• Rabu, 17 September 2025

Reshuffle Kabinet Prabowo: Antara Konsolidasi Politik dan Uji Kapasitas, Oleh: TB Alam Ganjar Jaya

Rabu, 17 September 2025 - 16.40 WIB
117

TB Alam Ganjar Jaya, Wartawan Kupas Tuntas. Foto: TB Alam/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Presiden Prabowo Subianto kembali menggebrak dengan reshuffle Kabinet Merah Putih jilid ke-3 yang diumumkan pada Rabu, 17 September 2025. Empat nama baru masuk ke lingkaran kekuasaan, masing-masing menempati posisi strategis di pemerintahan. Pergantian ini jelas bukan sekadar pergeseran kursi, melainkan langkah politik yang sarat makna.

Pertama, publik menyoroti kembalinya Erick Thohir. Setelah sebelumnya malang-melintang di berbagai posisi penting, kini ia dipercaya sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Portofolio ini tampak berbeda dengan pengalaman Erick sebelumnya di bidang ekonomi dan BUMN, namun justru di situlah menariknya. Prabowo tampaknya ingin menempatkan figur dengan jaringan global dan manajemen modern untuk mengangkat prestasi olahraga Indonesia ke level dunia.

Kedua, penunjukan Letjen TNI (Purn) Djamari Chaniago sebagai Menko Polkam seolah menegaskan kembali pola klasik: stabilitas keamanan adalah fondasi utama bagi pemerintah. Di tengah dinamika geopolitik regional dan ancaman keamanan domestik, kehadiran seorang jenderal purnawirawan di kursi Menko Polkam memberi sinyal kuat bahwa negara tidak ingin lengah dalam soal pertahanan dan ketertiban nasional.

Sementara itu, nama Angga Raka Prabowo mungkin terdengar asing bagi sebagian besar publik. Namun justru di sini letak kejutan reshuffle kali ini. Sebagai Kepala Badan Komunikasi Pemerintah, ia akan menghadapi tantangan besar: mengelola arus informasi di era digital yang penuh disinformasi. Penunjukan figur relatif baru ini bisa dibaca sebagai eksperimen politik Prabowo untuk menghadirkan wajah segar dalam komunikasi publik, meski risiko kurangnya jam terbang tentu akan dipertanyakan.

Lebih menarik lagi adalah masuknya M Qodari sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Selama ini ia dikenal sebagai analis politik yang vokal dan kerap membaca peta kekuasaan dengan tajam. Kini, ia tidak lagi berdiri di luar pagar kekuasaan, melainkan menjadi bagian langsung dari mesin istana. Kehadirannya diperkirakan akan memperkuat strategi komunikasi politik Presiden, sekaligus mengonsolidasikan narasi pemerintahan di tengah derasnya kritik publik.

Jika ditarik ke benang merah, reshuffle kali ini jelas memperlihatkan pola konsolidasi. Prabowo berusaha meramu kombinasi antara figur lama yang sudah teruji, tokoh militer dengan pengalaman panjang, wajah baru yang segar, dan analis politik yang lihai membaca dinamika publik. Komposisi ini seolah dirancang untuk menjawab tantangan kompleks di tahun-tahun mendatang: menjaga stabilitas, membangun citra positif, sekaligus mempersiapkan legacy politik.

Namun, publik tentu akan menunggu bukti nyata, bukan sekadar simbolisme. Erick Thohir, misalnya, harus membuktikan bahwa manajemen modern bisa diterapkan dalam pembinaan olahraga nasional yang selama ini sarat dengan masalah klasik, mulai dari pendanaan hingga tata kelola organisasi. Jika gagal, penunjukan ini akan dianggap sekadar rotasi politik belaka.

Begitu pula dengan Djamari Chaniago. Jabatan Menko Polkam bukan hanya soal latar belakang militer, tetapi juga kemampuan membangun koordinasi lintas kementerian yang sering kali penuh ego sektoral. Keberhasilannya akan diuji dalam menjaga harmoni antara aparat keamanan, kementerian, dan lembaga sipil. Di sinilah ketegasan sekaligus kelihaian berpolitik sangat dibutuhkan.

Untuk Angga Raka Prabowo, tantangannya mungkin lebih berat: membangun kredibilitas di mata publik yang kritis. Mengelola komunikasi pemerintah di era media sosial ibarat berjalan di atas tali: salah langkah bisa menimbulkan krisis kepercayaan. Namun, jika berhasil, ia bisa menjadi aset penting bagi pemerintahan Prabowo dalam menjaga narasi dan legitimasi di ruang publik.

Sedangkan M Qodari, dengan kapasitas analisisnya yang sudah teruji, dituntut untuk membuktikan bahwa teori bisa diterjemahkan menjadi praktik politik yang efektif. Ia kini tidak lagi hanya menyampaikan opini, tetapi harus merumuskan strategi konkret yang menopang kerja Presiden. Kegagalannya akan dengan cepat menjadi sorotan, karena publik sudah terbiasa melihatnya sebagai pengamat yang lantang.

Akhirnya, reshuffle jilid ke-3 ini menunjukkan satu hal: Presiden Prabowo tidak segan melakukan penyesuaian demi menjaga ritme pemerintahannya. Dalam politik, reshuffle bukan sekadar ganti orang, tetapi juga pernyataan arah baru. Publik kini menunggu, apakah langkah ini akan menjadi momentum penguatan kinerja kabinet atau justru sekadar manuver politik jangka pendek. (*)