Belajarlah dari Nepal, Oleh: Donald Harris Sihotang

Donald Harris Sihotang Dosen Magister Manajemen Pasca Sarjana Universitas Saburai Bandar Lampung. Foto: Dok Kupastuntas.co
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Dunia hari ini terhubung tanpa sekat. Apa yang terjadi di sebuah negara, seketika bisa menjadi cermin bagi negara lain. Nepal, negeri kecil di kaki Himalaya yang jarang masuk berita utama, tiba-tiba mengguncang dunia dalam beberapa pekan terakhir.
Kerusuhan besar melanda negeri itu. Gelombang protes sosial yang awalnya dipicu oleh pemblokiran media sosial berubah menjadi ledakan politik dan tragedi kemanusiaan. Sebanyak 19 orang tewas, puluhan luka-luka, dan akhirnya Perdana Menteri KP Sharma Oli mengundurkan diri. Rumah perdana menteri dibakar massa, sementara Menteri Dalam Negeri serta Menteri Keuangan ditelanjangi di jalan oleh demonstran. Sebuah simbol hancurnya wibawa elit politik, sekaligus runtuhnya kepercayaan rakyat pada pemerintahan.
Tragedi di Nepal tidak boleh dilihat sekadar sebagai kisah di negeri jauh. Ia adalah alarm keras bagi Indonesia. Polanya sama, kesenjangan ekonomi, gaya hidup hedon pejabat, korupsi, dan hilangnya empati elit terhadap rakyat. Apakah Indonesia mau belajar dari Nepal, atau justru mengulangi kesalahannya?
Nepal sudah lama dihantui masalah klasik: korupsi merajalela, nepotisme mengakar, dan ekonomi stagnan. Kebijakan pemblokiran media sosial yang tampak sepele hanya percikan kecil yang jatuh di atas tumpukan bara. Bara itu adalah kemarahan anak muda yang sulit mendapat pekerjaan, keresahan masyarakat akibat inflasi, dan kekecewaan mendalam terhadap elit politik yang sibuk memperkaya diri. Ketika percikan itu jatuh, api sosial pun tak terbendung.
“Ini bukan hanya soal media sosial. Ini tentang generasi yang muak dengan korupsi dan kesenjangan,” kata analis politik Nepal, Bhaskar Gautam, dalam wawancara dengan Al Jazeera (Agustus 2025).
Protes kecil membesar, berubah menjadi kerusuhan nasional, menelan nyawa, membakar rumah perdana menteri, dan mempermalukan menteri di depan rakyatnya. Nepal kini terjebak dalam ketidakpastian, mencari jalan keluar dari krisis kepercayaan.
Beberapa hari terakhir, Indonesia diguncang gelombang demonstrasi yang sama. Sepuluh orang tewas, dan empat rumah politisi, termasuk rumah Menteri Keuangan, dijarah massa. Ini bukan sekadar unjuk rasa biasa, melainkan sinyal bahwa kemarahan rakyat sudah sampai titik keresahan.
Rakyat kian terjepit oleh harga kebutuhan pokok yang melambung, akses layanan publik yang masih timpang, dan peluang kerja yang minim. Kontras makin tajam ketika elit politik justru tampil di media sosial dengan gaya hidup glamor, pesta mewah, joget berjamaah, pamer kendaraan, hingga barang-barang bermerek. Dalam situasi rakyat sulit, gaya hidup pejabat yang berlebihan menjadi bahan bakar kemarahan sosial.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2025 mencatat tingkat kemiskinan nasional sebesar 8,47 persen atau 23,85 juta jiwa. Angka ini memang terendah dalam dua dekade terakhir. Kemiskinan ekstrem bahkan turun menjadi 0,85 persen atau 2,38 juta jiwa. Namun, Bank Dunia memberi perspektif berbeda. Dengan standar garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas, ternyata 68,3 persen penduduk Indonesia masih hidup miskin. Artinya, mayoritas rakyat hanya hidup pas-pasan. Sedikit guncangan kenaikan harga beras, tarif listrik, atau pajak bisa menjatuhkan mereka kembali ke jurang kemiskinan.
