• Selasa, 23 September 2025

Perjalanan Dinas 214 Miliar, Prioritas atau Pemborosan? Oleh: Zainal Hidayat

Selasa, 23 September 2025 - 14.49 WIB
29

Zainal Hidayat Pimpinan Redaksi SKH Kupas Tuntas. Foto: Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Anggaran daerah sejatinya hadir untuk memastikan kesejahteraan masyarakat, mempercepat pembangunan, dan menjawab kebutuhan paling mendasar warga. Namun, ketika membaca pos belanja perjalanan dinas Pemprov Lampung dalam Peraturan Gubernur Lampung Nomor 39 Tahun 2024 tentang Penjabaran APBD Provinsi Lampung TA 2025 yang mencapai Rp214,9 miliar, publik tentu layak bertanya: sebesar itu urgensinya?

Dari jumlah tersebut, belanja perjalanan dinas dalam negeri saja menyedot Rp214,55 miliar, sedangkan perjalanan dinas luar negeri mencapai Rp435,56 juta.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: seberapa besar manfaat yang bisa dirasakan rakyat dari perjalanan-perjalanan tersebut? Apakah kunjungan ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri betul-betul memberi dampak nyata pada peningkatan pelayanan publik? Atau jangan-jangan hanya rutinitas birokrasi yang lebih menekankan formalitas dibanding hasil?

Di tengah masih banyaknya jalan rusak, pelayanan kesehatan yang belum merata, dan persoalan pendidikan yang menuntut solusi, publik bisa saja menilai anggaran sebesar ini sebagai bentuk pemborosan. Apalagi, biaya perjalanan dinas sering kali dipandang sebagai celah pemborosan anggaran—karena sulit diukur efektivitas dan output-nya.

Sudah saatnya pemerintah daerah lebih transparan dan akuntabel dalam menjelaskan manfaat dari setiap rupiah yang dihabiskan. Setiap perjalanan dinas harus memiliki laporan hasil yang bisa diakses publik, sehingga rakyat tahu perjalanan itu benar-benar berbuah program dan kebijakan nyata. Jika tidak, belanja perjalanan dinas hanya akan menjadi simbol kemewahan birokrasi di atas penderitaan rakyat.

Masih banyak yang bisa diperbuat jika anggaran sebesar ratusan miliar itu dipakai untuk pembangunan fasilitas publik. Masih banyak jalan-jalan rusak di desa-desa yang menghambat aktivitas warga, banyak fasilitas kesehatan belum merata dan kekurangan tenaga medis, serta sekolah-sekolah di pelosok masih jauh dari kata layak.

Di tengah kebutuhan dasar yang belum tertangani dengan baik, publik sulit menerima jika anggaran sebesar itu justru dialokasikan untuk bepergian.

Persoalan lain adalah minimnya transparansi. Jika perjalanan dinas ke luar negeri misalnya, publik berhak tahu apa yang dipelajari dan bagaimana hasilnya bisa diimplementasikan untuk kepentingan daerah. Tanpa itu semua, perjalanan dinas hanya akan menambah daftar panjang inefisiensi birokrasi.

Anggaran perjalanan dinas sejatinya bisa ditekan. Teknologi sudah memungkinkan banyak pertemuan dilakukan secara daring, tanpa harus mengeluarkan biaya besar untuk tiket, akomodasi, dan sewa hotel. Apalagi, pandemi Covid-19 sebelumnya telah membuktikan rapat virtual bisa berjalan efektif.

Pemerintah harus lebih selektif dalam menentukan perjalanan dinas. Hanya perjalanan yang benar-benar mendesak, strategis, dan berdampak langsung pada pelayanan publik yang seharusnya disetujui. Selain itu, setiap perjalanan dinas wajib disertai laporan hasil yang bisa diakses publik. Transparansi inilah yang bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Rakyat pada akhirnya tidak terlalu peduli pejabat bepergian ke mana. Yang mereka butuhkan adalah perubahan nyata: jalan yang mulus, layanan kesehatan yang terjangkau, pendidikan yang lebih baik, dan kesejahteraan yang meningkat. Jika perjalanan dinas tidak memberi dampak pada semua itu, publik akan semakin skeptis dan menilai anggaran hanyalah “pesta perjalanan” pejabat yang dibayar dengan uang rakyat.

Anggaran perjalanan dinas yang membengkak ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah. Transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban. Karena pada akhirnya, kepercayaan publik dibangun bukan dari seberapa sering pejabat bepergian, tetapi dari seberapa nyata hasil kerja yang dirasakan rakyat.

Bagi sebagian kalangan, angka tersebut mungkin dianggap biasa dalam roda birokrasi. Namun bagi masyarakat luas, angka ini tentu menimbulkan pertanyaan Apakah benar sebesar itu kebutuhan perjalanan dinas? Apakah manfaatnya sepadan dengan uang rakyat yang dikeluarkan?. (*)