• Jumat, 12 September 2025

Fenomena Robby Effect, Bayang-Bayang Korupsi yang Membekukan Metro, Oleh: Arby Pratama

Jumat, 12 September 2025 - 09.57 WIB
328

Mantan Kepala Dinas PUTR, Robby Kurniawan Saputra yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi proyek jalan Dr. Soetomo. Foto: Arby/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Fenomena yang belakangan disebut publik sebagai “Robby Effect” kini menjadi pembicaraan hangat di Kota Metro. Istilah ini merujuk pada dampak psikologis, birokratis, hingga politik yang muncul setelah penetapan tersangka dua pejabat aktif Pemkot Metro oleh Kejaksaan Negeri Metro, yakni mantan Kepala Dinas PUTR, Robby Kurniawan Saputra dan Kabid Bina Marga, Dadang Harris dalam kasus dugaan korupsi proyek jalan Dr. Soetomo.

Kasus ini seakan menjadi gempa besar di tubuh birokrasi. Tak hanya menyingkap borok lama tentang tata kelola proyek, tetapi juga menyisakan efek ketakutan luar biasa di kalangan pejabat. Alih-alih mempercepat pembangunan, sistem pemerintahan justru melambat bahkan seolah mandek.

Salah satu dampak paling kentara dari Robby Effect adalah membekunya fungsi pengguna anggaran (PA) di sejumlah dinas. Para pejabat yang memegang otoritas tanda tangan anggaran kini dilanda keraguan. Mereka lebih memilih menunda, bahkan menghindari keputusan penting, lantaran takut terseret kasus hukum.

Contoh nyata terlihat di Dinas PUTR Kota Metro. Kepala dinas saat ini, Ardah diisukan justru dianggap sengaja memperlambat proses pembangunan dengan dalih kehati-hatian. Padahal, kehati-hatian yang berlebihan justru memicu stagnasi. Proyek infrastruktur yang mestinya bergerak cepat demi kepentingan masyarakat, kini tersendat di meja birokrasi.

Tak bisa dipungkiri, penetapan tersangka Robby dan Dadang menciptakan trauma kolektif di kalangan pejabat. Setiap berkas yang masuk seakan menjadi bom waktu. Bukan rahasia lagi, praktik-praktik abu-abu dalam pengelolaan anggaran sudah lama menjadi budaya. Ketika aparat hukum mulai bergerak tegas, budaya itu seolah menelan balik para pelakunya.

Kepala daerah pun ikut terdampak. Psikologis wali kota disebut-sebut terguncang, lantaran kasus ini digadang-gadang bakal terus berlanjut dan menyeret sejumlah nama besar pejabat serta anggota DPRD Kota Metro.

Efek domino ini membuat koordinasi politik dan birokrasi tidak berjalan normal. Keputusan-keputusan penting ditunda, sementara publik menunggu kinerja nyata pemerintah.

Namun, pertanyaan kritis yang harus kita ajukan adalah, apakah ketakutan ini alasan yang sah untuk membiarkan pembangunan terhambat. Jawabannya tentu tidak. Pejabat publik digaji untuk bekerja melayani rakyat, bukan untuk bersembunyi di balik trauma atau ketakutan hukum.

Robby Effect seharusnya dijadikan momentum reformasi birokrasi, bukan alasan untuk melumpuhkan roda pemerintahan. Jika selama ini tata kelola proyek sarat dengan praktik “kongkalikong”, maka inilah saatnya melakukan perombakan menyeluruh. Transparansi, akuntabilitas, dan keberanian mengambil keputusan dengan prosedur yang benar harus menjadi budaya baru.

Kota Metro bukan hanya soal pejabat dan kasus korupsi. Ada ratusan ribu kebutuhan rakyat yang menanti jawaban, yaitu jalan yang rusak, drainase yang buruk, dan program pembangunan yang mangkrak. Publik tidak bisa menunggu pejabat pulih dari trauma, sementara uang rakyat tertahan dan proyek terbengkalai.

Masyarakat butuh kepastian. Mereka ingin melihat kepala daerah dan jajaran berani mengambil sikap tegas dengan memberantas korupsi sekaligus memastikan pembangunan tetap berjalan. Keterlambatan pembangunan bukan hanya kerugian finansial, tetapi juga merusak kepercayaan publik pada pemerintah.

Metro harus menolak terjebak dalam politik ketakutan. Robby Effect tidak boleh menjelma menjadi alasan kolektif untuk bermalas-malasan atau menunda tanggung jawab. Justru sebaliknya, kasus ini harus menjadi alarm keras bahwa praktik korupsi tidak lagi bisa ditoleransi.

Jika birokrasi Metro gagal belajar dari kasus ini, maka publik berhak menilai bahwa pemerintahan kita tidak hanya korup, tetapi juga pengecut.

Pada akhirnya, Robby Effect bisa menjadi luka atau menjadi titik balik. Semua tergantung pada keberanian Pemkot Metro untuk bangkit, melawan budaya korupsi, dan menata ulang tata kelola birokrasi.

Karena yang sesungguhnya ditunggu masyarakat bukanlah pejabat yang takut ditangkap, melainkan pemimpin yang berani membuat keputusan bersih demi kepentingan rakyat. (*)