Erwin Octavianto: Harga Singkong Naik, Petani Lampung Masih Tertindas Potongan Rafaksi
Pemerhati ekonomi dan kebijakan publik daerah, Erwin Octavianto. Foto: Ist.
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung resmi menetapkan Harga Acuan Pembelian (HAP) singkong sebesar Rp1.350 per kilogram, yang mulai berlaku sejak 10 November 2025.
Kebijakan ini disebut sebagai bentuk keberpihakan kepada petani. Namun, di lapangan, keputusan tersebut dinilai belum menyentuh akar persoalan yang selama ini membuat harga singkong di Lampung tak stabil dan kerap menimbulkan konflik antara petani dan industri pengolah.
Pemerhati ekonomi dan kebijakan publik daerah, Erwin Octavianto, menilai langkah Pemprov Lampung patut diapresiasi karena menunjukkan keberpihakan terhadap petani. Namun, menurutnya, kebijakan tersebut masih bersifat administratif tanpa kekuatan implementasi di lapangan.
"Secara teori, harga Rp1.350 per kilogram memang ideal bagi petani. Tapi ideal di atas kertas belum tentu realistis dalam praktik. Sistem tata niaga singkong di Lampung belum transparan dan belum efisien,” ujar Erwin saat dimintai tanggapan, Rabu (12/11/2025).
Erwin mengungkapkan, potongan rafaksi (pemotongan (pengurangan) harga suatu barang karena mutunya lebih rendah dari standar atau mengalami kerusakan saat pengiriman) yang tidak wajar di tingkat pembelian menjadi penyebab utama ketimpangan harga. Potongan yang seharusnya disesuaikan dengan kadar air dan kualitas, justru bisa mencapai 30 hingga 40 persen.
"Akibatnya, harga bersih yang diterima petani jauh di bawah HAP. Kalau potongan seperti ini terus dibiarkan, angka Rp1.350 hanya jadi harapan semu,” tegasnya.
Selain masalah di tingkat petani, industri pengolah singkong juga tengah menghadapi tekanan berat akibat melemahnya harga tepung tapioka global dan penurunan permintaan dunia.
Kondisi ini membuat sejumlah pabrik enggan membeli singkong sesuai harga acuan pemerintah. Erwin menyebut, kepatuhan pabrik terhadap HAP sejauh ini masih parsial.
"Ada yang sudah patuh, tapi banyak juga yang belum. Ini terjadi karena tidak ada sistem kontrol dan transparansi harga yang berjalan efektif,” katanya.
Ia menilai lemahnya pengawasan pemerintah menjadi faktor utama kebijakan ini sulit diterapkan. "Tidak ada mekanisme yang memastikan setiap transaksi pembelian singkong sesuai HAP yang berlaku. Tanpa pengawasan dan data pembelian yang terbuka, kebijakan seperti ini rawan diabaikan,” ujarnya.
Menurut Erwin, agar kebijakan harga singkong benar-benar efektif, Pemprov Lampung tak bisa hanya berhenti pada penetapan angka HAP. Ia menyarankan empat langkah konkret, di antaranya :
- Pengawasan lapangan harus diperkuat. Tim terpadu lintas instansi perlu dibentuk untuk memantau harga beli aktual di pabrik dan lapak.
- Transparansi harga wajib ditegakkan. Pabrik harus diwajibkan menampilkan harga dan potongan yang mereka berlakukan secara terbuka.
- Mutu produksi petani ditingkatkan. Pemerintah harus hadir dengan pembinaan, penyediaan bibit unggul, dan pelatihan agar potongan rafaksi berkurang.
- Berikan insentif bagi industri. Bantuan logistik atau insentif fiskal dibutuhkan agar pabrik tetap bisa menyerap singkong lokal dengan harga layak tanpa mengorbankan kelangsungan usaha.
"Kalau langkah-langkah itu tidak dijalankan, kebijakan harga singkong akan terus jadi siklus tahunan yang berulang tanpa hasil nyata,” ujarnya.
Erwin juga menyoroti pentingnya peran DPRD Provinsi Lampung dalam memastikan efektivitas kebijakan tersebut.
"Fungsi pengawasan DPRD jangan berhenti di ruang rapat. Dewan harus turun langsung ke lapangan, melihat pelaksanaan harga, mendengarkan keluhan petani, dan menindaklanjuti laporan penyimpangan,” tegasnya.
Ia mengusulkan agar asosiasi petani dan asosiasi industri dilibatkan dalam pemantauan harga agar tercipta sistem yang berkeadilan dan transparan.
Lebih jauh, Erwin menilai akar masalah ketidakefektifan kebijakan harga singkong terletak pada ketidaksinkronan antara kebijakan dan realitas lapangan.
"Pemerintah membuat aturan harga tanpa menyiapkan infrastruktur ekonomi untuk mendukungnya. Petani tetap berhadapan dengan lapak dan potongan besar, sementara industri ditekan oleh pasar global,” kata Erwin.
Ia menegaskan, niat baik Pemprov Lampung dalam melindungi petani harus diiringi dengan tindakan nyata.
"Kita tidak bisa terus membiarkan masalah ini berlarut setiap tahun. Yang dipertaruhkan bukan hanya harga singkong, tapi keadilan ekonomi dan masa depan sektor pertanian Lampung,” pungkasnya. (*)
Berita Lainnya
-
Pengamat: Kolaborasi Jadi Kunci Penerapan Harga Acuan Singkong di Lampung
Rabu, 12 November 2025 -
Kejagung Sebut 459 Kades Terjerat Korupsi Dana Desa pada 2025 Naik 66 Persen
Rabu, 12 November 2025 -
Pemotongan TPP Dinilai Reaktif, Pengamat: Jangan ASN Jadi Korban Efisiensi Anggaran
Rabu, 12 November 2025 -
Kemenkop UKM Targetkan 80 Ribu Koperasi Desa Merah Putih Siap Operasional Maret 2026
Rabu, 12 November 2025









