• Rabu, 10 September 2025

Evaluasi Program MBG di Lampung, Mulai Kebersihan Makanan, Penerima Manfaat hingga Dapur

Rabu, 10 September 2025 - 08.17 WIB
22

Ketua Satuan Tugas Percepatan Program MBG Provinsi Lampung, Saipul. Foto: Dok Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Selama sembilan bulan pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Provinsi Lampung, masih ditemui sejumlah masalah sehingga perlu dilakukan evaluasi menyeluruh. Evaluasi mencakup aspek kebersihan makanan yang disajikan, akurasi data penerima manfaat, hingga standar pengelolaan dapur MBG yang menjadi pusat distribusi.

Program MBG di Provinsi Lampung resmi berjalan sejak 6 Januari 2025 lalu. Saat itu program baru berjalan di tiga kabupaten, yakni Pringsewu, Way Kanan, dan Lampung Tengah. Kini, MBG sudah diterapkan di 15 kabupaten/kota se-Lampung.

Namun dalam pelaksanaannya, program ini dihadapkan pada sejumlah persoalan. Salah satunya kasus keracunan massal yang dialami ratusan siswa. Data yang dihimpun menyebutkan, sebanyak 247 siswa SD dan SMP di Bandar Lampung mengalami keracunan menu MBG pada Jumat (29/8/2025). Selain itu, 40 siswa SMP Al-Islah di Kecamatan Mataram Baru, Lampung Timur, serta 30 siswa SMKN 5 Bandar Lampung juga mengalami keracunan. Total sudah ada 317 siswa yang terdampak.

Dari sisi penerima manfaat, program MBG juga belum optimal. Dari target 2.327.888 orang, baru 800.677 orang yang menerima manfaat. Sementara dari 379 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG yang terbentuk, baru 242 yang aktif melayani.

Ketua Satuan Tugas Percepatan Program MBG Provinsi Lampung, Saipul, mengatakan hingga 3 September 2025 sudah terbentuk 379 SPPG. Namun, baru 242 yang benar-benar beroperasi. “Ini berbeda karena ada yang sudah disetujui untuk aktif, tetapi belum siap,” ujarnya, Senin (8/9/2025).

Saipul menyebut sebanyak 800.677 siswa mulai dari jenjang PAUD, SD, SMP, SMA, SMK hingga SLB baik negeri maupun swasta telah menerima manfaat. Namun program ini belum menyentuh sasaran lain seperti santri pondok pesantren, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita.

Ia menjelaskan, total sasaran program MBG di Lampung berdasarkan data Dapodik mencapai 1.987.243 siswa. Ditambah sasaran lainnya, total keseluruhan mencapai 2.327.888 orang. Dengan kapasitas satu SPPG hanya mampu melayani 2.500–3.000 orang, Lampung diperkirakan masih membutuhkan sekitar 776 SPPG tambahan.

Rincian dapur MBG yang telah tersedia di antaranya: Bandar Lampung 58, Metro 23, Lampung Selatan 49, Lampung Tengah 39, Lampung Timur 63, Lampung Utara 13, Mesuji 18, Pesawaran 13, Pringsewu 23, Tanggamus 16, Tulang Bawang 16, Tulang Bawang Barat 21, Way Kanan 23, serta Lampung Barat dan Pesisir Barat masing-masing 2 unit.

Saipul menegaskan pembangunan SPPG harus mengikuti Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ketat. Hal ini mengingat adanya kasus keracunan MBG yang menimpa ratusan siswa. “Pembangunan dapur harus mengutamakan SOP. Jangan sampai kejadian luar biasa (KLB) di daerah lain terjadi di Lampung,” tegasnya.

Ia menambahkan, SPPG di Kecamatan Sukabumi bahkan dihentikan sementara setelah diduga menjadi sumber keracunan massal. Dari sekitar 700 porsi makanan yang dibagikan dapur tersebut, hampir 300 siswa mengalami gejala keracunan.

