50 Persen Keluarga di Kota Metro Masih Hidup di Ambang Kemiskinan

Wakil Walikota Metro, Dr. M. Rafieq Adi Pradana, saat diwawancarai di kantornya. Foto: Arby/kupastuntas.co
Kupastuntas.co, Metro - Kota Metro menghadapi kenyataan sosial yang mengkhawatirkan. Berdasarkan pemetaan desil kesejahteraan terkini, setengah atau 50 persen dari total keluarga di Kota Metro masih berada pada rentang desil 1 hingga 5, yaitu kelompok yang tergolong miskin hingga rentan jatuh miskin.
Fakta ini diungkapkan Wakil Walikota Metro, Dr. M. Rafieq Adi Pradana, dalam wawancara khusus bersama Kupas Tuntas Grup di ruang kerjarnya, Jumat (10/10/2025).
Rafieq menjelaskan bahwa pembacaan peta kemiskinan kali ini tidak bertumpu pada persentase penduduk miskin versi Badan Pusat Statistik (BPS), melainkan menggunakan pendekatan desil kesejahteraan dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
"Desil dipakai untuk ketepatan sasaran perlindungan sosial. Jadi, wajar kalau komposisinya berbeda dari angka kemiskinan resmi,” tegasnya.
Dari hasil pemetaan tersebut, Metro Pusat muncul sebagai wilayah dengan beban kemiskinan paling berat, disusul oleh Metro Utara dan Metro Timur.
Wilayah-wilayah ini didominasi oleh keluarga yang masuk dalam desil 1 hingga 3, yang berarti tingkat kesejahteraan mereka berada di lapisan terbawah.
"Metro Pusat itu episentrum beban sosial. Jika bicara pemerataan layanan dasar, di sanalah tekanan paling terasa,” ujar Rafieq.
Sebaliknya, Metro Barat menampilkan wajah yang lebih sejahtera, dengan dominasi kelompok keluarga pada desil 6 hingga 10. Pola ini menunjukkan variasi sosial ekonomi antarkawasan yang cukup tajam dan mencerminkan bahwa kesejahteraan tidak tersebar merata di seluruh kecamatan.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa keluarga dalam desil terbawah cenderung memiliki ukuran rumah tangga lebih besar dibanding kelompok menengah ke atas. Artinya, jumlah tanggungan menjadi variabel penting yang memperburuk tekanan ekonomi rumah tangga miskin.
Rafieq menyoroti bahwa struktur pengeluaran menjadi kunci utama dalam memahami mengapa banyak keluarga mudah terguncang oleh perubahan kecil dalam harga atau biaya hidup.
"Kenaikan harga pangan, biaya transportasi, air bersih, sanitasi, dan pendidikan anak bisa dengan mudah menjatuhkan keluarga rentan ke jurang kemiskinan,” katanya.
Ia menegaskan bahwa desil 1 hingga 5 tidak bisa disamaratakan. Ada rumah tangga yang miskin kronis, ada pula yang nyaris miskin dan sangat sensitif terhadap guncangan kecil, seperti kehilangan pekerjaan atau anggota keluarga yang sakit.
Rafieq mengingatkan bahwa DTKS bukan label tetap, melainkan alat dinamis untuk memantau perubahan kondisi sosial ekonomi keluarga.
"Keluarga bisa naik turun desil seiring perubahan kondisi. Karena itu, data harus hidup, diverifikasi, dan dipadankan dengan temuan lapangan,” jelasnya.
Menurutnya, masih ada sebagian kecil keluarga di Metro yang belum terpemeringkat, dan kekosongan data ini bisa mengganggu ketepatan peta kebijakan sosial. Karena itu, penyempurnaan dan pemutakhiran data menjadi pekerjaan penting pemerintah daerah.
Saat ditanya soal perbedaan antara angka kemiskinan versi BPS dan hasil peta desil DTKS, Rafieq menyebut keduanya saling melengkapi.
“BPS mengukur kemiskinan dengan metodologi resmi untuk statistik nasional. Desil DTKS membantu mengarahkan siapa yang tepat menerima manfaat. Dua pendekatan itu saling melengkapi,” tegasnya.
Ia berharap masyarakat memahami bahwa skala rentan dalam peta desil bisa tampak lebih besar dibanding angka kemiskinan resmi karena metode pengukuran yang berbeda.
Menurut Rafieq, ada tiga bingkai utama untuk membaca peta kemiskinan Metro secara jernih dan berbasis bukti. Pertama, kewaspadaan sosial kolektif. Skala kerentanan yang luas menuntut kepedulian lintas sektor masyarakat, dunia usaha, dan lembaga pendidikan.
Kedua, pendekatan peka wilayah. Setiap kecamatan memiliki karakter dan tekanan sosial yang berbeda sehingga kebijakan tidak bisa diseragamkan.
Ketiga, siklus kehidupan anak dan keluarga. Akses gizi, pendidikan usia dini, dan kesiapan kerja akan menentukan mobilitas keluarga lintas desil di masa depan.
"Kalau publik memahami tiga bingkai itu, diskusi tentang kemiskinan menjadi lebih jernih dan berbasis bukti,” tandasnya.
Wawancara eksklusif tersebut menegaskan bahwa peta kemiskinan bukan sekadar deret angka statistik, melainkan cermin sosial yang menuntut pembacaan lebih dalam. Separuh keluarga di Metro yang masih tergolong rentan adalah peringatan nyata bahwa kesejahteraan belum sepenuhnya merata.
Dengan pemahaman yang benar atas desil kesejahteraan, publik diharapkan tidak sekadar mengeluh atas situasi ekonomi, tetapi ikut membangun ekosistem kepedulian yang lebih tepat sasaran.
Karena di balik angka-angka itu sesungguhnya ada wajah-wajah keluarga yang masih berjuang agar tidak jatuh lebih dalam, dan di situlah politik kebijakan sosial Kota Metro diuji, apakah benar berpihak pada mereka yang paling rapuh. (*)
Berita Lainnya
-
Mengukir Citra di Dunia Maya, Saat Pejabat Sibuk Mengatur Angle daripada Kinerja, Oleh: Arby Pratama
Kamis, 09 Oktober 2025 -
DPR RI Dorong Penguatan Ekonomi Kreatif Berbasis Susu Etawa di Kota Metro
Kamis, 09 Oktober 2025 -
DPR RI Dorong Metro Jadi Kota Kreatif Baru di Lampung
Kamis, 09 Oktober 2025 -
Delapan Bulan Disegel, Pemkot Metro Akhirnya Buka Lagi Ruko Sudirman
Rabu, 08 Oktober 2025