Fenomena Robby Effect, Bayang-Bayang Korupsi yang Membekukan Metro, Oleh: Arby Pratama

Mantan Kepala Dinas PUTR, Robby Kurniawan Saputra yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi proyek jalan Dr. Soetomo. Foto: Arby/Kupastuntas.co
Kupastuntas.co,
Metro - Fenomena yang belakangan disebut publik sebagai “Robby Effect” kini
menjadi pembicaraan hangat di Kota Metro. Istilah ini merujuk pada dampak
psikologis, birokratis, hingga politik yang muncul setelah penetapan tersangka
dua pejabat aktif Pemkot Metro oleh Kejaksaan Negeri Metro, yakni mantan Kepala
Dinas PUTR, Robby Kurniawan Saputra dan Kabid Bina Marga, Dadang Harris dalam
kasus dugaan korupsi proyek jalan Dr. Soetomo.
Kasus ini seakan
menjadi gempa besar di tubuh birokrasi. Tak hanya menyingkap borok lama tentang
tata kelola proyek, tetapi juga menyisakan efek ketakutan luar biasa di
kalangan pejabat. Alih-alih mempercepat pembangunan, sistem pemerintahan justru
melambat bahkan seolah mandek.
Salah satu dampak
paling kentara dari Robby Effect adalah membekunya fungsi pengguna anggaran
(PA) di sejumlah dinas. Para pejabat yang memegang otoritas tanda tangan
anggaran kini dilanda keraguan. Mereka lebih memilih menunda, bahkan
menghindari keputusan penting, lantaran takut terseret kasus hukum.
Contoh nyata
terlihat di Dinas PUTR Kota Metro. Kepala dinas saat ini, Ardah diisukan justru
dianggap sengaja memperlambat proses pembangunan dengan dalih kehati-hatian.
Padahal, kehati-hatian yang berlebihan justru memicu stagnasi. Proyek
infrastruktur yang mestinya bergerak cepat demi kepentingan masyarakat, kini
tersendat di meja birokrasi.
Tak bisa
dipungkiri, penetapan tersangka Robby dan Dadang menciptakan trauma kolektif di
kalangan pejabat. Setiap berkas yang masuk seakan menjadi bom waktu. Bukan
rahasia lagi, praktik-praktik abu-abu dalam pengelolaan anggaran sudah lama
menjadi budaya. Ketika aparat hukum mulai bergerak tegas, budaya itu seolah
menelan balik para pelakunya.
Kepala daerah pun
ikut terdampak. Psikologis wali kota disebut-sebut terguncang, lantaran kasus
ini digadang-gadang bakal terus berlanjut dan menyeret sejumlah nama besar
pejabat serta anggota DPRD Kota Metro.
Efek domino ini
membuat koordinasi politik dan birokrasi tidak berjalan normal.
Keputusan-keputusan penting ditunda, sementara publik menunggu kinerja nyata
pemerintah.
Namun, pertanyaan
kritis yang harus kita ajukan adalah, apakah ketakutan ini alasan yang sah
untuk membiarkan pembangunan terhambat. Jawabannya tentu tidak. Pejabat publik
digaji untuk bekerja melayani rakyat, bukan untuk bersembunyi di balik trauma
atau ketakutan hukum.
Robby Effect
seharusnya dijadikan momentum reformasi birokrasi, bukan alasan untuk
melumpuhkan roda pemerintahan. Jika selama ini tata kelola proyek sarat dengan
praktik “kongkalikong”, maka inilah saatnya melakukan perombakan menyeluruh.
Transparansi, akuntabilitas, dan keberanian mengambil keputusan dengan prosedur
yang benar harus menjadi budaya baru.
Kota Metro bukan
hanya soal pejabat dan kasus korupsi. Ada ratusan ribu kebutuhan rakyat yang
menanti jawaban, yaitu jalan yang rusak, drainase yang buruk, dan program
pembangunan yang mangkrak. Publik tidak bisa menunggu pejabat pulih dari
trauma, sementara uang rakyat tertahan dan proyek terbengkalai.
Masyarakat butuh
kepastian. Mereka ingin melihat kepala daerah dan jajaran berani mengambil
sikap tegas dengan memberantas korupsi sekaligus memastikan pembangunan tetap
berjalan. Keterlambatan pembangunan bukan hanya kerugian finansial, tetapi juga
merusak kepercayaan publik pada pemerintah.
Metro harus menolak
terjebak dalam politik ketakutan. Robby Effect tidak boleh menjelma menjadi
alasan kolektif untuk bermalas-malasan atau menunda tanggung jawab. Justru
sebaliknya, kasus ini harus menjadi alarm keras bahwa praktik korupsi tidak
lagi bisa ditoleransi.
Jika birokrasi
Metro gagal belajar dari kasus ini, maka publik berhak menilai bahwa
pemerintahan kita tidak hanya korup, tetapi juga pengecut.
Pada akhirnya,
Robby Effect bisa menjadi luka atau menjadi titik balik. Semua tergantung pada
keberanian Pemkot Metro untuk bangkit, melawan budaya korupsi, dan menata ulang
tata kelola birokrasi.
Karena yang
sesungguhnya ditunggu masyarakat bukanlah pejabat yang takut ditangkap,
melainkan pemimpin yang berani membuat keputusan bersih demi kepentingan
rakyat. (*)
Berita Lainnya
-
Rilis Hasil Sidak, Pemkot Temukan Beras Premium di Metro Tak Sesuai Berat
Jumat, 12 September 2025 -
Bungkam Soal Tunjangan Dewan, Aliansi Mahasiswa Ancam Demo DPRD Metro
Jumat, 12 September 2025 -
Pemkot Metro Rilis Daftar 1.925 PPPK Paruh Waktu
Kamis, 11 September 2025 -
Soal Tunjangan Dewan, Ketua DPRD Kota Metro Ria Hartini Bungkam
Kamis, 11 September 2025