• Jumat, 07 November 2025

Krisis Kemandirian Daerah dan Pilihan Sulit Pembangunan Lampung Barat, Oleh: Echa Wahyudi

Jumat, 07 November 2025 - 13.30 WIB
181

Echa Wahyudi Wartawan Kupas Tuntas di Lampung Barat. Foto: Dok Echa/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Lampung Barat - Kebijakan efisiensi anggaran yang kini menghantam banyak daerah di Provinsi Lampung, termasuk Lampung Barat, menjadi cermin nyata betapa rapuhnya ketahanan fiskal daerah ketika pendapatan menurun dan kebutuhan publik justru meningkat. Dalam beberapa tahun terakhir, defisit pembangunan begitu terasa, terutama di sektor infrastruktur jalan yang menjadi urat nadi aktivitas ekonomi masyarakat.

Di Lampung Barat, banyak masyarakat di berbagai pekon dan kelurahan memilih membangun jalan secara swadaya. Fenomena ini bukan sekadar bukti semangat gotong royong, melainkan juga bentuk keputusasaan atas lambannya respons pemerintah dalam memperbaiki akses vital.

Contohnya terlihat jelas, di Kelurahan Pasar Liwa, Lingkungan Sukajaya, Sukamenanti di Kelurahan Way Mengaku, hingga kegiatan gotong royong di Jalan Liwa–Hanakau, Seranggas, serta Pekon Sukarame, Kecamatan Balik Bukit. Semua itu adalah cerminan nyata bahwa pembangunan tak bisa menunggu birokrasi yang lambat.

Namun di sisi lain, pemerintah daerah pun berada dalam posisi serba sulit. Penurunan APBD Lampung Barat tahun 2026 hingga Rp166 miliar jelas bukan angka kecil. Ruang fiskal semakin menyempit, sementara tekanan kebutuhan publik terus meningkat. Dalam kondisi seperti ini, Bupati Parosil Mabsus mempertimbangkan langkah strategis mengajukan pinjaman ke pemerintah pusat.

Namun langkah ini menjadi dilema besar. Di satu sisi, pinjaman menjadi solusi untuk mempercepat pembangunan yang tertunda akibat efisiensi anggaran. Di sisi lain, pinjaman juga berpotensi menjadi beban fiskal baru di masa mendatang. Pertanyaannya, apakah Lampung Barat siap menanggung konsekuensi jangka panjang dari kebijakan ini?.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2025 yang diterbitkan Presiden Prabowo Subianto membuka peluang baru bagi daerah untuk memperoleh pinjaman langsung dari pemerintah pusat. Tujuannya mulia, memperkuat pembiayaan pembangunan daerah. Namun, setiap kebijakan selalu menyimpan dua sisi tajam bisa menjadi jembatan kemajuan, atau jebakan hutang yang membatasi ruang gerak fiskal di masa depan.

Lebih dari itu, ketergantungan pada pemerintah pusat, baik dalam bentuk transfer maupun pinjaman, sejatinya menunjukkan lemahnya kemandirian daerah. Selama sumber pendapatan daerah tidak tumbuh, setiap guncangan fiskal di tingkat nasional akan langsung mengguncang keseimbangan ekonomi lokal.

Lampung Barat seharusnya belajar dari kondisi ini. Efisiensi anggaran memang perlu dilakukan, tetapi efisiensi tanpa inovasi hanya akan membuat pembangunan stagnan. Pemerintah daerah tidak bisa terus bergantung pada dana perimbangan atau pinjaman pusat. Ia harus mampu berdiri di atas potensi ekonominya sendiri.

Potensi itu sejatinya melimpah. Lampung Barat dikenal sebagai penghasil kopi robusta unggulan, memiliki bentang alam wisata yang memukau, dan sumber daya air melimpah dari kawasan pegunungan Bukit Barisan Selatan. Semua ini adalah modal besar yang bisa digarap menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Namun kenyataannya, potensi itu belum dioptimalkan. Banyak sektor ekonomi daerah masih bergantung pada pola konvensional. Nilai tambah dari hasil pertanian dan pariwisata belum tergarap maksimal karena minim inovasi dan dukungan anggaran. Padahal, jika dikelola dengan strategi yang matang, Lampung Barat bisa memperluas basis PAD tanpa harus menunggu dana pusat.

