• Rabu, 05 November 2025

Luka Intelektual Kota, Saat Koneksi Mengalahkan Kompetensi, Oleh: Arby Pratama

Rabu, 05 November 2025 - 08.39 WIB
337

Arby Pratama, Wartawan Kupas Tuntas di Kota Metro. Foto: Arby/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Kita sering membanggakan diri sebagai bangsa besar, kaya budaya, dan beradab. Namun ketika bicara soal kecerdasan kolektif, kemampuan berpikir kritis, jujur, dan produktif di Indonesia masih tertatih di persimpangan. Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa bangsa dengan otak cerdas ini belum menjadi negara cerdas?

Kota Metro, yang sering dijuluki Kota Pendidikan, sebenarnya adalah miniatur dari persoalan nasional. Sekolah-sekolah tumbuh, kampus menjamur, tapi ruang berpikir justru menyempit. Para pelajar sibuk menghafal, bukan bertanya. Para pendidik sibuk mengejar angka, bukan makna. Dan birokrasi sibuk menyusun laporan, bukan perubahan.

Di Eropa dan Asia modern seperti Jepang atau Tiongkok, kecerdasan dibangun lewat keberanian bertanya dan menalar. Anak-anak diajarkan berpikir kritis sejak dini tentang mengapa ini terjadi dan bagaimana memperbaikinya.

Di Metro, sebagaimana di banyak daerah lain di Indonesia, pendidikan masih dikuasai logika ujian. Nilai menjadi lebih penting daripada nalar. Hafalan lebih dihargai daripada keberanian mengoreksi.

Hasilnya, kita mencetak generasi pandai mengutip, tapi takut menantang. Sekolah mencetak penurut, bukan pembaru. Dan dari rahim sistem seperti itu, sulit lahir manusia yang benar-benar merdeka berpikir.

Di banyak negara maju, kecerdasan dihargai karena kinerja dan ide. Di sini, siapa yang dikenal masih lebih kuat daripada apa yang mampu dilakukan.

Kota Metro tidak luput dari penyakit ini.

Dunia birokrasi dan politik sering menilai manusia dari kedekatan, bukan kapasitas. Orang cerdas akhirnya diam, karena sistem tidak memberi ruang untuk orang berakal jernih, melainkan untuk orang yang pandai menyenangkan atasan.

Ini bukan sekadar ironi, ini adalah sabotase terhadap masa depan. Lihatlah Jepang dengan disiplin waktunya, atau Tiongkok dengan kerja sistemiknya. Mereka maju bukan karena lebih pintar, tapi karena lebih bersungguh-sungguh.

Sementara di sini, budaya “yang penting hadir” masih mengakar kuat. Banyak rapat dimulai tanpa hasil, banyak proyek selesai tanpa arah, dan banyak kebijakan hanya lahir untuk sekadar menggugurkan kewajiban.

Di Metro, yang dikenal tertib dan nyaman, etos kerja publik pun mulai meluntur. Disiplin menjadi formalitas, bukan kesadaran. Maka, ini menjadi pekerjaan rumah yang mungkin berat bagi pemerintahan Bambang-Rafieq untuk membenahinya.

Kecerdasan tidak bisa tumbuh di tanah yang masih feodal. Dan sayangnya, banyak institusi pendidikan hingga birokrasi kita masih beroperasi dalam pola pikir “atasan selalu benar.”

Selama budaya ini tidak diubah, selama berpikir berbeda masih dianggap ancaman, selama inovasi dianggap gangguan dan selama itu pula, kecerdasan akan terkurung dalam ruang gelap.

Kota Metro memiliki modal besar yaitu kampus yang berkembang, anak muda yang kritis, dan lingkungan sosial yang relatif stabil. Tapi tanpa keberanian membongkar budaya “asal aman”, kota ini hanya akan menjadi kota belajar tanpa kemajuan.

Kita butuh revolusi cara berpikir. Pendidikan harus kembali pada esensinya dalam mendidik manusia berpikir, bukan sekadar mencetak lulusan. Kita butuh birokrasi yang menghargai ide, bukan hanya asal patuh. Kita butuh pemimpin yang memantik kecerdasan kolektif, bukan memelihara ketergantungan.

Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar, yang kurang adalah sistem yang memberi ruang bagi kecerdasan untuk hidup. Kota Metro bisa menjadi titik balik. Tapi hanya jika berani menatap cermin, bahwa kita belum secerdas yang kita kira. (*)