• Rabu, 15 Oktober 2025

Akademisi: Segelintir Pabrik Besar Kuasai Pasar Singkong, Petani Selalu Tertindas

Rabu, 15 Oktober 2025 - 16.36 WIB
26

Akademisi Universitas Lampung (Unila), Saring Suhendro. Foto: Ist

Sri

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor B-133/KN.120/M/10/2025 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian (HAP) Ubi Kayu tertanggal 3 Oktober 2025. Dalam kebijakan tersebut, penetapan harga singkong diserahkan kepada pemerintah daerah.

Menanggapi hal itu, Akademisi Universitas Lampung (Unila), Saring Suhendro, menilai kebijakan tersebut belum menyentuh akar persoalan petani di Lampung.

“Masalah harga singkong ini sudah seperti lagu lama di Lampung. Setiap kali harga jatuh, petani selalu jadi pihak paling lemah. Mereka menanam, merawat, memanen, tapi harga ditentukan di meja pabrik,” ujarnya, Rabu (15/10/2025).

Saring menjelaskan, meskipun langkah Menteri Pertanian terlihat progresif karena memberikan kewenangan kepada daerah, persoalan utama tetap terletak pada struktur pasar singkong yang timpang.

“Di satu sisi ada ribuan petani kecil, di sisi lain hanya segelintir pabrik besar dan tengkulak yang menguasai akses modal, transportasi, dan informasi harga. Pasar tidak berjalan kompetitif karena yang kuat menentukan, yang lemah tertindas,” katanya.

Lebih lanjut, Saring menyoroti bahwa kebijakan HAP selama ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Pabrik tidak diwajibkan mematuhi, dan tidak ada sanksi bagi yang membeli di bawah harga acuan.

“Meskipun pemerintah sudah menetapkan HAP, di lapangan tetap saja harga ditentukan oleh pabrik. Dampaknya, kebijakan yang seharusnya melindungi petani justru hanya menjadi formalitas tanpa daya paksa,” tegasnya.

Ia menilai, selama kebijakan harga hanya bersifat imbauan tanpa sanksi, maka pemerintah secara tidak langsung “kalah” di arena pasar.

“Kalau industri besar tetap bebas menentukan harga seenaknya, maka kekuasaan ekonomi berpindah ke tangan pemilik modal dan mesin penggiling singkong, bukan ke tangan petani yang menanamnya,” ujarnya.

Saring juga mengakui bahwa Pemerintah Provinsi Lampung sebenarnya telah berupaya memperjuangkan nasib petani singkong melalui berbagai langkah. Mulai dari menjembatani kemitraan antara petani dan pabrik, hingga membuka ruang dialog harga bersama para pelaku industri.

“Gubernur Lampung berulang kali menyuarakan perlunya harga dasar agar petani tidak terus jadi korban fluktuasi pasar. Arah keberpihakannya sudah ada, hanya saja di lapangan suara itu sering kalah keras dibanding kepentingan industri besar,” jelasnya.

Menurutnya, singkong bagi Lampung bukan sekadar komoditas, melainkan nadi ekonomi desa. Karena itu, jika harga terus dibiarkan tanpa perlindungan, maka kesejahteraan petani akan semakin tergerus.

“Kalau harga dibiarkan liar, jangan salahkan kalau petani merasa dijajah di tanahnya sendiri. Sudah saatnya pemerintah daerah berani memihak, bukan hanya dengan menetapkan harga, tapi menegakkan keadilan di pasar singkong,” pungkasnya. (*)