• Kamis, 11 Desember 2025

Heboh Penjualan Pulau Batu Kecil di Lampung, Akademisi Tegaskan Pulau Tidak Bisa Diperjualbelikan

Rabu, 10 Desember 2025 - 19.51 WIB
22

Postingan yang menjual Pulau Batu Kecil viral di media sosial. Foto: Echa/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Pesisir Barat - Jagat media sosial dihebohkan dengan unggahan penjualan Pulau Batu Kecil di Desa Bandar Dalam, Kecamatan Pulau Pisang, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Dalam unggahan akun Facebook bernama Toni Arianto Sr itu, pulau yang diklaim memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) dan luas sekitar 10 hektare tersebut ditawarkan dengan harga Rp 3,5 miliar.

Informasi tentang jual beli pulau itu langsung menuai perhatian publik karena dinilai janggal dan bertentangan dengan aturan pengelolaan wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil di Indonesia. Penawaran tersebut semakin menyita perhatian karena penjual mengklaim pulau itu memiliki legalitas SHM dan cocok dijadikan destinasi pariwisata.

Akademisi hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Rifandy Ritonga, menegaskan bahwa pulau tidak dapat diperjualbelikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurutnya, klaim bahwa sebuah pulau memiliki sertifikat hak milik dan bisa dijual secara utuh sangat keliru secara hukum.

“Pulau kecil tidak bisa dijual. Yang bisa dijual hanya bidang tanah tertentu di atas pulau, itupun harus memenuhi syarat penguasaan fisik dan sertifikat yang benar,” Kata Rifandy dikutip dari Detik.com, Rabu (10/12/2025).

Rifandy menjelaskan bahwa regulasi terkait penguasaan pulau kecil sangat ketat, mulai dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 hingga Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2019 tentang pemanfaatan pulau-pulau kecil. Semua aturan itu secara tegas menyebutkan bahwa pulau bukan objek hak atas tanah yang dapat dimiliki individu.

Ia juga menyoroti klaim SHM yang disebut mencakup seluruh pulau seluas 10 hektare. Menurutnya, aturan Pemerintah Indonesia mewajibkan negara menguasai minimal 30 persen dari luas pulau kecil, sehingga sertifikat hak milik yang meliputi keseluruhan wilayah patut dicurigai dan perlu diverifikasi kebenarannya.

“Ini perlu dicek betul. Tidak menutup kemungkinan terjadi maladministrasi. Masyarakat jangan sampai terjebak transaksi yang bertentangan dengan hukum agraria ataupun aturan zonasi wilayah pesisir,” ujarnya.

Berdasarkan penelusuran pada laman resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), penguasaan pulau kecil dibatasi secara tegas. Sejak terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2019, pemanfaatan lahan di pulau kecil hanya boleh digunakan maksimal 70 persen, sementara 30 persen harus dikuasai negara.

Dari batas pemanfaatan tersebut, pelaku usaha wajib mengalokasikan sedikitnya 30 persen untuk ruang terbuka hijau. Dengan demikian, lahan yang sebenarnya dapat dimanfaatkan hanya sekitar 49 persen dari total luas pulau. 

Aturan ini sekaligus menegaskan bahwa pulau tidak bisa dipindahtangankan secara utuh melalui mekanisme jual beli.

Selain itu, Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021 juga mengatur bahwa pemberian hak atas tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau berbatasan langsung dengan pantai tidak dapat diberikan kepada satu orang atau satu badan hukum. Pasal 194 aturan tersebut menegaskan larangan kepemilikan tunggal atas pulau kecil.

Rifandy menambahkan, isu penjualan pulau kerap dimanfaatkan untuk menarik minat pihak luar, termasuk warga negara asing (WNA). Padahal, menurut hukum Indonesia, WNA sama sekali tidak diizinkan memiliki tanah, apalagi pulau. Mereka hanya dapat mengelola melalui badan hukum Indonesia dengan izin terbatas dan persyaratan ketat.

“Kalau penawaran ini diarahkan ke pihak asing, itu jelas melanggar hukum. WNA tidak boleh punya tanah, apalagi pulau,” ungkapnya.

Ia mengimbau masyarakat maupun pemerintah daerah untuk segera melakukan pengecekan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) guna memastikan keabsahan dokumen yang diklaim sebagai SHM. Pengecekan juga perlu dilakukan terhadap peta bidang, zonasi pesisir, hingga legalitas penguasaan tanah di atas pulau tersebut.

Rifandy menilai edukasi publik sangat penting agar masyarakat tidak mudah tertipu dengan penawaran properti ilegal, termasuk penjualan pulau yang secara hukum tidak diperbolehkan. Ia juga mengingatkan bahwa wilayah pulau kecil merupakan bagian dari kedaulatan negara yang wajib dilindungi.

Ia menambahkan bahwa praktik jual beli pulau tidak hanya melanggar hukum pertanahan, tetapi juga berpotensi mengganggu kepentingan negara dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Karena itu, pemerintah diminta bergerak cepat melakukan verifikasi dan memberikan klarifikasi kepada publik.

Sementara itu, hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari pemerintah daerah maupun instansi terkait mengenai keabsahan sertifikat yang diklaim penjual. Namun, berbagai regulasi menunjukkan bahwa pulau tidak dapat menjadi objek jual beli secara privat.

Kasus ini sekaligus menjadi pengingat bahwa masyarakat perlu berhati-hati terhadap penawaran properti yang melibatkan wilayah strategis negara, termasuk pulau-pulau kecil. Pemerintah pun diminta memastikan pengawasan lebih ketat agar praktik serupa tidak kembali terjadi. (*)