Ratusan Produk Industri di Metro Belum Bersertifikat Halal
Kepala Bidang (Kabid) Industri Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindustrian Kota Metro, Amran Syahbani. Foto: Arby/Kupastuntas.co
Kupastuntas.co,
Metro - Dibalik geliat industri kecil menengah (IKM) yang kerap disebut sebagai
tulang punggung ekonomi daerah, Kota Metro ternyata masih menyimpan persoalan
mendasar, yaitu sebanyak 431 IKM belum memiliki sertifikat halal.
Data Dinas
Koperasi, UMKM, dan Perindustrian Kota Metro per Desember 2024 mencatat, dari
total 2.131 IKM, hanya 1.700 pelaku usaha yang sudah bersertifikat halal
berdasarkan data Kementerian Agama. Sisanya, masih belum memenuhi standar
legalitas yang kini menjadi syarat wajib bagi produk pangan dan konsumsi di
Indonesia.
Kepala Bidang
(Kabid) Industri pada dinas tersebut, Amran Syahbani, menegaskan bahwa
persoalan ini tidak semata soal teknis perizinan, melainkan cermin lemahnya
publikasi dan eksposur terhadap pelaku IKM di Metro.
“Para pelaku IKM di
Metro belum ada eksposur atau publikasi. Hal-hal inilah yang menjadi kendala
bagi pemerintah kota dalam melakukan pendampingan dan memberikan dukungan
publikasi,” kata dia saat dikonfirmasi, Rabu (5/11/2025).
Ia mengakui bahwa publikasi
menjadi titik lemah yang menghambat percepatan pertumbuhan industri kecil.
Padahal, publikasi bukan hanya urusan promosi, tetapi juga bagian dari strategi
memperkuat citra dan kepercayaan publik terhadap produk lokal.
“Ketika kita bicara
publikasi, maka kita bicara soal anggaran. Dan anggaran publikasi itu tidak
bisa sedikit,” ucapnya.
Diriny menjelaskan,
dari ribuan pelaku industri, baru 179 IKM yang terdaftar dalam Sistem Informasi
Industri Nasional (SIINas), angka yang sangat kecil dibandingkan total potensi
industri di Metro. Ia juga membeberkan bahwa pengurusan sertifikat halal
menjadi tantangan tersendiri karena sebagian besar produk yang dihasilkan
merupakan Produk Industri Rumah Tangga (PIRT).
“Pengurusan
sertifikat halal untuk produk PIRT membutuhkan waktu dan proses yang cukup
panjang. Padahal, meski panjang pengurusan sertifikasi halalnya itu gratis bagi
pelaku IKM sampai saat ini. Pada dasarnya banyak pelaku usaha yang malas
mengurusnya,” ujarnya.
Alumni Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) tahun 2005 itu mengungkapkan bahwa kemalasan
tersebut bukan sekadar persoalan mentalitas, melainkan akibat rendahnya
literasi administrasi dan lemahnya pendampingan teknis.
"Banyak pelaku
IKM yang tidak memahami alur pengajuan, biaya, dan manfaat sertifikasi halal
bagi perluasan pasar mereka," ungkapnya.
Di tengah berbagai
program pengembangan UMKM, fakta lain yang mencolok adalah hanya 16 IKM di
Metro yang memiliki omzet di atas Rp25 juta per bulan. Angka ini menunjukkan
ketimpangan produktivitas antara pelaku industri kecil dan mikro, sekaligus
memperlihatkan belum efektifnya strategi pemberdayaan ekonomi daerah.
Sementara itu,
Metro sendiri hanya memiliki satu perusahaan besar yang beroperasi secara
penuh. Selebihnya, seluruh denyut ekonomi bergantung pada usaha kecil menengah
dan sektor yang padat karya, namun sering luput dari perhatian kebijakan
strategis.
Menurut Amran, di
era digitalisasi ekonomi, pelaku IKM di Metro seharusnya tidak lagi bergantung
sepenuhnya pada dukungan anggaran pemerintah untuk publikasi. Ia mendorong agar
para pelaku usaha memanfaatkan media sosial dan teknologi informasi sebagai
sarana promosi murah dan efektif.
“Inilah yang
seharusnya dimanfaatkan. Media sosial bisa jadi alat promosi yang kuat tanpa
perlu biaya besar untuk publikasi di media massa. Asal mereka mau belajar dan
konsisten,” tuturnya.
Namun, di sisi
lain, kritik juga muncul terhadap lambannya pemerintah daerah dalam menyediakan
sistem pendampingan berbasis digital. Tanpa infrastruktur pelatihan dan
inkubasi digital yang kuat, ajakan untuk ‘go digital’ seringkali berhenti di
tataran wacana.
Persoalan 431 IKM
yang belum bersertifikat halal sejatinya adalah potret kecil dari tantangan
struktural sektor industri kecil di Metro. Mereka menghadapi tumpukan persoalan
klasik tentang keterbatasan dana, minimnya akses informasi, rendahnya literasi
digital, dan kurangnya perhatian kebijakan.
Sertifikasi halal
bukan hanya urusan religius, melainkan penanda kualitas dan daya saing produk
lokal di pasar nasional. Ketika pelaku IKM tidak memiliki legalitas yang kuat,
maka mereka otomatis tertinggal dari kompetisi yang kini semakin terbuka.
Kota Metro, yang
digadang sebagai kota pendidikan dan kota layak investasi, kini dihadapkan pada
ujian nyata tentang apakah pemerintah daerah mampu menjadikan sektor IKM
sebagai mesin ekonomi modern, atau terus membiarkannya berjalan tanpa arah di
jalur tradisional yang semakin sempit.
Kesimpulannya,
masalah 431 IKM tanpa sertifikat halal bukan sekadar soal malas mengurus
perizinan. Itu adalah cermin kurangnya sistem pendampingan yang terstruktur,
minimnya strategi publikasi yang terintegrasi, dan lambannya transformasi
digital sektor industri kecil di Metro. Jika tidak ada langkah korektif yang
berani, sektor IKM Metro akan terus hidup dalam bayang-bayang potensi, ramai di
data, tapi sepi di pasar. (*)
Berita Lainnya
-
165 Pelajar SMA Muhammadiyah Ahmad Dahlan Metro Tuntaskan TKA
Rabu, 05 November 2025 -
Luka Intelektual Kota, Saat Koneksi Mengalahkan Kompetensi, Oleh: Arby Pratama
Rabu, 05 November 2025 -
Pengamat: Kenaikan Anggaran BPJS Kota Metro Belum Sentuh Akar Masalah
Senin, 03 November 2025 -
Pemkot Metro Terapkan Sistem Digital, ASN Wajib Ikut Pelatihan Sebelum 2026
Senin, 03 November 2025









