Ketika Budaya Suap Lebih Kuat dari Akal Sehat, Oleh: Echa Wahyudi
Echa Wahyudi Wartawan Kupas Tuntas di Lampung Barat. Foto: Kupastuntas.co
Kupastuntas.co, Lampung Barat - Dugaan penipuan bermodus bantuan revitalisasi sekolah yang menjerat 46 kepala sekolah di Lampung Barat telah memasuki fase baru. Namun kasus ini tidak hanya berbicara soal penipuan, ia menyentuh persoalan yang jauh lebih dalam budaya setoran yang telah lama menjadi bayang-bayang birokrasi pendidikan kita.
Para kepala sekolah yang kini mengaku sebagai korban rupanya sampai hari ini belum berani membuat laporan resmi ke Polres Lampung Barat. Padahal, sebelumnya Kepala Disdikbud Lambar, Tati Sulastri, menyatakan bahwa laporan telah masuk. Ketidaksinkronan informasi ini semakin mempertebal dugaan bahwa ada masalah besar dalam pola komunikasi dan integritas birokrasi.
Kasat Reskrim Polres Lampung Barat, Iptu Rudy Prawira, menegaskan bahwa kepolisian baru menerima kedatangan kepala sekolah sebatas konsultasi. Belum ada laporan, belum ada bukti fisik, belum ada dokumen penyerahan uang. Artinya, proses hukum bahkan belum menyentuh tahap penyelidikan.
Rudy mengatakan timnya sudah mengidentifikasi unsur-unsur penipuan dari pola kejadian yang disampaikan. Namun tanpa bukti penyerahan uang dan dokumen janji proyek, polisi tak dapat melangkah lebih jauh. Ini menunjukkan adanya hambatan psikologis dan administratif dari pihak kepala sekolah.
Yang menarik adalah alasan mengapa para kepala sekolah belum melapor. Ketua K3S sekaligus Kepala SDN 1 Sebarus, Darlin, mengaku masih dalam kondisi tertekan sehingga belum mampu mengambil langkah hukum. Ia mengatakan dirinya “drop” pasca mengetahui bahwa janji bantuan revitalisasi hanyalah bohong belaka.
Jika ditelisik lebih jauh, alasan semacam ini sesungguhnya menunjukkan pola yang lebih mengkhawatirkan. Para kepala sekolah tampak takut bukan hanya karena ditipu, tetapi karena mereka sendiri telah terlibat dalam praktik setoran yang selama ini dianggap 'wajar' dalam proses mendapatkan kegiatan atau bantuan.
Atau mungkin pihak kepala sekolah enggan melapor karena telah mengetahui pemberi dan penerima suap masing - masing akan terjerat sanksi hukum. Benar pasal penipuan dinomor satukan penerapannya, UU pemberantasan korupsi pun sangat bisa untuk bergulir dalam persoalan ini. Antara Dilema dan buah simalakama kah jika Perkara ini bergulir?
Budaya suap dan fee proyek dalam birokrasi pendidikan bukanlah cerita baru. Banyak pihak mengetahui, tetapi tak banyak yang berani membicarakannya secara terbuka. Itulah mengapa ketika oknum menawarkan bantuan revitalisasi dengan syarat sejumlah uang, tidak satu pun dari 46 kepala sekolah merasa perlu curiga apalagi berkonsultasi dengan dinas terlebih dahulu.
Inilah akar masalahnya, praktik setoran telah menjadi budaya. Para kepala sekolah terbiasa berasumsi bahwa setiap program memiliki 'Harga'. Maka ketika oknum menghubungi mereka dengan modus mengatasnamakan kementerian, tawaran tersebut diterima tanpa banyak tanya, seolah sudah menjadi mekanisme informal yang biasa dilakukan.
Ketiadaan koordinasi dengan Disdikbud sebelum penyerahan uang justru memperlihatkan bahwa praktik fee semacam ini bukan hal asing. Jika selama ini kepala sekolah terbiasa berkonsultasi sebelum mengambil langkah penting, pastilah penipuan ini bisa dicegah sejak awal.
Kecenderungan untuk menerima tawaran tanpa verifikasi menggambarkan bagaimana kultur birokrasi kita telah menggeser prinsip kehati-hatian menjadi kepatuhan terhadap pola-pola tidak resmi. Ini bukan saja merugikan keuangan sekolah, tetapi merusak integritas para pemimpin satuan pendidikan.
Disdikbud sendiri telah memberikan penjelasan bahwa seluruh proses bantuan sekolah dilakukan melalui Dapodik dan tidak pernah ada pungutan biaya. Namun, pernyataan ini secara tidak langsung mengungkap bahwa selama ini banyak kepala sekolah yang tidak memegang teguh prosedur resmi.
