• Minggu, 14 September 2025

Simalakama THL: Antara Ketegasan Aturan atau Kemanusiaan, Oleh: Arby Pratama

Minggu, 14 September 2025 - 13.14 WIB
170

Arby Pratama, Wartawan Kupas Tuntas di Kota Metro. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Metro - Persoalan tenaga honorer atau Tenaga Harian Lepas (THL) kembali mencuat menjadi isu hangat di Kota Metro. Sebanyak 540 THL Non Database kini berada di persimpangan jalan apakah akan tetap dipertahankan dengan berbagai argumentasi kemanusiaan, atau justru harus terhenti karena aturan pemerintah pusat yang menghendaki penataan ulang.

Dilema ini bukan hanya soal administratif. Ini telah menjelma menjadi problem struktural yang menuntut pilihan tegas dari pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Di satu sisi, regulasi yang digulirkan pemerintah pusat menekankan ketertiban sistem kepegawaian dengan menghapus status honorer secara bertahap. Namun di sisi lain, realita di lapangan menunjukkan bahwa ribuan pelayanan publik justru ditopang oleh tenaga honorer yang kini nasibnya kian tak menentu.

Pemerintah pusat berkali-kali menegaskan bahwa reformasi birokrasi harus bersandar pada regulasi. Tidak boleh ada lagi tenaga honorer di luar jalur resmi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Argumentasi ini memang masuk akal: birokrasi harus tertib, rekrutmen pegawai harus transparan, dan belanja negara harus efisien.

Namun faktanya, di daerah, kebijakan ini menimbulkan gejolak. Di Kota Metro, ratusan THL yang telah bekerja bertahun-tahun di kantor kelurahan, sekolah, hingga dinas teknis, tiba-tiba dinyatakan tidak memenuhi syarat karena tidak tercatat dalam database resmi. Padahal mereka telah menjadi bagian vital dari pelayanan publik sehari-hari.

Ironisnya, Kota Metro yang hingga kini belum mampu sepenuhnya menekan angka pengangguran justru berpotensi menambah ratusan pengangguran baru pada tahun mendatang akibat tidak diperpanjangnya status 540 THL Non Database tersebut.

Isu honorer tidak bisa dipandang sebatas angka di tabel birokrasi. Di balik status Non Database itu, ada ratusan keluarga yang menggantungkan hidup. Ada anak-anak yang membutuhkan biaya sekolah, cicilan rumah yang harus dibayar, dan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi.

Ketika regulasi dijalankan tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan, dampaknya bukan hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga dapat menimbulkan keresahan sosial.

Pemerintah pusat mungkin bicara soal disiplin aturan, tetapi pemerintah daerah yang harus berhadapan langsung dengan gelombang kekecewaan masyarakat.

Kondisi ini menempatkan Pemerintah Kota Metro dalam posisi sulit. Jika mengikuti aturan pusat, maka ratusan THL harus rela tersingkir. Namun jika mempertahankan mereka, Pemkot bisa dianggap menyalahi regulasi.

Sikap gamang ini terlihat dari belum adanya keputusan tegas hingga kini. Pemerintah daerah masih mencari celah, rapat koordinasi masih berjalan, namun waktu semakin sempit.

Sementara itu, suara keresahan para honorer kian menguat, bahkan berujung pada rencana aksi damai untuk menuntut kejelasan.

Kebimbangan ini sejatinya wajar, sebab Pemkot Metro sedang berdiri di dua kutub: antara kepatuhan terhadap aturan pusat dan keberpihakan terhadap rakyatnya sendiri.

Seberat apa pun simalakama yang dihadapi, setiap kebuntuan pasti ada solusinya. Pemerintah pusat dan daerah harus duduk bersama, mencari titik temu yang tidak mengorbankan keadilan sosial.

Misalnya, dengan membuka mekanisme afirmasi khusus bagi honorer yang telah lama mengabdi dan benar-benar merupakan warga Metro, atau merancang skema transisi agar mereka tetap bisa bekerja tanpa melanggar aturan.

Sebab pada akhirnya, tujuan utama dari kebijakan bukan hanya soal ketertiban birokrasi, tetapi juga menjaga kepercayaan publik dan melindungi masyarakat yang telah memberikan loyalitasnya kepada negara.

Simalakama THL adalah ujian keberanian pemerintah untuk mengambil sikap bijak. Apakah hanya berlindung di balik regulasi yang kaku, atau berani melahirkan kebijakan transisi yang manusiawi?

Di Kota Metro, 540 THL Non Database kini menanti jawaban. Jawaban itu akan menentukan apakah mereka masih bisa melanjutkan hidup dengan pekerjaan yang ada, atau justru menambah daftar panjang pengangguran baru di tahun mendatang.

Dan yang lebih penting, jawaban itu juga akan menjadi cermin apakah pemerintah benar-benar hadir untuk rakyatnya, atau sekadar menjadi pelaksana aturan tanpa nurani. (*)