Ketika pendapatan daerah stagnan, ruang gerak pembangunan ikut menyempit. Efisiensi pun sering kali menjadi dalih untuk menunda proyek vital. Padahal, efisiensi seharusnya berarti menata ulang prioritas, bukan memangkas kebutuhan publik yang mendesak.

Lampung Barat memiliki kebutuhan mendesak di sektor jalan dan air bersih. Banyak ruas jalan kabupaten yang rusak berat karena kurangnya dana pemeliharaan. Masyarakat sudah lelah menunggu. Di beberapa wilayah, gotong royong memperbaiki jalan bukan lagi rutinitas sosial, melainkan satu-satunya cara agar akses ekonomi tetap hidup. Jika pinjaman bisa mempercepat perbaikan ini, tentu menjadi langkah yang patut dipertimbangkan.

Namun, pemerintah daerah harus sadar, pinjaman bukanlah sumber dana gratis. Ia adalah utang yang menuntut tanggung jawab dan pengelolaan yang ketat. Ketika APBD sudah tergerus, pembayaran cicilan dan bunga pinjaman di masa depan bisa menambah beban fiskal yang justru memperlambat pembangunan.

Efisiensi anggaran memang perlu, tetapi efisiensi tanpa strategi produktif ibarat menghemat lilin di tengah gelap penerangan, tak pernah cukup. Pemerintah daerah harus mampu menyeimbangkan antara penghematan dan inovasi pembiayaan. Di sinilah pentingnya kajian mendalam sebelum memutuskan langkah berutang.

Bupati Parosil Mabsus tampak berhati-hati dengan membentuk tim kajian khusus. Sikap ini patut diapresiasi, asalkan hasil kajian benar-benar melibatkan ahli ekonomi publik dan didasarkan pada kebutuhan riil masyarakat. Pinjaman yang tidak tepat sasaran justru bisa memperlebar jurang ketimpangan pembangunan antarpekon.

Sudah saatnya pemerintah daerah tidak hanya berpikir bagaimana menutup defisit, tetapi bagaimana memperbesar pendapatan. Ini bisa dimulai dari membangun sistem pengelolaan aset daerah yang transparan, menekan kebocoran retribusi, serta mendorong investasi produktif yang memberdayakan masyarakat.

Pemerintah juga perlu memperkuat kemitraan dengan swasta lokal, koperasi, dan komunitas masyarakat. Dengan begitu, pembangunan bisa berjalan melalui skema kolaboratif tanpa terlalu bergantung pada APBD atau pinjaman. Model pembiayaan alternatif seperti Public Private Partnership (PPP) bisa menjadi opsi realistis.

Kemandirian fiskal daerah bukanlah cita-cita muluk. Ia adalah kebutuhan mendesak agar Lampung Barat tidak terus tersandera oleh kebijakan pusat. Ketika pendapatan asli meningkat, pemerintah akan lebih leluasa menentukan prioritas pembangunan sesuai kebutuhan rakyatnya sendiri.

Masyarakat Lampung Barat telah memberi contoh nyata lewat gotong royong membangun jalan. Mereka menunjukkan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menyerah. Pemerintah daerah seharusnya mengambil semangat itu sebagai inspirasi dalam menata ulang strategi fiskal dan pembangunan.

Pinjaman bisa saja dilakukan, tetapi harus diarahkan untuk program produktif seperti revitalisasi ekonomi desa, pengembangan wisata berkelanjutan, dan hilirisasi kopi lokal. Proyek-proyek semacam ini tidak hanya memperbaiki jalan, tetapi juga membuka lapangan kerja dan meningkatkan PAD.

Jika pinjaman hanya digunakan untuk menambal infrastruktur tanpa dampak ekonomi, maka manfaatnya akan cepat habis sementara utangnya tetap harus dibayar. Prinsip kehati-hatian dan produktivitas harus menjadi roh utama dalam kebijakan fiskal daerah.

Krisis fiskal sejatinya bukan hanya tentang kurangnya uang, melainkan tentang kurangnya keberanian untuk berinovasi. Pemerintah daerah perlu berani keluar dari pola lama yang birokratis dan lamban, menuju tata kelola keuangan yang modern, terbuka, dan berorientasi hasil.

