• Senin, 10 November 2025

Petani Kota Metro Soroti Penyempitan Lahan dan Hukum Agraria

Senin, 10 November 2025 - 10.54 WIB
36

Sejumlah tokoh petani dan kader PDI-P saat menggelar diskusi pertanian di Metro Selatan. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Metro - Di tengah kian sempitnya lahan pertanian dan rumitnya urusan agraria, para petani di Kota Metro akhirnya bersuara. Mereka tidak lagi ingin hanya menjadi pelengkap dalam sistem pangan, tetapi ingin menjadi subjek yang berdaulat atas tanah yang mereka garap.

Suara itu menggema dalam sebuah diskusi bertajuk Mendengar Tani, Menegakkan Hak yang digelar kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Tommy Gunawan di PP Sembada Jaya Makmur, Rejomulyo, Metro Selatan, pada Minggu (9/11/2025).

Tommy Gunawan yang akrab dijuluki sebagai Si Anak Beras itu menyebut bahwa diskusi itu menjadi ruang bagi para petani untuk menumpahkan keresahan, mulai dari masalah penyempitan lahan, subsidi pupuk yang tak tepat sasaran, hingga ketimpangan hukum agraria yang selama ini dianggap memihak pada pemilik modal.

"Coba lihat kenyataan hari ini. Lahan makin sempit, hasil panen sering tak sebanding dengan jerih payah. Belum lagi urusan hukum, kadang petani yang niatnya baik, malah bisa terjebak persoalan hukum karena kurang tahu aturan,” ujarnya lantang.

Ia menyoroti fenomena konversi lahan pertanian yang semakin marak di Metro. Dalam beberapa tahun terakhir, sawah-sawah produktif di pinggiran kota beralih fungsi menjadi perumahan, ruko, bahkan gudang. Ironisnya, kebijakan daerah belum berpihak kuat pada perlindungan lahan pangan berkelanjutan.

"Petani di Metro bekerja keras, tapi mereka tidak berkuasa atas tanahnya sendiri. Ini persoalan serius. Kita bicara tentang kedaulatan pangan yang semakin rapuh,” tegasnya.

Dalam diskusi yang dihadiri puluhan petani dan aktivis muda itu, Tommy Si Anak Beras menegaskan satu hal penting bahwa petani harus berani bersuara dan memahami hukum.

"Petani yang sadar hukum itu petani yang tangguh. Karena kemerdekaan sejati bukan hanya bebas menanam, tapi juga bebas menentukan nasib sendiri,” ucapnya.

Menurutnya, masih banyak kasus di mana petani dirugikan karena minimnya pemahaman soal hak agraria. Dari masalah tumpang tindih sertifikat, konflik batas tanah, hingga praktik sewa lahan yang tidak adil. Untuk itu, ia berjanji akan menghadirkan program advokasi hukum dan pendampingan langsung bagi kelompok tani di Metro.

“Mulai dari konsultasi, hingga pendampingan kasus hukum. Petani harus berani bicara, tapi juga harus tahu cara yang benar agar tidak mudah diprovokasi,” katanya.

Senada dengan Tommy, praktisi hukum Tri Wahyudi menyoroti lemahnya literasi hukum di kalangan petani. Ia mencontohkan penetapan harga komoditas seperti singkong yang kerap tidak dipahami secara utuh oleh petani.

"Banyak yang hanya membaca kebijakan tanpa tahu sanksinya. Padahal setiap peraturan, entah surat edaran gubernur, perda, atau keputusan kepala daerah selalu punya konsekuensi hukum. Jika tidak tahu dasar hukumnya, petani akan terus dirugikan oleh sistem yang tidak transparan,” bebernya.

Diskusi tersebut disebut sebagai langkah awal gerakan tani sadar hukum di Kota Metro. Pihaknya berencana menjadikannya agenda rutin, dengan menggandeng kelompok tani di tiap kecamatan.

"Kita tidak ingin petani hanya jadi objek pembangunan, tapi subjek yang punya suara, punya keberanian, dan punya hak yang dijamin konstitusi,” tandasnya. (*)