• Kamis, 25 September 2025

APBD-P Metro Sarat Teka-Teki, DPRD Soroti Penurunan Pajak Daerah Hingga Infrastruktur 2026

Rabu, 24 September 2025 - 13.43 WIB
46

Anggota DPRD Kota Metro dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Sutikno saat menyampaikan pandangan umum fraksi. Foto: Arby/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Sidang paripurna DPRD Kota Metro, Selasa (23/9/2025) kemarin menyuguhkan pemandangan yang jarang terjadi. Dimana enam fraksi DPRD yang terdiri dari PDI Perjuangan, PKS, NasDem Raya, Golkar, Demokrat, hingga PKB kompak menyambut baik Rancangan Perubahan APBD 2025 yang diajukan Wali Kota Metro, H. Bambang Iman Santoso. 

Pandangan umum fraksi yang dibacakan Sutikno bahkan terdengar manis, pemerintah dianggap serius melakukan penyesuaian anggaran dengan dinamika terkini. Namun di balik nada optimistis itu, ada sederet catatan kritis yang jika diabaikan justru bisa berubah menjadi bumerang politik bagi Pemkot Metro.

Pemkot Metro memproyeksikan pendapatan daerah naik 1,07 persen atau sekitar Rp11,6 miliar dari Rp1,087 triliun menjadi Rp1,099 triliun. Kenaikan ini disambut DPRD sebagai bukti optimalisasi pendapatan daerah. Tapi di balik euforia angka, DPRD justru menyoroti penurunan target pajak daerah.

Pertanyaan pun mencuat, bagaimana mungkin pajak yang menjadi sumber utama dan tulang punggung PAD malah diturunkan, sementara pos pendapatan lain-lain yang sah justru dinaikkan signifikan lebih dari Rp10 miliar. 

“Fraksi meminta penjelasan rinci soal sumber pendapatan yang tiba-tiba membengkak ini. Jangan sampai kenaikan target hanya permainan angka yang tidak realistis,” tegas Sutikno saat menyampaikan pasangannya di ruang rapat paripurna, Selasa (23/9/2025) kemarin. 

Dengan kata lain, DPRD seolah mengendus adanya manuver akuntansi dalam tubuh APBD Metro. Di sisi belanja, APBD Perubahan 2025 melonjak menjadi Rp1,123 triliun atau naik Rp24 miliar dari rencana awal. 

Pemerintah menyebut tambahan belanja akan mengalir ke pendidikan, perbaikan ruang kelas, fasilitas laboratorium, hingga revitalisasi Metro Sport Center.

Tetapi yang menimbulkan tanda tanya ialah kenapa justru perencanaan infrastruktur jangka panjang untuk 2026 tidak dialokasikan. Pemerintah beralasan perencanaan sudah pernah masuk dalam APBD sebelumnya, tetapi batal karena perubahan lokasi berdasarkan aspirasi masyarakat.

Publik bisa menafsirkan alasan ini sebagai inkonsistensi kebijakan. Apalagi jika aspirasi yang dimaksud sesungguhnya adalah tekanan politik.

Isu lain yang memanas adalah soal gaji Tenaga Harian Lepas (THL). Pemkot Metro memastikan pembayaran THL akan ditata ulang sesuai konsultasi dengan KemenPAN-RB, BKN, dan Kementerian Keuangan. Tetapi faktanya, sejak Juni 2025, isu ini terus jadi bola panas karena ratusan THL hidup dalam ketidakpastian.


Sementara APBD Perubahan masih sibuk menyesuaikan angka untuk belanja gedung olahraga dan proyek mercusuar, kesejahteraan tenaga kontrak malah diperlakukan seperti beban tambahan.

APBD sejatinya bukan sekadar hitungan triliunan rupiah di atas kertas, melainkan cermin pilihan politik. Ketika DPRD memilih untuk kompak mendukung tanpa satu pun fraksi yang menolak, publik wajar curiga, apakah kesepakatan ini lahir dari pertimbangan rasional atau dari kesepahaman politik yang lebih pragmatis. 

Kompaknya DPRD patut diapresiasi, tapi juga perlu dipertanyakan mengapa kritik soal penurunan pajak daerah dan inkonsistensi infrastruktur hanya berhenti di catatan, bukan pada sikap politik yang lebih tegas. 

Kota Metro sedang berada di persimpangan, apakah APBD Perubahan 2025 benar-benar menyelamatkan kepentingan publik, atau sekadar menambal lubang dengan angka-angka yang dipoles agar terlihat indah. (*)