Antrean Solar di Lampung, Cermin Masalah Subsidi Belum Tuntas, Oleh: TB Alam Ganjar Jaya

TB Alam Ganjar Jaya, Wartawan Kupas Tuntas di Bandar Lampung. Foto: Ist.
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Fenomena antrean panjang kendaraan berbahan bakar solar di berbagai SPBU di Provinsi Lampung bukan sekadar pemandangan sehari-hari. Ia telah menjelma menjadi potret buram bagaimana kebijakan energi bersubsidi masih menghadapi persoalan kronis.
Sopir truk, bus, hingga angkutan barang kerap terpaksa mengantre berjam-jam hanya untuk mendapatkan jatah solar, bahkan tak jarang pulang dengan tangan kosong karena stok sudah habis.
Masalah ini semakin menonjol ketika kuota Bio Solar di Lampung dikurangi sekitar enam persen pada tahun 2025. Penurunan ini membuat antrean yang semula sudah panjang menjadi semakin tidak terkendali.
Pertanyaan yang muncul: apakah benar pengurangan kuota menjadi akar masalah, atau ada tata kelola distribusi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya?
Dari pengamatan lapangan dan laporan berbagai pihak, terlihat bahwa masalah pasokan hanyalah salah satu sisi koin. Di sisi lain, terdapat penyalahgunaan dan kebocoran solar bersubsidi oleh pihak-pihak yang tidak berhak.
Modusnya beragam: kendaraan industri yang seharusnya menggunakan solar non-subsidi justru antre di SPBU, hingga oknum yang memperjualbelikan solar hasil “tanki siluman”. Celah inilah yang membuat distribusi subsidi semakin timpang.
Akibatnya, para sopir angkutan umum dan truk kecil yang benar-benar menggantungkan hidup dari solar subsidi menjadi korban. Mereka kehilangan waktu produktif, harus menanggung kerugian karena tidak bisa mengantarkan barang tepat waktu, sementara setoran ke perusahaan tetap berjalan.
Tidak heran, keluhan sopir semakin keras terdengar, bahkan ada yang sampai mengeluhkan harus antre sejak subuh demi memastikan bisa beroperasi.
Antrean panjang di SPBU juga menimbulkan dampak sosial lain. Jalan raya di sekitar SPBU macet, aktivitas masyarakat terganggu, bahkan toko atau rumah makan di dekat lokasi ikut terdampak karena akses terhalang truk-truk besar yang berbaris.
Dalam beberapa kasus, gesekan sosial muncul: ada mahasiswa yang merekam antrean lalu dikeroyok, menunjukkan betapa rawannya situasi di lapangan.
Pemerintah dan Pertamina sejatinya sudah berupaya melakukan pengawasan, misalnya dengan penerapan QR code MyPertamina untuk memastikan subsidi tepat sasaran. Namun, fakta di lapangan membuktikan bahwa sistem ini masih bisa ditembus.
Selama pengawasan dan penindakan tidak tegas, penyalahgunaan akan terus berulang, sementara masyarakat kecil tetap menderita akibat antrean.
Di sisi komunikasi, transparansi juga menjadi titik lemah. Banyak sopir mengeluh karena tidak tahu kapan solar akan tersedia di SPBU.
Mereka hanya bisa menunggu tanpa kepastian, membuang waktu dan energi yang seharusnya bisa digunakan untuk bekerja. Padahal, informasi tentang jadwal distribusi solar seharusnya bisa diumumkan secara terbuka agar masyarakat bisa mengatur aktivitas dengan lebih baik.
Permasalahan ini memperlihatkan pentingnya revisi kebijakan energi, khususnya dalam hal penyaluran subsidi. Subsidi harus benar-benar diarahkan pada mereka yang berhak, sementara sektor industri atau perusahaan besar sebaiknya dipaksa menggunakan solar non-subsidi.
Pemerintah daerah bersama aparat hukum juga harus lebih berani menindak penyalahgunaan, bukan sekadar melakukan sosialisasi yang tak berujung pada perubahan nyata.
Lebih jauh, Lampung membutuhkan strategi jangka panjang. Diversifikasi energi untuk transportasi, peningkatan transportasi umum, hingga pengaturan ulang distribusi barang perlu dipertimbangkan.
Selama ketergantungan penuh masih ada pada solar subsidi, persoalan antrean ini hanya akan berulang setiap tahun, dengan wajah yang sama namun kerugian yang semakin besar.
Singkatnya, antrean solar di SPBU Lampung bukan sekadar soal kurangnya pasokan. Ia adalah cermin rapuhnya tata kelola energi bersubsidi di negeri ini.
Jika pembenahan tidak segera dilakukan, maka masyarakat bawah akan terus menjadi korban, sementara pelaku penyalahgunaan tetap diuntungkan. Antrean panjang yang kini kita lihat hanyalah gejala, sementara penyakit utamanya masih belum tersentuh dengan serius. (*)
Berita Lainnya
-
Reshuffle Kabinet Prabowo: Antara Konsolidasi Politik dan Uji Kapasitas, Oleh: TB Alam Ganjar Jaya
Rabu, 17 September 2025 -
Bara Demonstrasi, Antara Ujian Janji dan Regulasi, Oleh: Arby Pratama
Selasa, 16 September 2025 -
Video Presiden Prabowo di Bioskop; Transparansi atau Propaganda, Oleh: TB Alam Ganjar Jaya
Minggu, 14 September 2025 -
Fenomena Robby Effect, Bayang-Bayang Korupsi yang Membekukan Metro, Oleh: Arby Pratama
Jumat, 12 September 2025