang membuktikan hal tersebut," bebernya.

"Sementara itu, dari sisi dugaan pelanggaran TPP, kaitan dengan tahapan pemungutan dan penghitungan suara dapat dikaji dengan melihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu)," sambungnya.

Baca juga : Kasus FT Diduga Terima Rp 530 Juta dari Caleg Erwin, Bawaslu Ungkap Ada Dugaan Pelanggaran Etika

Menurut Tyaz, Bawaslu Provinsi Lampung seharusya hanya tinggal melihat pasal yang relevan dengan dugaan pelanggaran yang dilaporkan tersebut dan tidak perlu membuang badan dengan mengeluarkan statement bahwa hal tersebut merupakan ranah pidana umum.

Tyaz menjelaskan, dalam Pasal 523 Undang-Undang Nomer 7 Tahun 2017 tentang Pemilu misalnya, terdapat 3 (tiga) ayat yang diduga dilanggar oleh para terlapor :

Ayat (1) Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Ayat (2) Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).

Ayat (3) Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak

pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Baca juga : Caleg Erwin Nasution Cabut Laporan, Bawaslu Lampung: Proses Penelurusan Tetap Lanjut

Termasuk juga kata Tyaz, dalam Pasal 532  yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang Pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapatkan tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).

Pasal–pasal yang diduga dilanggar sebagaimana yang disebutkan diatas terang Tyaz, harus dikaitkan dengan Pasal 554 yang menyatakan bahwa, dalam hal Penyelenggara Pemilu melakukan tindak pidana Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 488, Pasal 491, Pasal 492, Pasal 500, Pasal 504, Pasal 509, Pasal 510, Pasal 511, Pasal 518, Pasal 520, Pasal 523, Pasal 525 ayat (l), Pasal 526 ayat (1), Pasal 531, Pasal 532, Pasal 533, Pasal 534, Pasal 535, dan Pasal 536, pidana bagi yang bersangkutan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

Atau dalam passal 551, yang menyatakan bahwa, aggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan/atau PPS yang karena kesengajaannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Tyaz menambahkan, saat ini dan beberapa waktu ke depan khususnya Pelapor dan juga masyarakat luas harus terus-menerus melakukan pengawasan atas kinerja Bawaslu Provinsi Lampung dan jajarannya.

"Apabila Bawaslu tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran Pemilu secara serius, transparan dan akuntabel, hal tersebut juga merupakan pelanggaran TPP sebagaimana bunyi Pasal 543 yang menyatakan bahwa dengan sengaja tidak menindaklanjuti temuan dan/ atau laporan pelanggaran Pemilu dapat di denda paling banyak Rp24.000.000," tutupnya. (*)