Menelisik Misteri Buku Catatan Robby, Benarkah Ada Skandal Korupsi untuk Pilkada? Oleh: Arby Pratama

Robby eks Kepala Dinas PUTR Kota Metro. Foto: Ilustrasi AI
Kupastuntas.co, Metro - Bau anyir politik uang dan praktik kotor birokrasi kini makin menusuk di Kota Metro. Setelah lama beredar dari mulut ke mulut, publik kini diguncang isu mencengangkan, yaitu keberadaan sebuah “buku catatan hitam” milik Robby, eks Kepala Dinas PUTR Kota Metro.
Catatan itu diduga memuat daftar gratifikasi, fee proyek, hingga aliran dana gelap yang nilainya mencapai miliaran rupiah.
Lebih jauh, catatan itu disebut-sebut tak hanya berhenti di lingkaran eksekutif, melainkan juga menyeret anggota legislatif, kontraktor, hingga penghubung politik yang dituding berperan sebagai king maker.
Jika benar, maka Metro sedang menghadapi skandal korupsi terstruktur yang bisa mengguncang fondasi demokrasi lokal.
Dalam wacana publik, fenomena ini kini dikenal dengan istilah Robby Effect. Bukan sekadar isu pribadi, melainkan potensi smoking gun yang membuka praktik fee collector dari tahun anggaran 2022 hingga 2025.
Skemanya disebut berjalan rapi, setiap proyek pemerintah kota tidak pernah benar-benar gratis. Ada persentase tertentu yang harus “disetor”, lalu dibagi ke sejumlah oknum. Nama-nama pengatur proyek, peminta fee, hingga penerima setoran konon tertera jelas di buku tersebut.
Jika benar demikian, maka buku catatan Robby bukan hanya “catatan pinggir”, tetapi arsip kelam yang dapat membongkar kultur korupsi berjamaah. Akankah, Kejaksaan Negeri Metro membongkar seluruh oknum yang diduga terlibat? Atau membiarkan Robby mempertanggungjawabkan semuanya sendirian dimata hukum.
DPRD Metro digadang-gadang ikut terseret dalam pusaran dugaan isu ini. Konon, ada anggota dewan yang tidak hanya tercatat menerima fee, tetapi juga menjadi koordinator distribusi proyek.
Jika benar, Ironi pun muncul. DPRD yang semestinya mengawasi, justru diduga terjebak dalam lingkaran transaksi gelap. Bagi publik, ini bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan pengkhianatan terhadap mandat rakyat.
Isu semakin tajam ketika kabar berembus bahwa catatan itu juga memuat aliran dana menuju “misi politik” tertentu. Diduga, sebagian setoran proyek dialokasikan untuk mendanai Pilkada serentak 2024.
Di sinilah istilah "king maker" muncul. Sosok misterius yang disebut menjadi otak di balik jaringan proyek sekaligus penghubung antara eksekutif, legislatif, dan kontraktor. Jika benar, buku hitam Robby tak hanya membongkar korupsi proyek, tetapi juga skema besar perampokan APBD demi kepentingan politik elektoral.
Tak heran bila isu ini menimbulkan gelombang ketidakpercayaan. Aktivis mahasiswa, LSM antikorupsi, hingga masyarakat biasa bisa saja menuntut aparat penegak hukum untuk tidak berpangku tangan.
Kegaduhan di akar rumput juga makin menguat. Publik mulai berspekulasi, benarkah lambannya pembangunan, terhambatnya program rakyat, hingga keputusan proyek yang tak transparan, semuanya terkait dengan permainan fee yang kini belum diungkap dari buku catatan Robby?
Sampai kini, belum ada pernyataan resmi dari Kejaksaan terkait isu ini. DPRD pun memilih bungkam, namun publik sadar bahwa diam berarti menambah kecurigaan.
Jika buku itu nyata, maka ini momentum penting bagi penegak hukum untuk menegaskan integritasnya. Membongkar, menindak, dan menyeret siapa pun yang terlibat tanpa pandang bulu. Sebaliknya, jika isu ini dibiarkan menguap, maka Metro hanya akan melanjutkan tradisi buruk, yaitu membiarkan korupsi menjadi minyak pelumas politik lokal.
Apakah buku hitam Robby benar-benar ada, atau sekadar senjata politik untuk menekan kelompok tertentu? Pertanyaan ini masih menggantung. Namun, satu hal jelas bahwa publik berhak tahu kebenaran.
Demokrasi lokal tidak bisa bertumpu pada rahasia kotor dan kompromi elit. Bila benar ada skandal yang menyalurkan dana proyek untuk Pilkada, maka itu adalah kejahatan ganda, merampok uang rakyat sekaligus mencederai demokrasi.
Kini bola ada di tangan aparat hukum. Apakah Robby Effect akan menjadi titik balik pemberantasan korupsi di Metro, atau justru masuk ke lembaran panjang kompromi politik yang menyesakkan. Waktu yang akan menjawab, tapi publik tak boleh berhenti bertanya dan mendesak, di mana buku catatan itu, dan siapa yang berani membukanya. (*)
Berita Lainnya
-
Festival Literasi Metro, 100 Ribu Buku Dibuka untuk Publik
Selasa, 23 September 2025 -
10 Pejabat Baru Kota Metro Resmi Dilantik, Walikota: Fokus Bekerja Layani Masyarakat, Jauhi Korupsi
Senin, 22 September 2025 -
Pemkot Metro Siapkan 1.520 Dosis Vaksin Rabies untuk 22 Kelurahan
Senin, 22 September 2025 -
Insentif RT/RW di Kota Metro Naik, Cair Jumat Depan
Senin, 22 September 2025