• Sabtu, 08 November 2025

Tiga Tradisi Lampung Barat Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2025

Jumat, 10 Oktober 2025 - 17.00 WIB
385

Kabid Kebudayaan Lampung Barat Endang Guntoro Canggu, saat foto bersama dalam acara Sidang Penetapan WBTb Indonesia 2025 yang digelar di Hotel Sutasoma, Jakarta, Jumat (10/10/2025). Foto: Ist

Kupastuntas.co, Lampung Barat - Kabupaten Lampung Barat kembali menorehkan prestasi membanggakan di tingkat nasional. Tiga tradisi budaya asal daerah ini resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTbI) Tahun 2025 oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia.

Penetapan tersebut diumumkan secara resmi oleh Tim Ahli WBTbI bersama Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi Kementerian Kebudayaan RI melalui Sidang Penetapan WBTb Indonesia 2025 yang digelar di Hotel Sutasoma, Jakarta, Jumat (10/10/2025).

Pengumuman hasil sidang dibacakan langsung oleh Direktur Warisan Budaya Kementerian Kebudayaan RI, I Made Dharma Suteja, dan menetapkan 12 tradisi dari Provinsi Lampung sebagai bagian dari WBTbI 2025. Dari jumlah tersebut, tiga di antaranya berasal dari Kabupaten Lampung Barat.

Tiga tradisi yang kini diakui sebagai warisan budaya nasional itu adalah Sekhaddam, Takhi Halibambang, dan Teteduhan, yang masing-masing memiliki nilai filosofis, estetika, dan sejarah yang tinggi dalam kehidupan masyarakat adat Saibatin di Bumi Sekala Brak.

Sebelumnya, pada 5 Oktober 2025, tim WBTb Provinsi Lampung telah mempresentasikan paparan akhir di hadapan 20 orang Tim Ahli WBTbI dan jajaran Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan di Hotel Sutasoma, Jakarta Selatan. Paparan tersebut menjadi tahap penentuan sebelum tradisi resmi ditetapkan sebagai WBTb Indonesia.

Tim WBTbI Provinsi Lampung dalam paparan itu terdiri dari Kepala Bidang Kebudayaan Provinsi Lampung Dra. Heni Astuti, M.IP, Kepala BPK Wilayah VII Bengkulu–Lampung Rois Leonard Arios, S.Sos, Kabid Kebudayaan Kabupaten Lampung Barat Endang Guntoro Canggu, S.H., M.M., Kabid Kebudayaan Kabupaten Lampung Timur Reny Octaria, S.A.N., serta Tim Ahli WBTbI Provinsi Lampung.

Tradisi pertama yang ditetapkan adalah Sekhaddam, alat musik tiup bambu tunggal yang sarat nilai sastra lisan seperti Hahiwang dan Ngehahado. Berbeda dari suling pada umumnya, Sekhaddam bukan sekadar alat musik, melainkan medium ekspresi batin yang menggambarkan perasaan dan ratapan hati.

Sekhaddam dipercaya berasal dari pengaruh budaya Pagaruyung, Sumatera Barat, lalu berkembang di wilayah adat Bumi Sekala Brak, Lampung Barat. Alat musik ini dimainkan dengan bambu bamban yang menghasilkan nada pentatonis khas, sering digunakan untuk mengiringi ungkapan lisan bernuansa kearifan lokal.

Hingga kini, maestro Sekhaddam yang masih aktif di Lampung Barat adalah Among Zuntawi (85) dari Way Mengaku, serta penerusnya Edythia Rio Wirawan (38) dari Sebelat. Keduanya dianggap berperan penting dalam melestarikan alat musik tradisional tersebut di tengah arus modernisasi.

Tradisi kedua, Takhi Halibambang, merupakan tarian sakral yang berasal dari Batu Brak, negeri adat yang dikenal sebagai asal mula Saibatin. Pada masa lalu, tarian ini dipersembahkan untuk para raja oleh empat gadis dari empat Kepaksian di Sekala Brak: Pernong, Bejalan Diway, Belunguh, dan Nyerupa.

Seiring waktu, tarian ini mengalami pergeseran makna. Jika dahulu bersifat persembahan, kini Takhi Halibambang menjadi simbol komunikasi spiritual antara manusia dan Tuhan. Gerakannya yang lembut menggambarkan kupu-kupu yang bebas, menyiratkan makna tentang kehormatan, kebijaksanaan, dan kebebasan hidup.

Kini, Takhi Halibambang menjadi tarian penyambutan adat Saibatin Lampung Barat, namun tetap dijaga kesuciannya melalui aturan ketat baik dalam pemilihan penari maupun penggunaan busana adat khas Saibatin. Narasumber budaya untuk tarian ini adalah Drs. Nurdin Darsan (64) dari Pekon Balak, Batu Brak.

Sementara itu, tradisi ketiga, Teteduhan, merupakan tradisi lisan kuno yang masih hidup di tengah masyarakat Saibatin Lampung Barat. Tradisi ini berupa permainan kata, teka-teki, dan ungkapan kiasan dalam bahasa Lampung yang biasanya dibawakan dalam acara Muli Mekhanai atau pertemuan remaja adat.

Selain menjadi hiburan, Teteduhan juga berfungsi sebagai sarana pendidikan sosial, membentuk karakter, serta menanamkan nilai kesopanan dalam berkomunikasi. Melalui tradisi ini, generasi muda belajar mengenal bahasa Lampung, berlogika, dan menghargai perbedaan pendapat dengan cara yang santun.

Struktur Teteduhan bersifat bebas, namun tetap menjunjung tinggi estetika dan etika. Tradisi ini dianggap sebagai wujud kecerdasan lokal masyarakat Lampung Barat yang mampu menjaga budaya tutur sekaligus memperkaya khasanah sastra lisan Nusantara. Salah satu maestro tateduhan yang masih bisa ditemui sampai sekarang yakni Musannip (65) Warga Kelurahan Way Mengaku, Kecamatan Balik Bukit.

Kabid Kebudayaan Lampung Barat Endang Guntoro Canggu, menyampaikan rasa bangganya atas keberhasilan tiga tradisi tersebut ditetapkan sebagai WBTbI. Ia menilai, pencapaian ini merupakan bentuk pengakuan nasional terhadap kekayaan budaya Lampung Barat yang patut dijaga.

“Kita patut berbangga, karena penetapan ini bukan hal yang mudah. Ini hasil kerja keras panjang dan komitmen bersama dalam menjaga budaya leluhur kita,” ujar Endang mendampingi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung Barat, Tati Sulastri.

Endang juga menegaskan bahwa setelah penetapan ini, Pemkab Lampung Barat akan terus mendorong pendataan dan pengusulan tradisi lain agar masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda Indonesia di tahun-tahun mendatang.

“Lampung Barat kaya akan tradisi, mulai dari kesenian, upacara adat, hingga sastra lisan. Kita akan terus perjuangkan agar lebih banyak karya budaya yang diakui secara nasional bahkan internasional,” katanya.

Dengan ditetapkannya Sekhaddam, Takhi Halibambang, dan Teteduhan, Lampung Barat menegaskan diri sebagai salah satu daerah di Sumatera yang konsisten menjaga pusaka budaya leluhur. Pengakuan ini juga diharapkan menjadi modal besar untuk memperkuat identitas daerah serta menarik minat generasi muda mencintai budaya sendiri. (*)