Fenomena Pelari Kalcer, Antara Tren dan Gaya Hidup Sehat, Oleh: Dwi Kurniasari

Dwi Kurniasari Wartawan Kupas Tuntas. Foto: Ist
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Fenomena "pelari kalcer" belakangan ini kian menjamur, tak hanya di kalangan anak muda, tetapi juga merambah ke berbagai usia. Istilah ini merujuk pada individu yang tidak hanya menjadikan lari sebagai olahraga, tetapi juga sebagai bagian dari gaya hidup dan identitas sosial. Mereka memadukan aktivitas fisik dengan aspek-aspek budaya populer, seperti fashion, fotografi, dan interaksi di media sosial.
Munculnya pelari kalcer bisa dilihat dari dua sisi yaitu sebagai tren positif yang mendorong gaya hidup sehat atau sebagai fenomena superfisial yang lebih mementingkan tampilan ketimbang substansi.
Dorongan untuk Bergerak dan Berinteraksi dari kacamata positif, fenomena ini patut diapresiasi. Lari yang tadinya dianggap sebagai aktivitas individual dan monoton, kini menjadi lebih menarik dan dinamis.
Aspek "kalcer" atau budaya membuat lari terasa lebih inklusif. Melalui media sosial, komunitas lari terbentuk dengan mudah. Mereka saling berbagi tips, mengunggah foto-foto estetik, dan merencanakan jadwal lari bersama. Hal ini secara tidak langsung memotivasi banyak orang untuk mulai bergerak dan aktif, bahkan mereka yang sebelumnya tidak tertarik dengan olahraga.
Selain itu, tren ini juga mendorong industri fashion olahraga untuk berinovasi. Produk-produk yang tidak hanya fungsional tetapi juga bergaya, seperti sepatu lari dengan desain unik dan pakaian olahraga yang trendi, menjadi buruan. Ini menunjukkan bahwa lari tidak lagi sekadar tentang kecepatan atau jarak, tetapi juga tentang bagaimana seseorang mengekspresikan diri.
Ketika Lari Hanya Soal Konten dan Tampilan namun, ada juga sisi lain yang perlu dicermati. Fenomena ini bisa menjadi pisau bermata dua. Ada kekhawatiran bahwa bagi sebagian orang, lari kalcer lebih tentang "menampilkan" diri di media sosial daripada "menjalankan" lari itu sendiri.
Tujuan utama dari lari, yaitu meningkatkan kesehatan fisik dan mental, bisa saja tergeser oleh obsesi mendapatkan foto yang sempurna atau mencapai jumlah likes yang tinggi. Hal ini terlihat dari maraknya foto-foto lari yang diambil dengan sudut pandut yang estetik, pakaian yang matching, dan bahkan terkadang berpose seolah-olah sedang berlari tanpa benar-benar melakukannya dalam jarak yang signifikan. Lari menjadi semacam "properti" untuk menciptakan konten, bukan sebagai latihan yang dilakukan dengan niat sungguh-sungguh. Akibatnya, esensi dari lari itu sendiri—disiplin, ketahanan, dan fokus—menjadi kabur.
Lari Kalcer adalah Gerbang, Bukan Tujuan Akhir secara keseluruhan, fenomena pelari kalcer adalah cerminan dari budaya digital saat ini yang serba visual dan terhubung. Ini bisa menjadi gerbang yang efektif untuk mengajak lebih banyak orang memulai gaya hidup sehat. Namun, penting untuk diingat bahwa gaya "kalcer" hanyalah pelengkap. Esensi dari lari tetaplah pada prosesnya yakni tentang konsistensi, tantangan, dan manfaat kesehatan yang tak ternilai. Idealnya, fenomena ini harus menjadi jembatan antara tampilan dan substansi.
Seseorang yang memulai lari karena terinspirasi oleh foto-foto estetik, pada akhirnya harus menemukan kenikmatan sejati dalam setiap langkah dan keringat yang keluar. Dengan begitu, lari kalcer tidak hanya akan menjadi tren sesaat, tetapi juga menjadi bagian dari kebiasaan sehat yang berkelanjutan. (*)
Berita Lainnya
-
Antrean Solar di Lampung, Cermin Masalah Subsidi Belum Tuntas, Oleh: TB Alam Ganjar Jaya
Kamis, 18 September 2025 -
Reshuffle Kabinet Prabowo: Antara Konsolidasi Politik dan Uji Kapasitas, Oleh: TB Alam Ganjar Jaya
Rabu, 17 September 2025 -
Bara Demonstrasi, Antara Ujian Janji dan Regulasi, Oleh: Arby Pratama
Selasa, 16 September 2025 -
Video Presiden Prabowo di Bioskop; Transparansi atau Propaganda, Oleh: TB Alam Ganjar Jaya
Minggu, 14 September 2025