Jejak Sejarah Transformasi Metro, Fighting Spirit Sudarsono dan Manifesto Adipura Baru Metro
Wawancara eksklusif dengan Sudarsono, saksi hidup transformasi Metro dari Kota Administratif menjadi Kota Madya. Foto: Arby/Kupastuntas.co
Kupastuntas.co, Metro - Hujan turun perlahan malam itu,
jalanan yang dulu rapi dan beraroma bunga bougainville kini tergenang air,
daun-daun kering berputar di bawah tiupan angin. Tak ada lagi suara anak-anak
bermain, tak ada burung yang singgah di pohon angsana tua yang kini berdiri
layu, hanya sisa ingatan tentang kejayaan sebuah kota yang dulu disebut Kota
Taman, Kota Adipura, dan ota Pendidikan.
Di ujung jalan, lampu rumah tua di Jl. Atmo Sentono Kelurahan Karangrejo, Kecamatan Metro Utara tampak menyala. Di dalam rumah itu, Sudarsono, guru yang menjadi kepala desa, kepala desa yang menjadi anggota DPRD, duduk sambil menatap keluar pintu samping rumahnya.
Uap kopi hitam mengepul, hujan menetes di talang genteng. Suaranya berat, tapi tenang, saat ia memulai cerita kepada Jurnalis Kupas Tuntas Grup yang datang menemuinya malam itu (24/10/2025), dari pukul 20.00 hingga 23.00 WIB.
“Saya masih ingat, waktu itu tahun 1993. Metro belum jadi kota. Kami gotong royong, menanam pohon angsana, mengangkut bibit pakai mobil jambrong. Kami punya mimpi, Metro jadi kota hijau, kota beradab. Dan Haji Kardinal, pemimpin kami, disebut orang gila taman. Tapi bagi kami, beliau pahlawan kota," kata dia mengawali cerita.
Malam itu, suara hujan menjadi latar dari cerita panjang perjuangan. Sudarsono memutar kembali kenangan di masa ketika Metro bukan sekadar tempat tinggal, tapi cita-cita kolektif.
Bayangkan, tahun 1992–1993, di tengah terik dan debu, sekelompok orang berkeliling ke Gunung Sugih dan Bandar Jaya mencari bibit pohon. Mereka menanam di sepanjang jalan, di taman-taman kecil, di tepi parit. Haji Kardinal memimpin langsung, tanpa seremonial, tanpa proyek besar.
“Bibitnya kami kumpulkan di TPAS Karangrejo, bahkan di belakang rumah dinas Walikotib yang sekarang jadi cagar budaya. Kami ingin setiap sudut kota punya warna. Bougainville wajib ada di setiap taman. Itulah Metro kami dulu yang bersih, tertata, dan hidup," ujar Sudarsono.
Mata Sudarsono berkaca-kaca. Ia bukan sedang bernostalgia, tapi sedang menyampaikan pesan bahwa Adipura bukan piala melainkan jiwa kota.
“Dulu, Adipura itu semangat. Fighting spirit. Bukan sekadar penghargaan, tapi identitas. Siapa yang mencintai Metro, berarti punya metrominded. Siapa yang tidak mengenang Kardinal, berarti apatis," cetusnya.
Hujan belum berhenti. Tapi kata-kata Sudarsono mulai mengeras. Ia menatap lurus, suaranya berubah tajam, seperti sedang memanggil nurani orang-orang yang kini memimpin Metro.
"Metro hari ini rusak karena apatisme. Banyak oknum yang hanya cari duit. Terminal dijadikan pasar, ruko-ruko menabrak garis sempadan, TPAS Karangrejo tidak terurus, bahkan sampah dari luar kota dibuang ke Metro. Bagaimana mau dapat Adipura," cetusnya dengan nada berapi-api.
Setiap kata seperti cambuk. Ia tidak sedang mengkritik, ia sedang menyalakan bara. Bagi Sudarsono, hilangnya Adipura bukan kegagalan teknis melainkan patah moral kolektif. Metro yang dulu hidup dengan idealisme, kini tumbuh dengan ketidakpedulian.
“Pemerintah kota kehilangan roh. Dulu pemimpin datang ke lapangan, mengajak warga kerja bakti. Sekarang banyak yang datang hanya untuk seremoni. Hari ini, banyak pemimpin yang pandai berpidato, tapi lupa pada akar," ucapnya lirih.
