• Senin, 15 Desember 2025

53,191 KM Jalan Rusak Berat, Pemkot Metro Siap Benahi Tata Kelola Jalan

Senin, 15 Desember 2025 - 10.53 WIB
111

Wakil Wali Kota Metro, Dr. M. Rafieq Adi Pradana saat menghadiri kegiatan Kelompok Masyarakat Peduli Maladministrasi dan Penyerahan Laporan Hasil Kajian Kebijakan Publik oleh Ombudsman RI Perwakilan Lampung beberapa waktu lalu. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Metro - Pemerintah Kota Metro menjadikan Laporan Hasil Analisis (LHA) Kajian Ombudsman RI Perwakilan Lampung Tahun 2025 sebagai peringatan serius untuk membenahi tata kelola pelayanan publik, khususnya pemeliharaan jalan. Laporan tersebut menilai layanan pemeliharaan jalan di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota di Lampung belum berjalan optimal dan berpotensi terjadi maladministrasi.

Wakil Wali Kota Metro, Dr. M. Rafieq Adi Pradana, mengatakan LHA Ombudsman tidak semestinya diperdebatkan, melainkan dijadikan daftar kerja konkret. Menurutnya, persoalan utama bukan semata kondisi jalan berlubang, tetapi sistem pelayanan yang belum tertata rapi, transparan, dan mudah diawasi.

“Inti persoalan bukan sekadar jalan berlubang, melainkan sistem pelayanan yang harus dibuat rapi, transparan, dan mudah diawasi. LHA ini bukan untuk diperdebatkan, tapi untuk dijadikan daftar kerja. Kalau sistemnya rapi, hasilnya akan terlihat di lapangan. Kalau sistemnya bocor, yang rusak bukan cuma jalan, tapi juga kepercayaan warga,” ujar Rafieq, Senin (15/12/2025).

Berdasarkan dokumen LHA yang diterima Kupastuntas.co, kondisi ruas jalan di Kota Metro hasil survei Agustus hingga Desember 2024 menunjukkan jalan dalam kondisi baik sepanjang 216,89 kilometer, kondisi sedang 58,531 kilometer, rusak ringan 58,695 kilometer, dan rusak berat 53,191 kilometer. Data tersebut menunjukkan sebagian jaringan jalan membutuhkan pemeliharaan yang terencana dan berkelanjutan, bukan penanganan yang bersifat reaktif.

Ombudsman juga mencatat anggaran pemeliharaan dan perbaikan jalan Kota Metro tahun 2025 bersumber dari APBD dengan nilai sekitar Rp40 miliar. Menanggapi hal itu, Rafieq menekankan bahwa publik berhak mengetahui apakah program disusun dengan standar yang benar, dilaksanakan tepat sasaran, serta diawasi secara akuntabel.

“Uang publik itu harus menghasilkan perubahan yang bisa diukur. Jalan mana dikerjakan, kapan, berapa biayanya, siapa penanggung jawabnya, semua harus bisa dicek,” tegasnya.

Sorotan utama Ombudsman dalam LHA adalah lemahnya transparansi rencana penanganan pemeliharaan jalan. Meski Dinas PUTR Kota Metro memiliki sarana publikasi melalui website dan media sosial, rencana penanganan yang memuat informasi kunci seperti sumber dana, ruas jalan yang ditangani, jenis pekerjaan, biaya, waktu pelaksanaan, sistem pengadaan, dan penanggung jawab belum dipublikasikan.

“Ombudsman mengonfirmasi pada 1 Desember 2025 bahwa kondisi ini masih terjadi, termasuk di Kota Metro. Ini harus dijawab dengan tindakan yang sangat konkret,” kata Rafieq.

Ia menegaskan keterbukaan informasi merupakan fondasi pelayanan publik. “Kalau rencana tidak dibuka, warga hanya melihat hasil akhir. Wajar kalau kemudian muncul curiga dan kemarahan. Transparansi itu bukan tambahan, tapi fondasi,” ujarnya.

LHA juga menyoroti penentuan prioritas pemeliharaan jalan yang dalam praktik kerap dipengaruhi musrenbang, pokok-pokok pikiran dewan, pengaduan masyarakat, hingga isu viral. Ombudsman menegaskan prioritas seharusnya kembali berbasis hasil survei dan pemrograman teknis agar pelaksanaan dan pembiayaan konsisten.

“Aspirasi itu penting, tetapi tidak boleh menggantikan data teknis. Kalau ingin adil, ukurannya harus sama untuk semua dan berbasis survei. Kalau tidak, yang terjadi hanya tambal sulam tanpa ujung,” ucap Rafieq.

Pada aspek pengawasan, Ombudsman mencatat Dinas PUTR Kota Metro belum melaksanakan pengawasan yang dibuktikan dengan Laporan Hasil Evaluasi Kegiatan Pemeliharaan Jalan. Padahal, pengawasan tersebut menjadi kewajiban penyelenggara jalan, termasuk pelaksanaan Uji Laik Fungsi Jalan.

“Pengawasan bukan sekadar hadir di lokasi proyek, tetapi harus menghasilkan dokumen evaluasi. Kalau tidak ada evaluasi tertulis, kesalahan bisa terus berulang. Saya ingin pengawasan menjadi sistem, bukan kebiasaan yang tergantung orang,” jelasnya.

Isu pengaduan masyarakat juga menjadi perhatian Ombudsman. Meski sarana pengaduan sudah tersedia, Dinas PUTR Kota Metro belum memiliki mekanisme atau SOP pengelolaan pengaduan yang jelas, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013.

“Pengaduan itu bahan bakar perbaikan. Harus ada alur, batas waktu, dan tindak lanjut yang jelas. Warga tidak boleh merasa suaranya masuk angin,” kata Rafieq.

Selain itu, Ombudsman mendorong pembenahan SOP pemeliharaan jalan dengan mengacu pada Peraturan Menteri PUPR Nomor 13/PRT/M/2011 serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. LHA juga mengingatkan risiko maladministrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.

Rafieq menegaskan Pemkot Metro tidak boleh memberi ruang bagi prosedur berbelit, keputusan tanpa basis data, minim informasi, maupun ketiadaan evaluasi. Ia menargetkan perubahan pasca-LHA dapat dirasakan langsung oleh warga.

“Saya tidak ingin warga harus menunggu viral dulu baru bergerak. Sistem harus bekerja sebelum orang marah. Ukurannya sederhana, rencana dibuka, prioritas jelas, pengawasan ada buktinya, pengaduan ditangani, dan kualitas jalan membaik. LHA ini pengingat keras bahwa pelayanan publik harus bisa dipertanggungjawabkan, bukan hanya dijelaskan,” pungkasnya. (*)