• Selasa, 09 September 2025

Mahalnya Biaya Politik, Kepala Daerah Rawan Terseret Kasus Korupsi

Selasa, 09 September 2025 - 08.25 WIB
22

Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Lampung (UML), Candrawansah. Foto: Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Biaya politik yang tinggi menjadi salah satu faktor penyebab sejumlah kepala daerah di Provinsi Lampung terjerat kasus korupsi. Dalam dua dekade terakhir, sedikitnya sudah ada delapan kepala daerah di Lampung yang tersangkut perkara korupsi.

Delapan kepala daerah tersebut antara lain, mantan Bupati Mesuji Khamami, mantan Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan, eks Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara, dan mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa yang terjerat kasus suap atau menerima fee proyek infrastruktur.

Selain itu, ada mantan Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan terkait gratifikasi APBD/suap DPRD, mantan Bupati Lampung Timur Satono terkait mark-up dan penyalahgunaan APBD, mantan Bupati Lampung Selatan Wendy Melya terkait pengadaan tanah PLTU Sebalang, serta mantan Bupati Lampung Timur Dawam Rahardjo terkait proyek pagar rumah dinas. Terakhir, mantan Gubernur Lampung Arinal Djunaidi yang baru saja diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi dana PI 10 persen dari PT PHE OSES untuk PT Lampung Energi Berjaya (LEB).

Menanggapi hal itu, pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Lampung (UML), Candrawansah, menyebut Lampung memang menjadi salah satu daerah yang cukup banyak menyumbang kepala daerah terjerat kasus korupsi.

“Masyarakat Lampung mengetahui bahwa beberapa kepala daerah yang bermasalah tersebut berasal dari Lampung Selatan, Lampung Tengah, Mesuji, Lampung Timur, dan Lampung Utara. Selain itu, baru-baru ini juga ada mantan Gubernur Lampung,” kata Candrawansah, Senin (8/9/2025).

Menurutnya, peran partai politik sangat signifikan dalam memfilter calon kepala daerah agar kasus serupa tidak terus berulang.

“Partai politik harus mempersiapkan kader untuk bisa menduduki jabatan politik, bukan kader karbitan yang dijadikan kader setelah menang pilkada atau hanya karena popularitas. Kader harus dipersiapkan sejak awal agar layak menjadi tokoh bangsa maupun daerah,” ujarnya.

Candrawansah menambahkan, tingginya biaya politik menjadi salah satu faktor penyumbang maraknya kepala daerah terjerat korupsi.

“Calon kepala daerah rentan terjebak dalam politik uang dan penggerakan aparatur sipil negara. Politik uang inilah yang membuat biaya politik mahal, ditambah lagi adanya mahar politik atau bahkan hutang politik,” jelasnya.

Ia menerangkan, mahar politik biasanya berupa pembelian perahu untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Sedangkan hutang politik lebih kepada pembiayaan yang ditanggung pihak ketiga terlebih dahulu.

“Nantinya ketika yang bersangkutan terpilih, programnya cenderung berdasarkan pesanan dari pemberi modal. Inilah yang kerap membuat kepala daerah tersandung masalah korupsi saat menjabat maupun setelah pensiun,” pungkasnya.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sejak 2024 hingga Mei 2025 sudah ada 201 kepala daerah, mulai dari wali kota, bupati hingga gubernur, yang terjerat kasus korupsi.

“Kalau melihat data dari 2024 sampai Mei 2025, KPK telah menjerat 363 anggota DPR dan DPRD, 171 bupati dan wali kota, serta 30 gubernur,” ungkap Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Rabu (21/5/2025).

Budi mengatakan, produk politik memang menjadi salah satu penyumbang terbesar pelaku korupsi. Karena itu, KPK terus melakukan kajian untuk menekan jumlah kasus korupsi yang bersumber dari ruang lingkup politik.

“Jika melihat histori, sektor politik memang menjadi penyumbang besar pelaku korupsi. Pada 2011, KPK pernah melakukan kajian soal bantuan keuangan partai politik dari APBN maupun APBD. Untuk kajian tahun ini, cakupannya diperluas dengan melihat pembiayaan politik secara keseluruhan, baik sebelum, saat maupun setelah pemilu,” jelasnya.

Menurut Budi, kajian tersebut dilakukan guna memetakan potensi korupsi yang muncul akibat tingginya beban pembiayaan politik, sekaligus memperjelas mekanisme penggunaan anggaran negara yang rentan disalahgunakan untuk kepentingan elektoral.

“KPK juga berdiskusi dengan KPU, Bawaslu, DKPP, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, Mendagri, serta para pakar dan stakeholder lainnya. Selain itu, RUU Pemilu juga sudah masuk dalam Prolegnas, sehingga KPK berharap kajian ini bisa menjadi masukan penting dalam penyusunan undang-undang pemilu mendatang,” pungkasnya. (*)

Berita ini telah terbit di SKH Kupas Tuntas edisi Selasa 9 September 2025 dengan judul "Mahalnya Biaya Politik, Kepala Daerah Rawan Terseret Kasus Korupsi"