• Senin, 17 November 2025

Penurunan KPM PKH di Lampung Belum Mencerminkan Kesejahteraan Warga

Senin, 17 November 2025 - 13.49 WIB
12

Akademisi Ekonomi Universitas Lampung yang juga Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Lampung, Usep Syaipuddin. Foto: Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Penurunan jumlah Keluarga Penerima Manfaat Program Keluarga Harapan (KPM PKH) di Provinsi Lampung dalam lima tahun terakhir dinilai belum sepenuhnya mencerminkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Hal itu disampaikan Akademisi Ekonomi Universitas Lampung yang juga Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Lampung, Usep Syaipuddin.

Berdasarkan data Lampung Satu Data yang diakses pada Senin (17/11/25), jumlah KPM PKH di Lampung terus menurun sejak tahun 2020. Pada 2020 tercatat 471.520 KPM, turun menjadi 465.475 pada 2021, lalu 434.653 pada 2022, 414.075 pada 2023, dan kembali turun menjadi 390.779 pada 2024.

Menurut Usep, tren penurunan tersebut memang selaras dengan membaiknya indikator ekonomi makro di Lampung. Ia menyebut angka kemiskinan juga turun dari 10,62 persen pada September 2024 menjadi 10,00 persen pada Maret 2025.

"Secara agregat, ada perbaikan kondisi ekonomi. Namun penurunan jumlah KPM PKH tidak bisa langsung dimaknai seluruh keluarga telah benar-benar sejahtera. Banyak faktor administrasi yang bisa menyebabkan berkurangnya jumlah penerima," ujar Usep saat dimintai keterangan, Senin (17/11/25).

Ia menjelaskan, pengurangan KPM PKH sering kali dipengaruhi pemutakhiran data, pembersihan data ganda, dan proses verifikasi yang masih membutuhkan perbaikan di tingkat desa maupun kabupaten. Karena itu, penurunan jumlah penerima tidak selalu sejalan dengan kondisi ekonomi nyata di lapangan.

“Validitas data pada level rumah tangga harus diverifikasi. Jangan hanya mengandalkan data administrasi. Bisa terjadi keluarga yang sebenarnya masih rentan justru terhapus dari daftar penerima,” jelasnya.

Usep menilai PKH efektif dalam meningkatkan indikator kesejahteraan sosial seperti kesehatan, pendidikan anak, dan stabilisasi konsumsi. Namun dari sisi ekonomi produktif, program ini belum sepenuhnya mampu menciptakan kemandirian yang kuat.

“PKH ini kuat di aspek sosial, tetapi belum terlalu efektif mendorong peningkatan pendapatan yang berkelanjutan. Banyak keluarga yang lulus mandiri sebenarnya belum punya pendapatan tetap atau aset yang cukup,” ungkapnya.

Jika proses graduasi dilakukan tidak tepat sasaran, kata dia, risiko yang muncul cukup serius. Keluarga rentan bisa kembali miskin, anak-anak berpotensi mengalami gangguan pendidikan, dan kecemburuan sosial di masyarakat juga dapat meningkat.

Usep memberikan sejumlah rekomendasi agar kebijakan graduasi mandiri sejalan dengan realitas ekonomi di Lampung. Pertama, pemerintah perlu memperkuat verifikasi faktual di lapangan.

Kedua, meningkatkan kapasitas operator data sosial di desa. Ketiga, menyiapkan pendampingan pasca-graduasi, termasuk akses permodalan mikro dan literasi keuangan.

“Selain itu, perlu ada mekanisme re-entry otomatis jika keluarga kembali mengalami guncangan ekonomi, serta integrasi program pemberdayaan lintas organisasi perangkat daerah. Monitoring juga harus fokus pada hasil, bukan hanya jumlah penerima yang berkurang,” tegasnya.

Menurut Usep, graduasi memang penting sebagai bagian dari upaya pengentasan kemiskinan. Namun ia mengingatkan, yang terpenting adalah memastikan keluarga yang lulus benar-benar mampu bertahan sehingga tidak kembali jatuh dalam kemiskinan.

“Graduasi itu perlu, tetapi jangan hanya mengejar angka. Keluarga yang lulus harus betul-betul siap dan punya fondasi ekonomi yang kuat. Kalau tidak, kebijakan ini justru kontraproduktif,” pungkasnya. (*)