Lampung Barat berada di persimpangan penting, tetap berjalan dengan ketergantungan tinggi pada pusat, atau bertransformasi menjadi daerah yang mandiri dan berdaya saing. Pilihan ini akan menentukan wajah pembangunan daerah dalam satu dekade ke depan.

Efisiensi boleh diterapkan, tapi kemandirian harus diperjuangkan. Karena pada akhirnya, pembangunan sejati bukan diukur dari banyaknya pinjaman yang diajukan, melainkan dari seberapa besar daerah mampu membiayai dirinya sendiri dengan potensi yang dimilikinya.

Ketua DPRD Lampung Barat, Edi Novial, juga menegaskan pentingnya kehati-hatian. Ia benar bahwa pinjaman bisa menjadi solusi realistis, namun tetap harus dibahas secara kolektif dan transparan. Sayangnya, pengalaman di banyak daerah menunjukkan bahwa transparansi dan partisipasi publik kerap kali lemah ketika urusan pinjaman daerah dibahas. Ini harus dihindari.

Kita perlu menegaskan, pinjaman bukan jalan pintas. Ia hanya alat, bukan tujuan. Jika dana pinjaman nantinya digunakan hanya untuk proyek fisik tanpa penguatan ekonomi masyarakat, maka hasilnya tidak akan berkelanjutan. Infrastruktur tanpa pertumbuhan produktif hanya akan menambah biaya perawatan tanpa menambah pendapatan daerah.

Urgensi pembangunan di Lampung Barat memang tidak bisa ditunda. Banyak akses jalan yang menjadi jalur ekonomi warga justru rusak parah, menghambat mobilitas hasil bumi dan komoditas unggulan daerah. Dalam konteks ini, pinjaman dapat diposisikan sebagai 'investasi strategis', bukan sekadar tambahan dana. Namun, setiap rupiah yang dipinjam harus dikembalikan dengan nilai manfaat yang lebih besar.

Di sisi lain, efisiensi anggaran seharusnya tidak sekadar memangkas belanja, tetapi menata ulang prioritas. Pemerintah daerah perlu berani mengalihkan belanja yang tidak produktif ke sektor yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas menjadi syarat mutlak dalam setiap keputusan fiskal.

Kritik utama terhadap kebijakan efisiensi di banyak daerah adalah kurangnya keberpihakan pada kebutuhan dasar publik. Ketika masyarakat harus turun tangan membangun jalan secara swadaya, itu pertanda bahwa pemerintah telah kehilangan fungsi utamanya sebagai pelayan publik. Pemerintah daerah tidak boleh menganggap gotong royong masyarakat sebagai pengganti tanggung jawab negara.

Jika Lampung Barat ingin keluar dari tekanan fiskal, langkah berani memang perlu diambil. Tetapi keberanian tanpa perencanaan adalah perjudian. Pemerintah daerah perlu memastikan pinjaman digunakan secara produktif bukan hanya untuk memperbaiki jalan, tetapi juga menciptakan nilai tambah ekonomi seperti penguatan UMKM, pariwisata, dan ketahanan pangan.

Selain itu, pembenahan tata kelola keuangan daerah mutlak dilakukan. Tanpa efisiensi yang disertai transparansi dan pengawasan publik, pinjaman hanya akan menjadi beban yang diwariskan ke generasi berikutnya. Masyarakat sudah membuktikan bahwa mereka mampu berinisiatif menjaga keberlanjutan pembangunan melalui gotong royong. 

Sekarang giliran pemerintah membuktikan bahwa mereka juga mampu bertindak cepat dan cerdas dalam mengelola kebijakan fiskal.  Lampung Barat tidak boleh terus terjebak dalam lingkaran 'Efisiensi Tanpa Solusi'

Jika pinjaman kepada pemerintah pusat memang menjadi pilihan, maka langkah itu harus dilakukan dengan tanggung jawab penuh dengan keberanian yang diimbangi oleh kebijaksanaan. Karena di balik setiap angka pinjaman, ada harapan masyarakat yang menanti jalan mereka kembali layak dilalui. (*).