Ketimpangan juga terlihat dari penguasaan lahan. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2024 mencatat, satu persen penduduk menguasai lebih dari 50 persen aset tanah produktif. Bahkan, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengakui, 48 persen tanah di Indonesia dikuasai hanya oleh 60 keluarga.
Laporan Oxfam menunjukkan empat orang terkaya Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta rakyat termiskin. Dengan kata lain, rakyat masih berjuang untuk makan sehari-hari, sementara segelintir elit menumpuk harta dalam jumlah tak masuk akal.
Jika ditarik garis lurus, persamaan antara Nepal dan Indonesia tampak jelas. Jurang kaya–miskin yang tajam membuat mayoritas rakyat hidup dalam kesulitan, sementara elit politik ekonominya hidup berkelimpahan. Korupsi yang merajalela menghancurkan kepercayaan publik, seperti halnya di Nepal. Kasus korupsi, kolusi dan nepotisme membuat rakyat muak. Elitisme dan ketidakpekaan semakin menguat, di mana pejabat sibuk pamer kekuasaan dan kemewahan, sementara kebijakan sering kali tidak menyentuh kebutuhan mendasar rakyat.
Sejarah menunjukkan, ledakan sosial jarang terjadi karena masalah besar. Sering kali pemicunya justru hal kecil: kenaikan harga beras, ucapan pejabat yang meremehkan rakyat, atau kebijakan komunikasi yang buruk.
Indonesia tidak boleh mengulangi kesalahan Nepal. Reforma fiskal progresif harus dijalankan agar pajak lebih adil dan golongan superkaya membayar lebih besar, sementara rakyat kecil dilindungi melalui subsidi pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial. Transparansi dan akuntabilitas nyata mutlak diperlukan, dengan anggaran negara dikelola terbuka, audit independen dipublikasikan, dan rakyat diberi hak untuk tahu darimana uang mereka berasal.
Pemberdayaan ekonomi rakyat harus diwujudkan secara konkret. UMKM, petani, dan nelayan tidak boleh hanya jadi jargon politik, melainkan diberi akses modal, pasar, dan teknologi. Keteladanan pejabat publik juga harus menjadi norma. Pejabat mesti berhenti pamer kekayaan. Hidup sederhana bukan sekadar pencitraan, melainkan kewajiban moral. Bung Hatta pernah berpesan, “Kekuasaan tanpa kesederhanaan adalah jalan menuju kehancuran.”
Selain itu, penegakan hukum tanpa pandang bulu harus ditegakkan. Koruptor dari kalangan mana pun mesti dihukum tegas, tanpa kompromi politik.
Indonesia butuh pemimpin yang membumi, bukan yang terbang di awan-awan kemewahan. Pemimpin yang mendengar jeritan rakyat, bukan hanya tepuk tangan elite. Pemimpin yang sadar bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan kesempatan berpesta.
Jika pejabat publik terus larut dalam gaya hidup hedon, jika jurang kesenjangan makin melebar, dan jika korupsi tetap dibiarkan, maka percikan kecil bisa menjadi api besar. Negara bisa runtuh bukan karena perang, melainkan karena rakyat kehilangan kepercayaan pada pemimpinnya.
Tragedi Nepal adalah cermin. Di sana, rakyat marah, rumah perdana menteri dibakar, menteri ditelanjangi di jalan. Semua karena elit gagal memahami bahwa kesabaran rakyat ada batasnya.
Indonesia masih punya waktu untuk berbenah. Dengarlah suara rakyat sebelum terlambat. (*)
Berita Lainnya
-
Pendidikan Fiqih Ekologi dan Kolaborasi Lintas Sektor untuk Mitigasi Bencana, Oleh: Koderi
Kamis, 11 September 2025 -
Mahasiswa di Persimpangan: Antara Tuntutan Akademik, Arus Informasi, dan Suara Perubahan, Oleh: Koderi
Rabu, 10 September 2025 -
Membangun Harmonisasi Asesor dalam Transformasi BAN-PDM, Oleh: Koderi
Selasa, 09 September 2025 -
Saatnya Move On, KPDBU Solusi untuk Metro yang Baru, Oleh: Arby Pratama
Senin, 08 September 2025