Jika kepala sekolah benar-benar memahami mekanisme formal, mereka tidak mungkin percaya pada oknum yang meminta uang sebagai 'Syarat Administrasi'. Apalagi dengan dalih bantuan pusat yang prosesnya sudah tersistem secara digital.
Pemanggilan 46 kepala sekolah oleh Disdikbud beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa pihak dinas juga mencium adanya kekacauan pola komunikasi. Pembinaan yang dilakukan justru menegaskan bahwa para kepala sekolah memang telah bertindak sendiri tanpa mengikuti jalur birokrasi yang benar.
Modus penipu yang mengaku sebagai bagian dari kementerian sebenarnya bukan modus baru. Tetapi mengapa ia berhasil? Jawabannya sederhana: karena ada ruang kosong dalam integritas dan pengawasan. Oknum memanfaatkan celah budaya setoran yang selama ini dianggap 'Normal'.
Publik kini bertanya-tanya, mengapa para kepala sekolah begitu mudah percaya? Mengapa uang puluhan juta dapat berpindah tangan hanya berdasarkan percakapan telepon? Mengapa tidak ada kesadaran untuk melakukan verifikasi?
Semua pertanyaan ini mengarah pada satu kesimpulan, praktik suap telah membutakan kehati-hatian.
Ketika seseorang sudah terbiasa membayar untuk mendapatkan program, maka logika kewaspadaan pun hilang. Dalam konteks inilah kasus penipuan ini perlu dilihat bukan hanya sebagai kriminalitas biasa, tetapi sebagai cermin rapuhnya integritas birokrasi pendidikan.
Para kepala sekolah mungkin korban penipuan, tetapi pada saat yang sama mereka juga terjebak dalam budaya yang mereka sendiri turut pelihara. Padahal, sebagai pimpinan sekolah, mereka adalah garda terdepan yang seharusnya memberi teladan. Jika mereka saja terbiasa dengan praktik tidak sehat, bagaimana mungkin kita berharap pendidikan berjalan bersih dan profesional?
Kasus ini harus menjadi alarm besar bagi Disdikbud maupun pemerintah daerah. Pembinaan tidak cukup; harus ada evaluasi menyeluruh terhadap pola kerja, integritas pejabat sekolah, serta pengawasan terhadap potensi gratifikasi dalam dunia pendidikan.
Polres Lampung Barat telah menyatakan siap menerima laporan. Namun, keberanian kepala sekolah untuk melapor akan menjadi indikator penting apakah mereka benar-benar ingin keluar dari lingkaran budaya suap, atau hanya ingin sekadar menghindari tanggung jawab.
Jika laporan tidak segera dibuat, publik semakin sulit percaya bahwa para kepala sekolah benar-benar ingin menyelesaikan masalah tersebut secara hukum. Keraguan publik bisa semakin besar karena kasus ini menyentuh aspek moral dan integritas, bukan sekadar penipuan finansial.
Pada akhirnya, kasus ini bukan hanya tentang siapa menipu siapa. Ini adalah cermin tentang bagaimana budaya suap dapat membuat orang-orang berpendidikan tinggi sekalipun kehilangan kewaspadaan, logika, dan integritas.
Dunia pendidikan adalah tempat nilai moral diajarkan, tetapi ironisnya, praktik tidak sehat justru tumbuh di dalamnya. Jika akar budaya setoran tidak segera dicabut, maka kasus ini hanya akan menjadi bagian dari lingkaran masalah yang terus berulang.
Kasus ini harus menjadi momentum perbaikan menyeluruh. Bukan hanya bagi korban, tetapi bagi seluruh pemangku kepentingan pendidikan di Lampung Barat. Jangan sampai dunia yang seharusnya mencetak generasi bermoral justru tercemar oleh budaya yang merusak.
Dan bagi kepala sekolah, inilah saatnya membuktikan bahwa mereka benar-benar ingin memperbaiki diri. Berani melapor, berani membuka fakta, dan berani keluar dari praktik setoran yang selama ini menjadi penyakit kronis birokrasi pendidikan. (*).
Berita Lainnya
-
Pemkab Lampung Barat Usulkan Pembangunan 168 Rusun ASN ke Kementerian Perumahan
Selasa, 18 November 2025 -
46 Kepsek Lampung Barat Masih Belum Lapor, Kasus Penipuan Revitalisasi Sekolah Jalan di Tempat
Selasa, 18 November 2025 -
Edi Novial Kembali Pimpin PMI Lambar, Parosil Mabsus Jadi Pelindung
Senin, 17 November 2025 -
Pelaku Penusukan di Rest Area Sumber Jaya Ditangkap Kurang dari 24 Jam
Minggu, 16 November 2025









