Pendidikan Fiqih Ekologi dan Kolaborasi Lintas Sektor untuk Mitigasi Bencana, Oleh: Koderi

Koderi, Dosen dan Pengamat Pendidikan Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung. Foto: Ist
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Banjir yang melanda Lampung pada tahun 2025 menjadi peringatan keras bahwa bencana ekologis bukan lagi sekadar musibah insidental dan tidak mengenal bulan, melainkan krisis berulang yang mengancam kehidupan. Di Bandar Lampung, hujan ekstrem merendam lebih dari 14 ribu rumah dan berdampak pada lebih dari 11 ribu jiwa. Di Pesisir Barat, banjir bandang setinggi tiga meter memaksa warga mengungsi, bahkan menerjang perkantoran pemda. Sementara di Kota Agung, banjir rob menenggelamkan puluhan rumah nelayan dan melumpuhkan aktivitas ekonomi.
Baru ini banjir menerjang Suoh Lampung Barat menenggelamkan 5 rumah dan memaksa 30 warga mengungsi. Fakta ini menegaskan bahwa banjir bukan hanya soal curah hujan, tetapi juga akibat lemahnya pendidikan ekologi, lemahnya pengelolaan lingkungan dan tata ruang yang tidak berpihak pada keberlanjutan.
Dalam perspektif Islam, menjaga lingkungan adalah amanah sekaligus ibadah. Al-Qur’an secara tegas melarang perusakan bumi sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-A’raf (7):56, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” Ayat ini melarang eksplisit tindakan yang merusak ekosistem, baik berupa penebangan hutan, pencemaran sungai, maupun pengabaian tata ruang yang memicu bencana. Hal ini diperkuat oleh QS. Ar-Rum (30):41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Kerusakan lingkungan, termasuk banjir yang berulang, pada hakikatnya adalah akibat ulah manusia yang abai terhadap amanah Allah.
Rasulullah SAW pun menekankan pentingnya kepedulian ekologis. Dalam hadis sahih riwayat Bukhari-Muslim disebutkan, “Tidaklah seorang muslim menanam pohon atau menabur benih, lalu dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, melainkan itu menjadi sedekah baginya.” Hadis ini menegaskan bahwa penghijauan dan pelestarian lingkungan adalah amal jariyah yang berpahala. Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang... yang paling utama adalah ucapan ‘La ilaha illallah’, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR. Muslim). Menyingkirkan sampah dari sungai atau selokan agar tidak menimbulkan banjir sejatinya adalah bagian dari iman. Inilah esensi pendidikan fiqih ekologi (bi’ah), yakni menghubungkan kepedulian lingkungan dengan nilai-nilai ibadah.
Namun, konsep fiqih ekologi (bi’ah) tidak bisa berhenti dalam kajian normatif forum seminar, kajian majelis ta'lim, dan di ruang kelas-kuliah, melainkan harus diwujudkan dalam aksi nyata. Di sinilah kolaborasi lintas sektor menjadi sangat penting. Lembaga pendidikan, khususnya madrasah-sekolah, pesantren, perguruan tinggi dapat mengintegrasikan fiqih ekologi (bi’ah) dalam kurikulum, membiasakan peserta didik terlibat dalam praktik penghijauan, pengelolaan sampah, literasi dan mitigasi kebencanaan. LSM dan komunitas memiliki peran besar dalam menggerakkan kesadaran masyarakat sekaligus melakukan advokasi kebijakan ramah lingkungan.
Pemerintah wajib hadir dengan memastikan tata ruang berkelanjutan, memperbaiki drainase, membangun sumur resapan, serta menegakkan regulasi lingkungan. Sementara itu, tokoh agama dapat menguatkan legitimasi moral, dengan menegaskan bahwa menjaga sungai, menanam pohon, dan mencegah banjir adalah bentuk ibadah yang berpahala.
Secara teoritis, pendekatan collective action menegaskan bahwa persoalan kompleks seperti banjir hanya dapat diselesaikan melalui kerja sama multipihak. Hal ini sejalan dengan regulasi nasional, seperti UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengamanatkan bahwa mitigasi bencana adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah. Bahkan dalam kerangka maqashid syariah, perlindungan lingkungan (hifz al-bi’ah) dapat dipandang sebagai bagian integral dari menjaga jiwa (hifz al-nafs) dan harta (hifz al-mal), sebab tanpa lingkungan yang sehat, kehidupan manusia akan terancam.
Pada akhirnya, bencana banjir di Lampung mengingatkan kita bahwa menjaga lingkungan bukan hanya kewajiban sosial, melainkan juga kewajiban agama. Fiqih bi’ah memberikan dasar teologis yang kuat, sementara kolaborasi lintas sektor menyediakan instrumen praktis untuk mewujudkannya. Jika keduanya berjalan beriringan, mitigasi bencana tidak lagi sebatas slogan, tetapi menjadi jalan nyata menuju keselamatan manusia, kelestarian bumi, dan keridhaan Allah SWT.
Menjaga bumi berarti menjaga amanah Allah. Mengabaikannya berarti melanggar syariat. (*)
Berita Lainnya
-
Belajarlah dari Nepal, Oleh: Donald Harris Sihotang
Rabu, 10 September 2025 -
Mahasiswa di Persimpangan: Antara Tuntutan Akademik, Arus Informasi, dan Suara Perubahan, Oleh: Koderi
Rabu, 10 September 2025 -
Membangun Harmonisasi Asesor dalam Transformasi BAN-PDM, Oleh: Koderi
Selasa, 09 September 2025 -
Saatnya Move On, KPDBU Solusi untuk Metro yang Baru, Oleh: Arby Pratama
Senin, 08 September 2025