53,191 KM Jalan Rusak Berat, Pemkot Metro Siap Benahi Tata Kelola Jalan
Wakil Wali Kota Metro, Dr. M. Rafieq Adi Pradana saat menghadiri kegiatan Kelompok Masyarakat Peduli Maladministrasi dan Penyerahan Laporan Hasil Kajian Kebijakan Publik oleh Ombudsman RI Perwakilan Lampung beberapa waktu lalu. Foto: Ist
Kupastuntas.co, Metro - Pemerintah Kota Metro menjadikan Laporan
Hasil Analisis (LHA) Kajian Ombudsman RI Perwakilan Lampung Tahun 2025 sebagai
peringatan serius untuk membenahi tata kelola pelayanan publik, khususnya
pemeliharaan jalan. Laporan tersebut menilai layanan pemeliharaan jalan di
tingkat provinsi hingga kabupaten/kota di Lampung belum berjalan optimal dan
berpotensi terjadi maladministrasi.
Wakil Wali Kota Metro, Dr. M. Rafieq Adi Pradana, mengatakan LHA
Ombudsman tidak semestinya diperdebatkan, melainkan dijadikan daftar kerja
konkret. Menurutnya, persoalan utama bukan semata kondisi jalan berlubang,
tetapi sistem pelayanan yang belum tertata rapi, transparan, dan mudah diawasi.
“Inti persoalan bukan sekadar jalan berlubang, melainkan sistem
pelayanan yang harus dibuat rapi, transparan, dan mudah diawasi. LHA ini bukan
untuk diperdebatkan, tapi untuk dijadikan daftar kerja. Kalau sistemnya rapi,
hasilnya akan terlihat di lapangan. Kalau sistemnya bocor, yang rusak bukan
cuma jalan, tapi juga kepercayaan warga,” ujar Rafieq, Senin (15/12/2025).
Berdasarkan dokumen LHA yang diterima Kupastuntas.co, kondisi
ruas jalan di Kota Metro hasil survei Agustus hingga Desember 2024 menunjukkan
jalan dalam kondisi baik sepanjang 216,89 kilometer, kondisi sedang 58,531
kilometer, rusak ringan 58,695 kilometer, dan rusak berat 53,191 kilometer.
Data tersebut menunjukkan sebagian jaringan jalan membutuhkan pemeliharaan yang
terencana dan berkelanjutan, bukan penanganan yang bersifat reaktif.
Ombudsman juga mencatat anggaran pemeliharaan dan perbaikan
jalan Kota Metro tahun 2025 bersumber dari APBD dengan nilai sekitar Rp40
miliar. Menanggapi hal itu, Rafieq menekankan bahwa publik berhak mengetahui
apakah program disusun dengan standar yang benar, dilaksanakan tepat sasaran,
serta diawasi secara akuntabel.
“Uang publik itu harus menghasilkan perubahan yang bisa diukur.
Jalan mana dikerjakan, kapan, berapa biayanya, siapa penanggung jawabnya, semua
harus bisa dicek,” tegasnya.
Sorotan utama Ombudsman dalam LHA adalah lemahnya transparansi
rencana penanganan pemeliharaan jalan. Meski Dinas PUTR Kota Metro memiliki
sarana publikasi melalui website dan media sosial, rencana penanganan yang
memuat informasi kunci seperti sumber dana, ruas jalan yang ditangani, jenis
pekerjaan, biaya, waktu pelaksanaan, sistem pengadaan, dan penanggung jawab
belum dipublikasikan.
“Ombudsman mengonfirmasi pada 1 Desember 2025 bahwa kondisi ini
masih terjadi, termasuk di Kota Metro. Ini harus dijawab dengan tindakan yang
sangat konkret,” kata Rafieq.
Ia menegaskan keterbukaan informasi merupakan fondasi pelayanan
publik. “Kalau rencana tidak dibuka, warga hanya melihat hasil akhir. Wajar
kalau kemudian muncul curiga dan kemarahan. Transparansi itu bukan tambahan,
tapi fondasi,” ujarnya.
LHA juga menyoroti penentuan prioritas pemeliharaan jalan yang
dalam praktik kerap dipengaruhi musrenbang, pokok-pokok pikiran dewan,
pengaduan masyarakat, hingga isu viral. Ombudsman menegaskan prioritas
seharusnya kembali berbasis hasil survei dan pemrograman teknis agar
pelaksanaan dan pembiayaan konsisten.
“Aspirasi itu penting, tetapi tidak boleh menggantikan data
teknis. Kalau ingin adil, ukurannya harus sama untuk semua dan berbasis survei.
Kalau tidak, yang terjadi hanya tambal sulam tanpa ujung,” ucap Rafieq.
Pada aspek pengawasan, Ombudsman mencatat Dinas PUTR Kota Metro
belum melaksanakan pengawasan yang dibuktikan dengan Laporan Hasil Evaluasi
Kegiatan Pemeliharaan Jalan. Padahal, pengawasan tersebut menjadi kewajiban
penyelenggara jalan, termasuk pelaksanaan Uji Laik Fungsi Jalan.
“Pengawasan bukan sekadar hadir di lokasi proyek, tetapi harus
menghasilkan dokumen evaluasi. Kalau tidak ada evaluasi tertulis, kesalahan
bisa terus berulang. Saya ingin pengawasan menjadi sistem, bukan kebiasaan yang
tergantung orang,” jelasnya.
Isu pengaduan masyarakat juga menjadi perhatian Ombudsman. Meski
sarana pengaduan sudah tersedia, Dinas PUTR Kota Metro belum memiliki mekanisme
atau SOP pengelolaan pengaduan yang jelas, sebagaimana diamanatkan dalam
Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013.
“Pengaduan itu bahan bakar perbaikan. Harus ada alur, batas
waktu, dan tindak lanjut yang jelas. Warga tidak boleh merasa suaranya masuk
angin,” kata Rafieq.
Selain itu, Ombudsman mendorong pembenahan SOP pemeliharaan
jalan dengan mengacu pada Peraturan Menteri PUPR Nomor 13/PRT/M/2011 serta
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. LHA juga
mengingatkan risiko maladministrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.
Rafieq menegaskan Pemkot Metro tidak boleh memberi ruang bagi
prosedur berbelit, keputusan tanpa basis data, minim informasi, maupun
ketiadaan evaluasi. Ia menargetkan perubahan pasca-LHA dapat dirasakan langsung
oleh warga.
“Saya tidak ingin warga harus menunggu viral dulu baru bergerak.
Sistem harus bekerja sebelum orang marah. Ukurannya sederhana, rencana dibuka,
prioritas jelas, pengawasan ada buktinya, pengaduan ditangani, dan kualitas
jalan membaik. LHA ini pengingat keras bahwa pelayanan publik harus bisa
dipertanggungjawabkan, bukan hanya dijelaskan,” pungkasnya. (*)
Berita Lainnya
-
RSUD Sumbersari Dikejar Standar Akreditasi, Rafieq Sebut Efisiensi Anggaran dan Digitalisasi Jadi Ujian
Senin, 15 Desember 2025 -
Saat Pohon Jadi Korban Iklan, Aksi Bungkus Pohon Jadi Alarm Keras
Jumat, 12 Desember 2025 -
Arus Baru Pemberantasan Korupsi: Kejari Metro Bidik Pejabat dan DPRD
Jumat, 12 Desember 2025 -
Disdikbud Metro Intruksikan Sekolah Serius Dukung Atlet Pelajar
Jumat, 12 Desember 2025