Menurut informasi awal, air yang digunakan dalam pengolahan makanan diduga terkontaminasi dan tidak layak konsumsi. “Kalau ada kasus seperti ini, otomatis dapurnya kami hentikan sementara sampai evaluasi menyeluruh selesai dilakukan,” jelasnya.

Saipul yang juga Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Transmigrasi (PMDT) Provinsi Lampung ini mengatakan, program MBG di Lampung fokus menggunakan bahan makanan lokal sebagai upaya menekan biaya sekaligus meningkatkan nilai tambah bagi petani setempat.

Saipul mengungkapkan, penggunaan produk lokal menjadi strategi utama dalam pelaksanaan program ini."Kami mendorong agar bahan makanan dalam Program MBG diambil dari produk lokal daerah sekitar. Selain bisa menekan biaya distribusi, ini juga menjadi langkah konkret untuk meningkatkan kesejahteraan petani lokal," ujarnya.

Namun demikian, Saipul menjelaskan bahwa program ini tetap fleksibel. Jika bahan makanan tertentu tidak tersedia di daerah setempat, maka pembelian dari luar wilayah tetap diperbolehkan, selama harganya masih terjangkau dan sesuai dengan anggaran program.

"Kami tetap mengedepankan efisiensi. Jadi kalau memang ada kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi dari daerah sendiri, kita bisa ambil dari luar, asal tetap sesuai dengan standar harga dan kualitas," katanya.

Sementara itu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Lampung menyebut siswa yang mengalami keracunan mendapat kompensasi Rp500 ribu per orang. Kepala Disdikbud Provinsi Lampung, Thomas Amirico, menegaskan pihaknya memberi atensi khusus terhadap peran SPPG, khususnya ahli gizi di lapangan.

“Kami minta ahli gizi benar-benar memastikan setiap bahan baku diperiksa dengan baik. Sayuran juga diolah menjelang distribusi agar tetap segar,” ujarnya.

Thomas menambahkan, pemerintah membuka ruang partisipasi sekolah dan wali murid untuk melaporkan temuan di lapangan. Laporan itu akan dijadikan dasar rekomendasi perbaikan bagi pengelola SPPG maupun Badan Gizi Nasional (BGN), guna mencegah terulangnya insiden keracunan makanan.

Pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Provinsi Lampung dinilai perlu mendapat evaluasi serius. Pasalnya, sejumlah persoalan masih muncul di lapangan, mulai dari dapur yang belum berjalan, adanya laporan keracunan siswa, hingga kualitas makanan yang dipertanyakan.

Kepala Perwakilan Ombudsman Lampung, Nur Rakhman Yusuf, mengatakan pihaknya masih menunggu koordinasi dengan Ombudsman RI untuk menentukan pola pengawasan yang lebih efektif terhadap pelaksanaan MBG.

Menurutnya, beberapa aspek mendesak harus segera dibenahi. “Mungkin yang perlu disegerakan adalah pemerataan penerimaan MBG, terutama di sekolah atau daerah yang jauh dan terpencil,” kata Nur Rakhman, Selasa (9/9/2025).

“Ini harus jadi atensi bersama mulai dari bahan baku sampai proses memasak harus benar-benar dipastikan kualitasnya. Karena kita bicara makanan bergizi, bukan sekadar membagi makanan,” lanjutnya.

Nur Rakhman juga menyoroti aspek distribusi dan waktu pembagian makanan. Menurutnya, keterlambatan proses distribusi bisa membuat makanan berisiko basi dan tidak layak saji.

“Prinsip dasar MBG adalah terpenuhinya asupan gizi bagi siswa yang sedang dalam masa tumbuh kembang agar bisa maksimal, termasuk aspek kesehatannya. Jangan sampai karena mengonsumsi MBG, siswa malah sakit, dan lebih parah lagi tidak ditanggung BPJS. Pemda seharusnya turun tangan memastikan hal ini,” tandasnya. (*)

Berita ini telah terbit di SKH Kupas Tuntas edisi Rabu 10 September 2025 dengan judul "Evaluasi Program MBG di Lampung"