• Selasa, 25 November 2025

‎Komisi I DPRD Lampung Minta Perusahaan Patuhi Kewajiban Plasma 20 Persen Saat Perpanjangan HGU

Selasa, 25 November 2025 - 11.56 WIB
96

‎Ketua Komisi I DPRD Lampung, Garinca Reza Pahlevi, saat dimintai keterangan. Foto: Sandika/kupastuntas.co

‎Kupastuntas.co, Bandar Lampung – Komisi I DPRD Provinsi Lampung menegaskan pentingnya kepatuhan perusahaan perkebunan terhadap kewajiban penyediaan kebun plasma minimal 20 persen, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Guna Usaha (HGU).

Ketua Komisi I DPRD Lampung, Garinca Reza Pahlevi, menekankan bahwa kewajiban tersebut tertuang jelas dalam Pasal 27 huruf i, yang mewajibkan perusahaan pemegang HGU, khususnya yang berbentuk perseroan terbatas dan bergerak di sektor perkebunan untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat atau plasma sedikitnya 20 persen dari total luas HGU.

‎Garinca mengatakan, pada proses perpanjangan HGU, pemerintah daerah memiliki peran penting untuk memastikan kewajiban tersebut dipenuhi.

‎“Kami sangat mendorong perusahaan dan Pemda kabupaten maupun provinsi untuk memastikan bahwa ketika perusahaan mengajukan perpanjangan HGU, 20 persen lahan untuk masyarakat harus disisihkan. Ini kewajiban yang sudah diatur dalam PP,” tegas Garinca saat diwawancarai di ruang kerjanya, Selasa (25/11/2025).

‎Ia mencontohkan kasus konflik agraria yang terjadi antara warga Anak Tuha dengan PT BSA di Lampung Tengah yang HGU-nya akan berakhir pada 2029.

Menurut Garinca, momentum perpanjangan HGU adalah salah satu solusi untuk menyelesaikan konflik tersebut dengan memberikan 20 persen kebun plasma kepada masyarakat.

‎Selain itu, Garinca juga mengingatkan bahwa Pasal 31 huruf b angka 1 PP 18/2021 menyebutkan bahwa HGU dapat dicabut oleh Menteri jika perusahaan tidak memenuhi kewajiban, termasuk penyediaan plasma.

‎Meski demikian, hingga 2025 Komisi I belum menerima laporan terkait perusahaan yang gagal memenuhi kewajiban plasma tersebut. Namun, aduan konflik agraria di Lampung tetap mendominasi, terutama terkait klaim lahan dan tanah adat.

‎“Komisi I banyak menerima aduan konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan. Kami mengapresiasi masyarakat, organisasi maupun perusahaan yang ingin melakukan hearing. Semua akan kami tindaklanjuti dengan OPD atau pihak terkait,” jelasnya.

‎Garinca menegaskan peran Komisi I sebagai lembaga legislatif daerah adalah memediasi konflik dan memberikan dorongan politik kepada pemerintah provinsi maupun kabupaten. Namun untuk penegakan dan sanksi, kata dia, kewenangannya berada di aparat penegak hukum dan pemerintah eksekutif.

‎“Kami memediasi, menyampaikan, dan mendorong penyelesaian ke OPD terkait. Untuk finalisasi dan sanksi bukan kewenangan legislatif. Yang jelas, perusahaan yang beroperasi di negara ini harus tunduk pada aturan, termasuk kewajiban plasma 20 persen,” tutup Garinca. (*)