• Selasa, 07 Oktober 2025

Konflik Sosial di Era Digital: Realitas Yai Mim dan Relevansinya bagi Literasi Publik, Oleh: Koderi

Senin, 06 Oktober 2025 - 09.47 WIB
2.5k

Koderi, Penggerak Teknologi Pendidikan dan Dosen Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kamera dan media sosial di era digital telah menjelma menjadi saksi sekaligus hakim sosial. Sebuah konflik pribadi yang dahulu hanya berputar di lingkar tetangga, kini bisa berubah menjadi tontonan nasional dalam hitungan jam. Kasus viral yang melibatkan dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Imam Muslimin  atau yang akrab disebut Yai Mim adalah salah satu potret paling jelas tentang bagaimana persoalan kecil dapat membesar menjadi drama sosial di ruang publik digital.

Awalnya, konflik tersebut tampak sederhana: urusan parkir kendaraan di lingkungan perumahan. Namun, ketika emosi mendahului akal sehat, dan kamera mulai merekam, semua berubah. Potongan video yang tersebar di media sosial menggiring opini publik, sebagian bersimpati, sebagian lagi mencemooh. Dunia maya pun menjadi arena pengadilan tanpa prosedur, di mana satu klik bisa menjatuhkan harga diri seseorang.

Konflik yang Lebih Dalam dari Sekadar Parkir

Kasus ini sejatinya bukan hanya tentang parkir, melainkan tentang "fragilitas sosial" masyarakat modern. Kehidupan masyarakat era digital yang semakin individualistik, empati perlahan menipis. Komunikasi yang seharusnya menjadi jalan damai berubah menjadi ajang adu gengsi. Ketika konflik pribadi tidak lagi diselesaikan di ruang musyawarah, melainkan di ruang maya, maka yang muncul bukan solusi, melainkan sensasi.

Fenomena ini menunjukkan adanya krisis literasi sosial: ketidakmampuan sebagian masyarakat memahami bahwa setiap tindakan digital memiliki konteks, dan setiap emosi memiliki dampak sosial. Akibatnya, ruang publik kita penuh dengan ekspresi tanpa kendali, dan dunia digital menjadi cermin kebisingan emosional yang sulit dihentikan.

Media Sosial dan Framing Negatif

Media sosial kini berperan ganda: sebagai sarana komunikasi sekaligus alat pembingkaian (framing) realitas. Potongan video berdurasi 30 detik seringkali dianggap cukup untuk menilai seseorang  tanpa tahu konteks sebelum dan sesudahnya. Di sinilah bahaya terbesar era digital: kita lebih cepat bereaksi daripada berpikir.

 

Kebenaran menjadi relatif, tergantung sudut kamera dan narasi yang pertama kali viral. Literasi digital yang lemah membuat publik mudah terseret dalam arus opini, dan melupakan prinsip dasar "tabayyun" mencari kebenaran sebelum berkomentar atau membagikan informasi.

Literasi Publik Sebagai Kebutuhan Sosial

Literasi publik bukan hanya kemampuan membaca teks, melainkan kemampuan membaca konteks, nilai, dan dampak. Dalam konteks konflik sosial, literasi publik menuntut masyarakat untuk menimbang sebelum bertindak, dan memverifikasi sebelum menyebarkan.

Bangsa ini perlu membangun budaya "empati digital" menyadari bahwa di balik setiap video viral ada manusia yang mungkin sedang terluka. Masyarakat yang literat tidak akan menjadikan penderitaan orang lain sebagai hiburan, melainkan sebagai bahan introspeksi sosial.

Peran Institusi dan Keteladanan Sosial

Lembaga pendidikan dan institusi publik memiliki tanggung jawab moral untuk menanamkan nilai etika digital dan sosial. Kasus Yai Mim seharusnya tidak direspons dengan sekadar sanksi atau klarifikasi, melainkan dijadikan momentum pembelajaran, bahwa kecerdasan akademik harus berjalan seiring dengan kecerdasan emosional dan sosial.

Institusi yang bijak tidak hanya menjaga nama baik lembaga, tetapi juga membantu individu yang terlibat agar mampu memulihkan diri dan reputasi dengan bermartabat. Dalam konteks ini, UIN Malang dan masyarakat sekitar memiliki peran penting untuk menampilkan wajah Islam yang penuh kasih, bukan Menutup dengan Cermin Diri

Konflik Yai Mim hanyalah satu dari sekian banyak kisah yang memperlihatkan bagaimana teknologi sering kali lebih cepat dari kebijaksanaan manusia. Dari kasus ini, kita belajar bahwa kemajuan digital tanpa kedewasaan sosial hanya akan melahirkan luka kolektif.

Sudah saatnya masyarakat Indonesia memperkuat literasi publik dan menghidupkan kembali nilai-nilai lama yang indah: "tabayyun, rukun tetangga, dan musyawarah". Karena di balik segala kecanggihan zaman, kita tetap butuh kearifan hati untuk memahami bahwa tidak semua yang viral itu benar, dan tidak semua yang benar harus diviralkan. (*)