• Jumat, 21 November 2025

Efektivitas KUHAP Tergantung Komitmen Aparat Penegak Hukum

Jumat, 21 November 2025 - 08.11 WIB
8

Ketua Umum DPP Advokat Bela Rakyat (ABR) Hermawan. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Efektivitas penerapan KUHAP yang baru disahkan sangat bergantung pada komitmen aparat penegak hukum dalam menjunjung prinsip keadilan dan hak asasi manusia. Tanpa perubahan pola kerja dan pengawasan yang kuat, reformasi hukum acara tersebut dikhawatirkan hanya akan menjadi aturan di atas kertas.

DPP Advokat Bela Rakyat (ABR) Indonesia ikut menyoroti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan oleh DPR RI pada Selasa (18/11/2025). KUHAP baru ini akan mulai berlaku efektif pada 2 Januari 2026.

Ketua Umum DPP ABR Indonesia, Hermawan, menilai hadirnya KUHAP baru merupakan upaya pemerintah dalam memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia.

Ia menegaskan bahwa efektivitas aturan baru tersebut sangat bergantung pada komitmen aparat penegak hukum serta partisipasi masyarakat.

“Dalam hal jaminan apakah KUHAP terbaru ini lebih baik atau tidak ke depannya, menurut saya ini merupakan sebuah ikhtiar. Jaminannya adalah bagaimana proses berjalannya KUHAP ini oleh aparat penegak hukum dan masyarakat,” ujar Hermawan, Kamis (20/11/2025).

Menurutnya, rasa keadilan tidak hanya ditentukan oleh aturan yang tertulis, tetapi juga bergantung pada konsistensi aparat dalam menegakkan hukum.

“Menyoal rasa keadilan kembali kepada komitmen penegak hukum dalam menjalankan aturan tersebut,” tambahnya.

Hermawan juga menyebutkan bahwa penyusunan KUHAP yang baru berangkat dari aspirasi publik serta kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pelayanan hukum di berbagai aspek.

Karena itu, ia mendorong pemerintah untuk memperbanyak sosialisasi agar masyarakat benar-benar memahami ketentuan baru tersebut.

“Saya sebagai bagian dari penegak hukum menyarankan agar sosialisasi KUHAP ini lebih diperbanyak agar masyarakat memahami KUHAP baru ini,” katanya.

Ia percaya bahwa penyempurnaan aturan ke depan tetap dimungkinkan setelah diterapkan, mengingat penyusunan KUHAP telah dilakukan secara maksimal oleh pemerintah dan DPR RI. Perbedaan pendapat di masyarakat dinilainya sebagai hal yang wajar.

“Pro dan kontra tidak akan pernah selesai dalam setiap pasal. Saya kira jalankan saja dulu,” pungkasnya.

Sebelumnya, dalam siaran persnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai setidaknya ada delapan poin perubahan yang bermasalah dalam RUU KUHAP.

Pertama, Operasi Undercover Buy dan Controlled Delivery. YLBHI menilai RUU KUHAP memberikan kewenangan bagi aparat penegak hukum (APH) untuk melakukan operasi pembelian terselubung dan pengiriman di bawah pengawasan pada semua jenis tindak pidana. Operasi yang sebelumnya hanya diperbolehkan untuk kasus narkotika itu dinilai berisiko menimbulkan praktik rekayasa kasus.

“Kewenangan luas tanpa pengawasan ini berpotensi membuka peluang penjebakan (entrapment) oleh aparat penegak hukum,” tulis YLBHI.

Kedua, perluasan dalih “mengamankan”. Dalam RUU KUHAP, tindakan penggeledahan, pencekalan hingga penangkapan dapat dilakukan sejak tahap penyelidikan, sebelum tindak pidana terkonfirmasi.

“Dalam Pasal 5 KUHAP existing, tindakan pada tahap penyelidikan sangat terbatas dan sama sekali tidak diperbolehkan penahanan,” tulis YLBHI.

Ketiga, penangkapan dan penahanan di luar izin hakim. YLBHI menyoroti ketiadaan mekanisme pengawasan lembaga pengadilan terhadap upaya paksa sehingga membuka ruang kesewenang-wenangan aparat karena tidak adanya pemeriksaan habeas corpus.

Keempat, penyadapan tanpa izin hakim. Ketentuan tersebut dinilai rawan penyalahgunaan kewenangan.

“RUU KUHAP memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin hakim dengan dilandaskan pada undang-undang yang bahkan belum terbentuk,” tulis YLBHI.

Kelima, celah dalam mekanisme keadilan restoratif (restorative justice). Penghentian penyelidikan tidak diharuskan dilaporkan kepada otoritas manapun sehingga rawan praktik ilegal dan pemaksaan damai dalam ruang gelap penyelidikan.

“Bagaimana mungkin belum ada tindak pidana namun sudah ada subjek pelaku dan korban?” tambah YLBHI.

Keenam, perluasan kewenangan polisi. Diktum peralihan PPNS dan penyidik khusus di bawah koordinasi kepolisian dinilai berpotensi menimbulkan monopoli penanganan perkara.

Ketujuh, inklusivitas proses hukum. RUU KUHAP masih dinilai belum ramah bagi penyandang disabilitas sehingga cenderung diskriminatif.

Kedelapan, proses pembahasan yang terburu-buru. YLBHI menyoroti ketiadaan masa transisi, belum adanya aturan pelaksana, serta ketidaksesuaian kebutuhan KUHP dalam KUHAP baru. Kondisi tersebut berpotensi membuat penerapan KUHAP yang baru tidak optimal pada tahun pertama. (*)

Berita ini telah terbit di SKH Kupas Tuntas edisi Jumat 21 November 2025 dengan judul “Efektivitas KUHAP Tergantung Komitmen Aparat Penegak Hukum