Kisruh Dugaan Mafia Anggaran Media di DPRD Tanggamus, Rp5,5 Miliar Advertorial Gagal Cair
Kantor DPRD Kabupaten Tanggamus. Foto: Kupastuntas.co
Kupastuntas.co, Tanggamus - Anggaran publikasi Sekretariat DPRD
Kabupaten Tanggamus tahun anggaran 2025 yang mencapai Rp6,7 miliar kini menjadi
sorotan tajam. Di balik angka itu, tersimpan dugaan praktik mafia anggaran
media massa yang selama ini nyaris tak tersentuh, sebelum akhirnya mencuat ke
permukaan melalui hearing terbuka Forum Bersama Ketua Organisasi Profesi
(FBKOP) dengan DPRD.
Penelusuran yang dilakukan redaksi menemukan indikasi kuat adanya
pengondisian belanja advertorial di Sekretariat DPRD Tanggamus.
Dari total anggaran tersebut, sekitar Rp5,5 miliar dialokasikan
khusus untuk advertorial media massa, angka yang dinilai tidak sebanding dengan
pola distribusi yang terjadi di lapangan.
Berdasarkan keterangan sejumlah sumber internal dan insan pers
lokal, pola pembagian anggaran advertorial diduga tidak dilakukan secara
terbuka.
Sejumlah media tertentu disebut masuk dalam kategori
“prioritas”, dengan nilai kerja sama yang fantastis, berkisar Rp250 juta hingga
Rp500 juta per media.
Sebaliknya, puluhan media lain, baik cetak maupun online hanya
memperoleh satu kali pemasangan advertorial, tanpa kejelasan dasar penetapan,
ukuran oplah, trafik, atau mekanisme evaluasi.
“Tidak ada seleksi terbuka, tidak ada penjelasan indikator.
Semua seolah sudah ditentukan sejak awal,” ujar Imron Tara, seorang wartawan
yang terlibat langsung dalam proses tersebut, Rabu (17/12/2025).
Pola ini memunculkan dugaan adanya monopoli anggaran yang
dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu dengan memanfaatkan pengaruh di
lingkaran DPRD.
Sejumlah sumber menyebut, pengondisian anggaran advertorial
tidak murni bersifat administratif. Dugaan mengarah pada adanya intervensi
nonstruktural, termasuk tekanan dan arahan agar anggaran mengalir ke media
tertentu.
Jika dugaan ini terbukti, maka praktik tersebut berpotensi
melanggar, Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
(prinsip transparansi dan bebas konflik kepentingan).
Lalu, UU Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3) terkait larangan
penyalahgunaan jabatan oleh anggota DPRD, serta UU Tipikor terkait
penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara.
Kecurigaan atas ketimpangan ini akhirnya mendorong Forum Bersama
Ketua Organisasi Profesi (FBKOP) Kabupaten Tanggamus, yang terdiri dari 25
organisasi wartawan, mengajukan hearing dengan Komisi I DPRD Tanggamus.
Hearing digelar di ruang VIP Sekretariat DPRD, Senin
(15/12/2025), menghadirkan Sekretaris DPRD Andi Darmawan, Kepala Bagian Humas,
PPTK, serta Pengguna Anggaran (PA).
Dalam forum tersebut, FBKOP secara terbuka memaparkan temuan
adanya ketidaktransparanan penerima anggaran advertorial yang mengerucut pada
ketimpangan ekstrem antar media.
“Kami mencium aroma tidak sehat dalam pengelolaan anggaran
media. Ini bukan asumsi, tapi fakta lapangan,” ujar Rapik Junaidi, Ketua FBKOP
sekaligus Ketua PD IWO Tanggamus.
Hearing tersebut berujung pada keputusan drastis. Sekretariat
DPRD dan FBKOP menyepakati bahwa seluruh pembayaran advertorial media cetak,
mingguan, dan online tahun anggaran 2025 ditiadakan (nol pencairan).
Dengan keputusan ini, anggaran advertorial senilai Rp5,5 miliar
dipastikan tidak dibayarkan.
Langkah ini dinilai sebagai bentuk penghentian darurat untuk
mencegah potensi pelanggaran hukum yang lebih jauh.
Rapik Junaidi meminta seluruh jurnalis di Tanggamus mengawal
ketat kesepakatan tersebut. Menurutnya, proses akhir pencairan anggaran berada
di Bidang ULP (LPSE) Setda Kabupaten Tanggamus.