Sudarsono berhenti sejenak. Angin malam masuk lewat jendela. Ia menatap foto-foto lama di dinding sambil menghisap rokok kesuksesannya. Foto-foto itu seperti potongan film dari masa ketika Metro masih punya jiwa.
“Masyarakat itu cermin pemimpinnya. Kalau pemimpinnya punya niat, masyarakat pasti ikut. Tapi kalau pemimpinnya diam, apatis, masyarakat ikut mati rasa," ungkapnya.
Sebagai anggota DPRD Kota Metro, ia bicara tentang pentingnya audit, transparansi, dan keberanian. Sudarsono ingin pemimpin datang langsung ke kelurahan, menatap sendiri wajah kota yang kini tertutup debu dan sampah.
"Jangan cuma rapat di ruangan ber-AC. Datanglah ke terminal, ke pasar, ke TPAS. Lihat, cium, rasakan sendiri baunya Metro hari ini," cetus pria yang akrab disapa Lek Darsono itu.
Sudarsono yakin, kebangkitan masih mungkin. Tapi hanya kalau ada kemauan politik. Ia bahkan menegaskan, “Kalau pemerintah tidak punya niat meraih Adipura lagi, lebih baik mundur semua. Karena Metro tanpa cita-cita bukan lagi kota, hanya nama di peta," tegasnya.
Jam hampir menunjuk pukul sebelas malam. Hujan tinggal rintik. Sudarsono berdiri dari kursinya, mendekati jendela. Di luar, lampu jalan memantul di genangan air, menciptakan bayangan seperti taman yang kembali hidup.
“Saya yakin, empat tahun kepemimpinan Bambang dan Rafieq bisa jadi masa kebangkitan, asal ada niat. Buat tim percepatan Adipura, bentuk gerakan gotong royong baru. Saya siap bantu. Metro ini masih punya harapan," harapnya.
Suaranya bergetar. Tapi di balik getar itu, ada keyakinan yang keras seperti baja. Adipura, baginya, bukan nostalgia, tapi arah. Bukan sekadar simbol kebersihan, tapi simbol kepemimpinan dan kesadaran.
Kupas Tuntas mencatat kalimat terakhir Sudarsono malam itu. Kalimat yang kemudian menjadi judul feature ini, yaitu Manifesto Adipura Baru Metro. Sudarsono menyusunnya bukan di atas kertas, tapi dari kenangan dan keyakinan.
Darsono ingin jiwa kota kembali dengan tata ruang yang taat aturan, terminal bukan pasar, ruang publik bukan ruko. Audit dan evaluasi total setiap OPD, setiap kelurahan harus diperiksa. Bukan untuk mencari salah, tapi mencari semangat. Galakkan transparansi anggaran kebersihan. Rakyat berhak tahu ke mana uang untuk lingkungan digunakan.
Edukasi lingkungan yang berkelanjutan. Sampah punya nilai ekonomi dan pemerintah harus membuat warga percaya akan itu. Gotong royong sebagai budaya bukan program seremonial, tapi gaya hidup kota. Terakhir ialah pemimpin yang hadir di lapangan. Bukan pemimpin yang menunggu laporan, tapi yang mencium bau sampah sendiri dan menanam pohon dengan tangannya.
Saat Jurnalis Kupas Tuntas Grup pamit malam itu, hujan
benar-benar berhenti. Jalanan basah memantulkan cahaya kuning dari lampu rumah
Sudarsono. Pohon angsana di depan rumah bergoyang perlahan, seperti mengangguk
setuju.
Sudarsono berdiri di teras, menatap jauh ke arah utara, seolah menatap taman-taman masa lalu yang menunggu untuk dihidupkan kembali. Dan dari hujan malam di Karangrejo itu, lahirlah sebuah suara perlawanan, sebuah panggilan hati untuk seluruh warga dan pemimpinnya. Bangkitlah Metro. Mari kita tulis ulang sejarah Adipura dengan tangan kita sendiri. (*)
Berita Lainnya
-
Gedung Pelatihan JMC Diresmikan, Pemkot Metro Fokus Tekan Pengangguran
Jumat, 24 Oktober 2025 -
Kanopi Kenangan dari Wagiman, Jejak Saksi Sejarah Transformasi Kota Metro
Jumat, 24 Oktober 2025 -
DPRD Sebut Sirkuit Balap Jadi Solusi Inovasi Tingkatkan PAD Metro
Jumat, 24 Oktober 2025 -
Job Fair Online Segera Dibuka, Disnakertrans Metro Sebut Ratusan Lowongan Tersedia
Jumat, 24 Oktober 2025









