• Selasa, 16 September 2025

Stimulus Rp 16,23 Triliun: Menjaga Nafas Ekonomi, Menguji Ketepatan Eksekusi, Oleh: TB Alam Ganjar Jaya

Selasa, 16 September 2025 - 08.55 WIB
942

TB Alam Ganjar Jaya, Wartawan Kupas Tuntas di Bandar Lampung. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pemerintah kembali menyalakan mesin fiskal dengan mengumumkan paket stimulus senilai hampir US$1 miliar atau sekitar Rp16,23 triliun.

Kebijakan ini diarahkan untuk menopang perekonomian pada kuartal IV 2025 hingga sepanjang 2026, periode yang kerap dianggap krusial karena tekanan global belum sepenuhnya mereda dan konsumsi domestik mulai menurun setelah puncak belanja akhir tahun.

Isi paket stimulus cukup beragam, mulai dari distribusi bantuan pangan untuk menjaga daya beli masyarakat, proyek padat karya guna menyerap tenaga kerja, hingga keringanan pajak yang diprioritaskan bagi sektor pariwisata.

Komposisi ini mencerminkan strategi pemerintah yang mencoba menyentuh langsung jantung persoalan: kebutuhan rakyat kecil, penciptaan pekerjaan, dan pemulihan sektor unggulan.

Bantuan pangan bisa dipandang sebagai tameng pertama. Di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok yang kerap menekan kelompok berpendapatan rendah, bantuan semacam ini menjadi penopang daya beli sekaligus menjaga stabilitas sosial.

Namun, efektivitasnya sangat ditentukan oleh akurasi distribusi. Salah sasaran, maka manfaatnya akan mengecil dan justru menimbulkan ketidakpuasan.

Proyek padat karya, di sisi lain, adalah upaya pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja dalam waktu relatif cepat.

Skema ini terbukti efektif di masa lalu, terutama dalam menyerap tenaga kerja di pedesaan. Tetapi, kualitas pekerjaan yang dihasilkan perlu menjadi perhatian. Jika hanya berupa pembangunan infrastruktur sementara, manfaat jangka panjang bisa minim.

Sektor pariwisata yang mendapat keringanan pajak juga menarik disorot. Industri ini pernah menjadi salah satu motor pertumbuhan sebelum pandemi. Stimulus pajak tentu memberi ruang bernafas bagi hotel, restoran, dan pelaku usaha wisata.

Akan tetapi, dunia pariwisata kini penuh dengan kompetisi global. Tanpa promosi agresif, perbaikan infrastruktur, dan peningkatan layanan, insentif pajak mungkin hanya menjadi suntikan jangka pendek tanpa menumbuhkan daya tarik wisata secara berkelanjutan.

Meski komponen stimulus tampak menjanjikan, risiko keberlanjutan fiskal tak bisa diabaikan. Tambahan belanja negara dalam jumlah besar selalu menimbulkan pertanyaan: dari mana sumber pembiayaannya? Apabila tidak dikelola hati-hati, defisit anggaran bisa melebar, dan beban utang di masa depan justru bertambah.

Inilah dilema klasik setiap kebijakan fiskal: menyeimbangkan kebutuhan jangka pendek dengan kesehatan fiskal jangka panjang.

Transparansi dan pengawasan karenanya menjadi kata kunci. Publik berhak tahu ke mana setiap rupiah digelontorkan dan sejauh mana dampaknya.

Evaluasi berkala harus dilakukan, bukan hanya untuk mengukur keberhasilan, tetapi juga untuk melakukan koreksi cepat bila ada penyimpangan atau program yang tidak efektif.

Selain aspek teknis, stimulus ini juga mengandung dimensi psikologis. Kebijakan fiskal yang jelas dan terarah dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan investor.

Kepercayaan inilah yang sering kali lebih berharga daripada angka nominal stimulus itu sendiri. Pasar dan pelaku usaha cenderung merespons positif bila melihat pemerintah tanggap dan konsisten menjaga stabilitas ekonomi.

Singkatnya, paket stimulus Rp16,23 triliun ini bisa menjadi amunisi penting bagi Indonesia untuk menghadapi ketidakpastian global. Tetapi, keberhasilan sejati tidak ditentukan oleh besarnya angka, melainkan oleh ketepatan sasaran dan kualitas eksekusi.

Jika dieksekusi dengan disiplin, stimulus ini akan menjadi penopang kokoh perekonomian. Namun bila salah kelola, ia hanya akan menjadi deretan angka besar yang menguap begitu saja.

Stimulus ini pada akhirnya adalah ujian. Bukan hanya ujian bagi kekuatan fiskal negara, melainkan juga ujian bagi kapasitas pemerintah dalam mewujudkan janji-janji kebijakan di lapangan.

Dan seperti biasa, rakyatlah yang akan merasakan langsung apakah Rp16,23 triliun ini benar-benar menjaga nafas ekonomi, atau hanya sekadar headline sesaat. (*)