“Sekecil apa pun informasi terkait proses pencairan harus segera
disampaikan. Kalau ada yang mencoba masuk diam-diam, itu berarti kesepakatan
dilanggar,” tegas Rapik.
Untuk tahun anggaran 2026, Sekretariat DPRD berjanji akan
melibatkan Forum Bersama Ketua Organisasi Pers dalam merumuskan ulang mekanisme
kerja sama media, termasuk pembagian alokasi antara media cetak dan online.
Namun bagi FBKOP, janji tersebut harus diuji dengan transparansi
nyata, bukan sekadar komitmen lisan.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi DPRD Tanggamus. Bukan hanya
soal anggaran media, tetapi soal integritas lembaga legislatif dalam mengelola
uang rakyat dan menghormati kemerdekaan pers.
Pembekuan anggaran mungkin menghentikan aliran dana, tetapi
tanpa pengusutan menyeluruh, dugaan mafia anggaran berisiko hanya menjadi
cerita yang tertunda, bukan diselesaikan.
Aktivis Lembaga Analisis Kebijakan Publik (Lankip), Panroyen
bereaksi keras, jika praktik dugaan pengondisian anggaran advertorial tersebut
dinilai bertentangan dengan sejumlah regulasi yang mengatur pengelolaan
keuangan daerah dan etika jabatan publik.
Dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Keuangan Daerah, ditegaskan bahwa setiap belanja daerah wajib
dilaksanakan secara transparan, akuntabel, efektif, efisien, dan bebas konflik
kepentingan. Intervensi pihak yang tidak memiliki kewenangan teknis dinilai
berpotensi melanggar prinsip tersebut.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD (UU MD3) secara tegas melarang anggota DPRD menyalahgunakan
jabatannya untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau pihak lain.
"Jika dugaan tersebut terbukti mengarah pada pengaturan
anggaran untuk keuntungan tertentu, maka praktik itu juga berpotensi dijerat
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3
terkait penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara," tegas
Panroyen.
Di sisi lain, ungkap Panroyen, pola diskriminatif terhadap media
juga dinilai bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers, yang menjamin perlakuan adil, independen, dan tidak diskriminatif
terhadap perusahaan pers.
"Dugaan praktik ini dinilai bertolak belakang dengan
pernyataan Bupati Tanggamus Mohammad Saleh Asnawi, yang dalam berbagai
kesempatan menegaskan larangan keras terhadap permainan uang, proyek, dan
praktik tidak sehat dalam pengelolaan anggaran daerah," ujarnya.
Pernyataan tersebut kini menjadi sorotan publik, seiring
munculnya dugaan bahwa praktik yang dilarang justru terjadi di lingkungan DPRD.
Panroyen mendorong para wartawan baik perorangan atau lembaga
melaporkan persoalan ini ke Aparat Penegak Hukum (APH).
"Buat laporan resmi ke APH agar kasus ini terbongkar dan
tidak terjadi lagi di masa mendatang, kasihan kawan-kawan media yang hanya
pasang satu atau dua advertorial diputuskan tidak dibayar," kata dia.
Panroyen berpendapat seharusnya media massa yang tidak terlibat
dalam "permainan anggaran" ini advertorial nya tetap harus dibayar.
"Baru kalau media yang nilainya ratusan juta, jangan dibayar. Itu kan
hak," ujarnya
Hingga berita ini diturunkan, pihak DPRD Kabupaten Tanggamus
belum memberikan keterangan resmi. Upaya konfirmasi kepada pimpinan DPRD dan
Sekretariat DPRD masih terus dilakukan.
Publik mendesak aparat penegak hukum bertindak tegas dan
independen, demi memastikan uang negara tidak dijadikan bancakan serta menjaga
marwah lembaga legislatif dan ekosistem pers yang sehat di Kabupaten Tanggamus.
(*)
Berita Lainnya
-
Muncul Dugaan Keterlibatan Pelaku Lain dalam Pembunuhan Pasutri di Way Pring Tanggamus
Senin, 15 Desember 2025 -
Misteri Pembunuhan Pasutri di Pekon Way Pring Tanggamus Terkuak, Pelaku Ternyata Tetangga dan Orang Dekat Korban
Minggu, 14 Desember 2025 -
Sempat Dikira Pelaku Hipnotis, 17 Orang di Argopeni Tanggamus Ternyata Sales Obat Herbal
Minggu, 14 Desember 2025 -
Pasar Murah Sambangi Wilayah 3T Tanggamus, Warga Antusias Dapat Sembako Murah
Jumat, 12 Desember 2025









