• Rabu, 15 Oktober 2025

Cermin Retak dari Kota Pendidikan, Oleh : Arby Pratama

Rabu, 15 Oktober 2025 - 13.00 WIB
132

Arby Pratama, Wartawan Kupas Tuntas di Kota Metro. Foto: Dok.

Kupastuntas.co, Metro - Metro kini menatap dirinya di cermin yang retak, dimana bayangan kemajuan tak lagi jernih. Di balik label “Kota Pendidikan”, tersimpan kenyataan getir bahwa kekerasan rumah tangga, anak-anak korban pornografi, dan budaya permisif yang tumbuh tanpa kendali.

Di kota yang seharusnya menanam nilai, kita justru memanen luka. Cermin itu mengingatkan bahwa pendidikan tanpa moral hanyalah kebanggaan yang hampa. Kota Metro menempati peringkat ketiga tertinggi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Lampung.

Sebuah ironi sosial yang mencerminkan benturan antara kemajuan teknologi, perubahan budaya, dan krisis moral di ruang-ruang keluarga yang mestinya menjadi tempat paling aman bagi tumbuhnya cinta dan kasih sayang.

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI per 9 Oktober 2025 mencatat 611 kasus kekerasan dengan 660 korban di 15 kabupaten/kota di Lampung.

Dari jumlah itu, Kota Metro menyumbang 61 kasus, hanya kalah dari Bandar Lampung dan Lampung Tengah. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi alarm keras yang menandai kegagalan kolektif kita dalam melindungi perempuan dan anak.

Kepala DP3AP2KB Kota Metro, Subehi, menyebutkan salah satu penyumbang utama kekerasan domestik adalah akses mudah terhadap konten pornografi di internet. Ini bukan tuduhan mengada-ada.

Di era digital, anak-anak kini tumbuh dalam ekosistem yang dibanjiri oleh arus visual erotik tanpa filter. Dengan satu sentuhan layar, batas antara pendidikan dan perusakan moral menjadi kabur.

Pornografi tidak hanya merusak moral, tapi juga menormalisasi kekerasan dalam relasi sosial. Banyak pelaku kekerasan rumah tangga (KDRT) yang terinspirasi oleh konten pornografi yang menampilkan kekerasan seksual sebagai bentuk dominasi atau kepuasan.

Lebih berbahaya lagi, konten-konten itu dikonsumsi secara diam-diam oleh anak-anak dan remaja, sehingga membentuk persepsi salah bahwa kekerasan adalah ekspresi cinta atau tanda kekuatan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa krisis digital kini bertransformasi menjadi krisis sosial. Internet yang mestinya menjadi ruang pembelajaran justru berubah menjadi arena pelatihan kekerasan simbolik dan seksual. Dan sayangnya, kontrol keluarga terhadap konsumsi media anak-anak nyaris tak ada. Orang tua sibuk bekerja, sementara gawai menjadi pengasuh baru yang tanpa nurani.

Dari 61 kasus kekerasan di Metro, 26 di antaranya terjadi dalam lingkup rumah tangga. Angka ini menegaskan bahwa banyak kekerasan justru lahir dari orang-orang terdekat seperti suami terhadap istri, orang tua terhadap anak, bahkan antar saudara.

Rumah yang mestinya menjadi sekolah pertama tentang cinta, kini berubah menjadi tempat penanaman trauma. Banyak perempuan memilih diam karena takut kehilangan nafkah, malu, atau karena tekanan sosial yang masih menganggap KDRT sebagai “urusan rumah tangga”. Padahal, diam adalah bentuk kekerasan baru alias kekerasan terhadap diri sendiri.

Data DP3AP2KB menunjukkan 19 korban kekerasan di Metro adalah anak dan remaja berusia 1–17 tahun. Ini adalah generasi yang belum sempat sepenuhnya mengenal dunia, tapi sudah harus belajar bertahan dari kekerasan di dalam rumah atau lingkungan sekolah.

Ini menandakan bahwa pendidikan formal tidak cukup jika rumah tangga gagal menjadi fondasi nilai kemanusiaan. Sekolah Ramah Anak dan Kota Layak Anak yang diusung Pemkot Metro tidak akan bermakna jika masih ada orang tua yang menjadikan kekerasan sebagai bahasa komunikasi utama.

Kota Metro patut diapresiasi karena sudah memiliki UPTD PPA dan rumah aman bagi korban. Namun, di lapangan, mekanisme layanan cepat atau emergency response belum tersedia.

