• Rabu, 05 November 2025

Ratusan Produk Industri di Metro Belum Bersertifikat Halal

Rabu, 05 November 2025 - 11.40 WIB
60

Kepala Bidang (Kabid) Industri Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindustrian Kota Metro, Amran Syahbani. Foto: Arby/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Dibalik geliat industri kecil menengah (IKM) yang kerap disebut sebagai tulang punggung ekonomi daerah, Kota Metro ternyata masih menyimpan persoalan mendasar, yaitu sebanyak 431 IKM belum memiliki sertifikat halal.

Data Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindustrian Kota Metro per Desember 2024 mencatat, dari total 2.131 IKM, hanya 1.700 pelaku usaha yang sudah bersertifikat halal berdasarkan data Kementerian Agama. Sisanya, masih belum memenuhi standar legalitas yang kini menjadi syarat wajib bagi produk pangan dan konsumsi di Indonesia.

Kepala Bidang (Kabid) Industri pada dinas tersebut, Amran Syahbani, menegaskan bahwa persoalan ini tidak semata soal teknis perizinan, melainkan cermin lemahnya publikasi dan eksposur terhadap pelaku IKM di Metro.

“Para pelaku IKM di Metro belum ada eksposur atau publikasi. Hal-hal inilah yang menjadi kendala bagi pemerintah kota dalam melakukan pendampingan dan memberikan dukungan publikasi,” kata dia saat dikonfirmasi, Rabu (5/11/2025).

Ia mengakui bahwa publikasi menjadi titik lemah yang menghambat percepatan pertumbuhan industri kecil. Padahal, publikasi bukan hanya urusan promosi, tetapi juga bagian dari strategi memperkuat citra dan kepercayaan publik terhadap produk lokal.

“Ketika kita bicara publikasi, maka kita bicara soal anggaran. Dan anggaran publikasi itu tidak bisa sedikit,” ucapnya.

Diriny menjelaskan, dari ribuan pelaku industri, baru 179 IKM yang terdaftar dalam Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), angka yang sangat kecil dibandingkan total potensi industri di Metro. Ia juga membeberkan bahwa pengurusan sertifikat halal menjadi tantangan tersendiri karena sebagian besar produk yang dihasilkan merupakan Produk Industri Rumah Tangga (PIRT).

“Pengurusan sertifikat halal untuk produk PIRT membutuhkan waktu dan proses yang cukup panjang. Padahal, meski panjang pengurusan sertifikasi halalnya itu gratis bagi pelaku IKM sampai saat ini. Pada dasarnya banyak pelaku usaha yang malas mengurusnya,” ujarnya.

Alumni Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) tahun 2005 itu mengungkapkan bahwa kemalasan tersebut bukan sekadar persoalan mentalitas, melainkan akibat rendahnya literasi administrasi dan lemahnya pendampingan teknis.

"Banyak pelaku IKM yang tidak memahami alur pengajuan, biaya, dan manfaat sertifikasi halal bagi perluasan pasar mereka," ungkapnya.

Di tengah berbagai program pengembangan UMKM, fakta lain yang mencolok adalah hanya 16 IKM di Metro yang memiliki omzet di atas Rp25 juta per bulan. Angka ini menunjukkan ketimpangan produktivitas antara pelaku industri kecil dan mikro, sekaligus memperlihatkan belum efektifnya strategi pemberdayaan ekonomi daerah.

Sementara itu, Metro sendiri hanya memiliki satu perusahaan besar yang beroperasi secara penuh. Selebihnya, seluruh denyut ekonomi bergantung pada usaha kecil menengah dan sektor yang padat karya, namun sering luput dari perhatian kebijakan strategis.

Menurut Amran, di era digitalisasi ekonomi, pelaku IKM di Metro seharusnya tidak lagi bergantung sepenuhnya pada dukungan anggaran pemerintah untuk publikasi. Ia mendorong agar para pelaku usaha memanfaatkan media sosial dan teknologi informasi sebagai sarana promosi murah dan efektif.

“Inilah yang seharusnya dimanfaatkan. Media sosial bisa jadi alat promosi yang kuat tanpa perlu biaya besar untuk publikasi di media massa. Asal mereka mau belajar dan konsisten,” tuturnya.

Namun, di sisi lain, kritik juga muncul terhadap lambannya pemerintah daerah dalam menyediakan sistem pendampingan berbasis digital. Tanpa infrastruktur pelatihan dan inkubasi digital yang kuat, ajakan untuk ‘go digital’ seringkali berhenti di tataran wacana.

Persoalan 431 IKM yang belum bersertifikat halal sejatinya adalah potret kecil dari tantangan struktural sektor industri kecil di Metro. Mereka menghadapi tumpukan persoalan klasik tentang keterbatasan dana, minimnya akses informasi, rendahnya literasi digital, dan kurangnya perhatian kebijakan.

Sertifikasi halal bukan hanya urusan religius, melainkan penanda kualitas dan daya saing produk lokal di pasar nasional. Ketika pelaku IKM tidak memiliki legalitas yang kuat, maka mereka otomatis tertinggal dari kompetisi yang kini semakin terbuka.

Kota Metro, yang digadang sebagai kota pendidikan dan kota layak investasi, kini dihadapkan pada ujian nyata tentang apakah pemerintah daerah mampu menjadikan sektor IKM sebagai mesin ekonomi modern, atau terus membiarkannya berjalan tanpa arah di jalur tradisional yang semakin sempit.

Kesimpulannya, masalah 431 IKM tanpa sertifikat halal bukan sekadar soal malas mengurus perizinan. Itu adalah cermin kurangnya sistem pendampingan yang terstruktur, minimnya strategi publikasi yang terintegrasi, dan lambannya transformasi digital sektor industri kecil di Metro. Jika tidak ada langkah korektif yang berani, sektor IKM Metro akan terus hidup dalam bayang-bayang potensi, ramai di data, tapi sepi di pasar. (*)