• Senin, 27 Oktober 2025

169 Kios di Lampung Langgar HET, Pengamat: Negara Tak Boleh Kalah dengan Kartel Pupuk

Senin, 27 Oktober 2025 - 09.59 WIB
23

Pengamat hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Sebanyak 169 kios pupuk bersubsidi di Provinsi Lampung kedapatan menjual pupuk jenis Urea dan NPK di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, kios-kios nakal tersebut tersebar di 10 kabupaten. Rinciannya, Lampung Selatan 60 kios, Mesuji 31 kios, Pesawaran 25 kios, Lampung Tengah 14 kios, Tanggamus 12 kios, Way Kanan 9 kios, Lampung Barat 7 kios, Pringsewu 5 kios, dan Tulang Bawang 3 kios.

Padahal, sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor 800/KPTS/SR.310/M/09/2025, harga satu karung pupuk Urea ditetapkan Rp112.500 atau Rp2.250 per kilogram, dan pupuk NPK Rp115.000 atau Rp2.300 per kilogram.

Namun faktanya, sejumlah kios menjual pupuk tersebut jauh di atas ketentuan, dengan harga Rp117.000 hingga Rp185.000 per karung Urea, serta Rp123.000 hingga Rp185.000 per karung NPK.

Terkait hal itu, Pengamat hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara, menilai praktik tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi.

"Pupuk bersubsidi bukan sekadar komoditas dagang, tetapi merupakan instrumen kebijakan negara dalam mewujudkan kedaulatan pangan sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,” tegas Benny kepada Kupas Tuntas, Senin (27/10/2025).

Menurutnya, menjual pupuk bersubsidi secara eksploitatif tidak hanya merugikan petani, tetapi juga mengganggu stabilitas ekonomi nasional.

Dari sisi hukum administrasi, Benny menegaskan pemerintah wajib mencabut izin usaha kios yang melanggar ketentuan harga sesuai regulasi tata niaga pupuk bersubsidi.

"Langkah pencabutan izin adalah bentuk penegakan hukum yang sah, karena regulasi pupuk bersubsidi merupakan lex specialis yang harus ditaati,” jelasnya.

Baca juga : 169 Kios Pupuk di Lampung Langgar Harga Eceran Tertinggi, Tersebar di 10 Kabupaten/Kota

Lebih jauh, ia menyebut penjualan pupuk bersubsidi di atas HET dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi.

"Perbuatan tersebut melanggar UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, khususnya Pasal 107 yang mengatur sanksi pidana bagi pelaku yang menjual barang dengan harga melebihi ketentuan pemerintah,” terang Benny.

Selain itu, pelaku juga bisa dijerat dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahkan dapat dikategorikan sebagai penyelewengan subsidi negara karena berdampak sistemik terhadap sektor pertanian.

Benny menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah. "Pengawasan seharusnya dilakukan secara berjenjang oleh Kementerian Pertanian, Kemendag, dinas pertanian provinsi dan kabupaten, hingga aparat penegak hukum,” kata dia.

Menurutnya, kelalaian yang berulang hingga merugikan petani dapat dikategorikan sebagai maladministrasi, bahkan membuka dugaan adanya kolusi antara aparat dengan pelaku usaha.

Untuk menimbulkan efek jera, Benny mendorong penerapan sanksi berlapis, mulai dari administratif, perdata, hingga pidana ekonomi.

"Cabut izin kios, diskualifikasi dari jaringan distribusi, kenakan denda dan pidana sesuai UU Perdagangan, serta publikasikan daftar kios nakal agar menjadi pelajaran sosial,” ujarnya.

Benny menegaskan, negara tidak boleh kalah dari kartel pupuk. Hukum harus menjadi alat untuk melindungi petani, bukan alat kompromi bagi pelaku pelanggaran.

"Saat pupuk menjadi mahal karena permainan harga, derita petani bukan lagi akibat alam, tetapi karena kealpaan manusia. Di sinilah hukum harus hadir dengan tegas dan berkeadilan,” tutupnya. (*)