Konflik Sosial di Era Digital: Realitas Yai Mim dan Relevansinya bagi Literasi Publik, Oleh: Koderi

Koderi, Penggerak Teknologi Pendidikan dan Dosen Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung. Foto: Ist
Kupastuntas.co, Bandar
Lampung - Kamera dan media sosial di era digital telah menjelma menjadi saksi
sekaligus hakim sosial. Sebuah konflik pribadi yang dahulu hanya berputar di
lingkar tetangga, kini bisa berubah menjadi tontonan nasional dalam hitungan
jam. Kasus viral yang melibatkan dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Malang,
Imam Muslimin atau yang akrab disebut
Yai Mim adalah salah satu potret paling jelas tentang bagaimana persoalan kecil
dapat membesar menjadi drama sosial di ruang publik digital.
Awalnya, konflik
tersebut tampak sederhana: urusan parkir kendaraan di lingkungan perumahan.
Namun, ketika emosi mendahului akal sehat, dan kamera mulai merekam, semua
berubah. Potongan video yang tersebar di media sosial menggiring opini publik,
sebagian bersimpati, sebagian lagi mencemooh. Dunia maya pun menjadi arena
pengadilan tanpa prosedur, di mana satu klik bisa menjatuhkan harga diri seseorang.
Konflik yang Lebih Dalam dari Sekadar Parkir
Kasus ini sejatinya
bukan hanya tentang parkir, melainkan tentang "fragilitas sosial"
masyarakat modern. Kehidupan masyarakat era digital yang semakin
individualistik, empati perlahan menipis. Komunikasi yang seharusnya menjadi
jalan damai berubah menjadi ajang adu gengsi. Ketika konflik pribadi tidak lagi
diselesaikan di ruang musyawarah, melainkan di ruang maya, maka yang muncul
bukan solusi, melainkan sensasi.
Fenomena ini
menunjukkan adanya krisis literasi sosial: ketidakmampuan sebagian masyarakat
memahami bahwa setiap tindakan digital memiliki konteks, dan setiap emosi
memiliki dampak sosial. Akibatnya, ruang publik kita penuh dengan ekspresi
tanpa kendali, dan dunia digital menjadi cermin kebisingan emosional yang sulit
dihentikan.
Media Sosial dan Framing Negatif
Media sosial kini
berperan ganda: sebagai sarana komunikasi sekaligus alat pembingkaian (framing)
realitas. Potongan video berdurasi 30 detik seringkali dianggap cukup untuk
menilai seseorang tanpa tahu konteks
sebelum dan sesudahnya. Di sinilah bahaya terbesar era digital: kita lebih
cepat bereaksi daripada berpikir.
Kebenaran menjadi
relatif, tergantung sudut kamera dan narasi yang pertama kali viral. Literasi
digital yang lemah membuat publik mudah terseret dalam arus opini, dan
melupakan prinsip dasar "tabayyun" mencari kebenaran sebelum
berkomentar atau membagikan informasi.
Literasi Publik Sebagai Kebutuhan Sosial
Literasi publik bukan
hanya kemampuan membaca teks, melainkan kemampuan membaca konteks, nilai, dan
dampak. Dalam konteks konflik sosial, literasi publik menuntut masyarakat untuk
menimbang sebelum bertindak, dan memverifikasi sebelum menyebarkan.
Bangsa ini perlu membangun
budaya "empati digital" menyadari bahwa di balik setiap video viral
ada manusia yang mungkin sedang terluka. Masyarakat yang literat tidak akan
menjadikan penderitaan orang lain sebagai hiburan, melainkan sebagai bahan
introspeksi sosial.
Peran Institusi dan Keteladanan Sosial
Lembaga pendidikan dan
institusi publik memiliki tanggung jawab moral untuk menanamkan nilai etika
digital dan sosial. Kasus Yai Mim seharusnya tidak direspons dengan sekadar
sanksi atau klarifikasi, melainkan dijadikan momentum pembelajaran, bahwa
kecerdasan akademik harus berjalan seiring dengan kecerdasan emosional dan
sosial.
Institusi yang bijak
tidak hanya menjaga nama baik lembaga, tetapi juga membantu individu yang
terlibat agar mampu memulihkan diri dan reputasi dengan bermartabat. Dalam
konteks ini, UIN Malang dan masyarakat sekitar memiliki peran penting untuk
menampilkan wajah Islam yang penuh kasih, bukan Menutup dengan Cermin Diri
Konflik Yai Mim
hanyalah satu dari sekian banyak kisah yang memperlihatkan bagaimana teknologi
sering kali lebih cepat dari kebijaksanaan manusia. Dari kasus ini, kita
belajar bahwa kemajuan digital tanpa kedewasaan sosial hanya akan melahirkan
luka kolektif.
Sudah saatnya
masyarakat Indonesia memperkuat literasi publik dan menghidupkan kembali
nilai-nilai lama yang indah: "tabayyun, rukun tetangga, dan
musyawarah". Karena di balik segala kecanggihan zaman, kita tetap butuh
kearifan hati untuk memahami bahwa tidak semua yang viral itu benar, dan tidak
semua yang benar harus diviralkan. (*)
Berita Lainnya
-
Sorotan di Monas Antara Bendera Robek dan Dilema Digital TNI, Oleh: Dwi Kurniasari
Jumat, 03 Oktober 2025 -
Hari Tani Nasional: Saatnya Petani Lampung Naik Kelas, Oleh: Zainal Hidayat
Rabu, 24 September 2025 -
Menelisik Misteri Buku Catatan Robby, Benarkah Ada Skandal Korupsi untuk Pilkada? Oleh: Arby Pratama
Selasa, 23 September 2025 -
Fenomena Pelari Kalcer, Antara Tren dan Gaya Hidup Sehat, Oleh: Dwi Kurniasari
Kamis, 18 September 2025