Bara Demonstrasi, Antara Ujian Janji dan Regulasi, Oleh: Arby Pratama

Wali Kota Metro, H. Bambang Iman Santoso dan Wakil Wali Kota Metro, Dr. M. Rafieq Adi Pradana saat menyambut ratusan massa demonstran. Foto: Arby/Kupastuntas.co
Kupastuntas.co, Metro - Bara demonstrasi yang berkobar di jantung Kota Metro pada Selasa (16/9/2025) tidak sekadar dentuman suara toa, poster bertuliskan tuntutan, atau barisan massa yang mengepung kantor wali kota.
Hari ini adalah refleksi dari kegalauan sosial yang semakin nyata, tentang pertarungan antara janji politik, tuntutan rakyat, dan kekakuan regulasi nasional.
Ratusan massa aksi yang tergabung dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), serta Forum THL Non Database datang dengan satu seruan lantang yaitu selamatkan nasib 449 Tenaga Harian Lepas (THL) dan 91 Ahli Daya yang berada di tepi jurang pengangguran.
Tak disangka, desakan moral itu akhirnya menembus tembok birokrasi. Wali Kota Metro, H. Bambang Iman Santoso bersama Wakil Wali Kota, Dr. M. Rafieq Adi Pradana, menandatangani kesepakatan lima poin yang menjanjikan, tidak ada satu pun THL yang dirumahkan, ahli daya diberi ruang kerja kembali, dan bahkan dorongan pengusulan skema PPPK paruh waktu akan diperjuangkan.
Di atas lantai karpet merah aula Pemkot Metro, tinta biru pada kertas putih menjadi simbol harapan. Para demonstran pulang dengan sorak kemenangan, pemerintah terlihat berpihak pada rakyat, dan publik menyaksikan momen dramatis yang seolah menegaskan, suara massa masih relevan di era demokrasi lokal.
Namun, sejarah politik mengajarkan kita satu hal yaitu tidak semua kemenangan di jalanan berakhir dengan kebijakan yang nyata.
Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian PAN-RB sudah menetapkan palang pintu bahwa era tenaga honorer non-database telah resmi ditutup. Ketentuan itu bukan sekadar garis hukum, melainkan “aturan besi” yang mengikat setiap pemerintah daerah.
Maka, kesepakatan di Metro sesungguhnya menghadapi dilema besar. Jika dijalankan penuh, Pemkot bisa berhadapan dengan jerat hukum penggunaan anggaran dan pelanggaran status kepegawaian.
Jika ditinggalkan, pemerintah akan dianggap ingkar janji, kehilangan kredibilitas di hadapan rakyat, dan memantik kembali bara demonstrasi yang lebih besar.
Bak Catch-22 yang berasal dari novel klasik Joseph Heller (1961), dimana birokrasi dihadapkan pada situasi yang serba salah. Yang mana melangkah maju bisa tersandung hukum, mundur berarti kehilangan legitimasi.
Keberanian Bambang menandatangani kesepakatan adalah langkah politis yang cerdas sekaligus berisiko. Ia berhasil meredam amarah publik dalam sekejap, tetapi di saat yang sama membuka ruang ujian kepemimpinan yang sesungguhnya.
Apakah ia mampu mengawal janji itu hingga meja birokrasi nasional. Apakah ia punya strategi lobi ke pusat, jaringan komunikasi, dan kemampuan politik untuk menembus kebekuan regulasi. Atau sebaliknya, ia akan terseret arus dan akhirnya tunduk pada peraturan yang lebih besar, meninggalkan rakyatnya dalam kekecewaan.
Pertanyaan-pertanyaan ini kini menggantung di udara dan publik yang sudah merasakan “kemenangan semu” ini pasti akan menagih realisasi janji dengan mata lebih tajam daripada sebelumnya.
Aksi 16 September tidak hanya soal nasib THL. Itu juga menjadi panggung politik yang menunjukkan siapa pengendali arus tekanan rakyat. KNPI dan HMI tampil sebagai motor penggerak yang berhasil menundukkan pemerintah. Forum THL menjadi simbol keresahan akar rumput yang berani melawan.
Kemenangan moral ini bisa menjadi modal politik bagi para aktor gerakan, sekaligus bahan bakar baru bagi lawan-lawan politik Bambang. Isu THL yang seharusnya administratif, kini menjelma senjata politik yang tajam. Senjata itu siap dipakai kapan saja untuk menggugat, bahkan menjatuhkan.
Hari ini, sejarah Metro menulis bab baru. Demonstrasi berhasil memaksa pemerintah membuka pintu kompromi. Tapi bab berikutnya masih misteri, akankah kesepakatan lima poin menjadi pondasi kebijakan pro-rakyat, atau justru jebakan hukum yang menyeret Pemkot ke pusaran masalah.
Bambang sudah mengambil langkah awal yang berani. Tetapi langkah awal tidak cukup. Tanpa strategi politik yang cermat, tanpa lobi kuat ke pusat, dan tanpa inovasi hukum yang cerdas, komitmen itu hanya akan menjadi catatan di kertas kosong.
Pada akhirnya, pertanyaan paling tajam adalah, apakah bara demonstrasi akan berubah menjadi api perubahan yang nyata, atau hanya fatamorgana politik yang hilang ditelan regulasi. Kini, waktu yang akan menjawabnya. Mari kita berdoa bersama, agar tidak ada honorer yang menjadi pengangguran dan pemkot tidak terjerat persoalan hukum di masa depan. (*)
Berita Lainnya
-
Walikota Jamin 540 THL Non Database di Metro Tidak Akan Dirumahkan
Selasa, 16 September 2025 -
Polemik THL, KNPI Singgung Janji Kampanye Walikota Metro Soal Kesejahteraan Honorer
Senin, 15 September 2025 -
Stok Aman, DP3AP2KB Metro Pastikan 18.471 Alat Kontrasepsi Tersedia di 23 Faskes
Senin, 15 September 2025 -
Video Presiden Prabowo di Bioskop; Transparansi atau Propaganda, Oleh: TB Alam Ganjar Jaya
Minggu, 14 September 2025