Saat laporan masuk, penanganan sering terlambat karena birokrasi dan koordinasi antar instansi belum seefektif yang diharapkan.

Inisiatif pembentukan Tim Reaksi Cepat Layanan Kekerasan Perempuan dan Anak yang sedang disusun DP3AP2KB adalah langkah penting. Tapi perlu diingat, bahwa kecepatan bukan hanya soal teknis, melainkan juga soal empati dan keberanian untuk turun tangan segera, bukan setelah korban menjadi headline berita.

Lebih jauh lagi, ketiadaan Peraturan Daerah atau Perwali khusus tentang perlindungan perempuan dan anak adalah celah hukum yang berisiko besar. Tanpa payung hukum yang kuat, komitmen hanya akan berhenti pada wacana.

Program Omah Peluk (Omah Perlindungan Perempuan dan Anak) yang dikembangkan di tingkat kecamatan dan kelurahan menjadi harapan baru. Gerakan ini mengedepankan deteksi dini, edukasi, dan intervensi cepat berbasis komunitas. Keterlibatan PKK, kader PATBM, Babinsa, dan Bhabinkamtibmas membuat pendekatan ini terasa lebih membumi.

Namun, tantangannya adalah konsistensi dan pembinaan. Program sosial sering kali mati suri setelah pencitraan dan laporan selesai. Omah Peluk seharusnya tidak hanya jadi simbol, tapi sistem sosial baru yang menjaga martabat perempuan dan anak Metro secara nyata.

Dari perspektif jurnalisme, masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak bisa lagi diperlakukan sebagai berita rutin. Media seharusnya menjadi garda moral dan katalis perubahan sosial, bukan sekadar penyampai kronologi kasus.

Ada beberapa solusi yang dapat ditawarkan melalui pendekatan jurnalistik. Pertama ialah Jurnalisme Perlindungan atau rotection Journalism. Yang mana media harus berfokus pada keselamatan korban, bukan sensasi kasus. Identitas korban, terutama anak, harus dijaga ketat. Liputan harus menonjolkan aspek perlindungan, proses pemulihan, dan kebijakan yang perlu diperbaiki, bukan sekadar menyalahkan pelaku.

Kedua, liputan Investigatif terhadap Akar Masalah. Yang mana media perlu berani menggali hubungan antara akses pornografi, lemahnya kontrol keluarga, dan meningkatnya KDRT.

Ini bukan isu moral semata, melainkan persoalan sistem sosial dan kebijakan digital. Jurnalisme investigatif bisa mendorong pemerintah menertibkan akses konten berbahaya dan memperkuat edukasi literasi digital.

Portal berita, radio komunitas, hingga media sosial lokal bisa menjadi arena kampanye literasi keluarga. Misalnya, program 5 Menit Tanpa Gawai di Rumah, atau Keluarga Bicara, Bukan Membentak. Media punya kekuatan memengaruhi perilaku masyarakat secara halus tapi masif.

Dibutuhkan lembaga lokal atau kolaborasi kampus untuk memantau bagaimana media meliput kasus kekerasan. Ini bukan untuk mengontrol, tapi untuk memastikan bahwa media menjalankan fungsinya sebagai agen empati dan edukasi publik.

Fenomena meningkatnya laporan kekerasan bukan hanya tanda situasi yang memburuk, tetapi juga sinyal bahwa masyarakat Metro mulai berani bersuara. Ini langkah maju yang perlu diapresiasi. Namun keberanian melapor harus diikuti keberanian negara untuk benar-benar melindungi.

Kota Metro harus berani menatap dirinya di cermin, apakah kota ini masih pantas disebut Kota Pendidikan jika rumah-rumahnya menjadi ladang trauma. Apakah kemajuan digital harus dibayar dengan rusaknya karakter dan empati generasi muda. Apakah kita masih akan membiarkan pornografi mendidik anak-anak lebih cepat daripada sekolah dan agama.

Angka-angka dalam laporan PPPA bukan sekadar statistik, itu adalah kisah nyata dari air mata yang tak sempat jatuh di ruang publik.

Setiap kasus kekerasan adalah alarm moral bagi kita semua, bahwa peradaban yang sesungguhnya bukan diukur dari gedung-gedung sekolah atau infrastruktur kota, tapi dari seberapa aman perempuan dan anak hidup di dalamnya. 

Kini, peran media, pemerintah, dan masyarakat Metro diuji, apakah kita akan membiarkan berita kekerasan berhenti di ruang redaksi, atau menjadikannya panggilan untuk memperbaiki cara kita mendidik, berkomunikasi, dan mencintai. (*)