• Selasa, 09 September 2025

Suara Rakyat Sumatera Menggema di Lampung Timur, Bersatu Menolak Perampasan Tanah Rakyat

Senin, 08 September 2025 - 13.27 WIB
53

Orasi para petani se-Sumatra melawan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak dengan kaum buruh. Foto: Agus/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Lampung Timur – Puncak kegiatan Temu Rakyat Sumatra yang dipusatkan di Desa Sripendowo, Kecamatan Bandar Sribhawono, Kabupaten Lampung Timur, berlangsung penuh semangat perlawanan. Ribuan petani dan masyarakat dari berbagai daerah di Sumatera hadir menyuarakan aspirasi.

Acara ini merupakan rangkaian kegiatan yang telah digelar sejak Sabtu (6/9/2025). Memasuki hari ketiga, Senin (8/9/2025), massa semakin memadati lapangan Desa Sripendowo untuk mendengarkan deklarasi bersama.

Peserta datang dari berbagai provinsi, di antaranya Aceh, Sumatra Utara, Jambi, Bengkulu, Riau, Sumatra Selatan, dan Lampung. Mereka membawa satu suara: menolak perampasan ruang hidup dan melawan segala bentuk ketidakadilan.

Dalam momen penting itu, Suparjo, Koordinator Serikat Petani Lampung, ikut membacakan Pernyataan Sikap dan Deklarasi Rakyat Sumatera. Isi deklarasi menegaskan perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap merugikan rakyat.

Deklarasi tersebut menyoroti proyek pembangunan berskala besar, investasi asing, hingga agenda energi bersih yang dinilai hanya membawa kerusakan lingkungan dan merampas tanah rakyat.

“Rakyat dari pesisir, pulau-pulau kecil, kawasan hutan, desa perkebunan, hingga wilayah tambang merasakan dampak nyata dari ketidakadilan ini,” ujar Suparjo lantang di depan massa.

Pernyataan itu juga menyebut, setiap perlawanan rakyat kerap dibalas dengan intimidasi, kriminalisasi, bahkan kekerasan aparat. Situasi tersebut mempertegas posisi rakyat untuk memilih jalan perlawanan.

“Kami tidak akan tunduk pada negara yang berkhianat, maupun korporasi yang merampas ruang hidup. Kami memilih jalan perlawanan sebagai jalan menuju kedaulatan sejati,” demikian bunyi deklarasi.

Mereka meyakini, dari Sumatera akan lahir gelombang rakyat yang lebih besar, bukan sekadar menolak penindasan, tapi juga membangun dunia yang adil, setara, dan berdaulat.

Deklarasi rakyat ini memuat empat pokok persoalan utama, yaitu perampasan ruang hidup, kekerasan dan kriminalisasi, pembangunan serta energi bersih yang dianggap ilusi, dan penegasan bahwa kedaulatan sejati ada di tangan rakyat.

Pada poin pertama, rakyat menolak dalih pembangunan yang justru menghancurkan ruang hidup. “Tanah, laut, hutan, udara, dan perut bumi bukan komoditas, melainkan ruang hidup rakyat,” tegasnya.

Poin kedua menyoroti kekerasan aparat. Mereka menilai negara gagal melindungi rakyat, justru berpihak pada pemodal.

Poin ketiga menolak proyek energi bersih yang dianggap hanya menguntungkan elit dan investor asing. “Transisi hijau hanyalah ilusi keadilan,” demikian pernyataan massa.

Sementara poin keempat menekankan, kedaulatan sejati ada di tangan rakyat. Negara ada karena rakyat, bukan sebaliknya.

Deklarasi tersebut juga diikuti enam sikap tegas. Pertama, menolak perampasan tanah, laut, hutan, dan ruang hidup.

Kedua, mendesak penghentian proyek tambang, perkebunan skala besar, PLTU, PLTA, geothermal, dan PSN yang merugikan rakyat.

Ketiga, menuntut pencabutan peraturan-peraturan yang melegitimasi perampasan ruang hidup, baik perpres, perda, maupun izin korporasi.

Keempat, menghentikan kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya.

Kelima, menuntut pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat, nelayan, petani, perempuan, dan kelompok rentan.

Keenam, memperkuat persatuan gerakan rakyat lintas wilayah Sumatera sebagai kekuatan politik alternatif melawan negara dan korporasi.

Selain itu, massa juga menegaskan bahwa contoh keberhasilan perjuangan rakyat di Sumatera akan dijadikan rujukan kolektif.

“Rakyat Sumatera bangun persatuan, lawan perampasan ruang hidup,” demikian pekikan serentak ribuan massa di lapangan.

Suasana makin bergelora ketika Asfinawati, mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) periode 2017–2021, naik ke panggung untuk berorasi.

Dalam orasinya, Asfinawati menyinggung lirik lagu Indonesia Raya yang menurutnya sarat makna perjuangan rakyat.

Ia menekankan bahwa yang harus merdeka adalah rakyat, bukan pemerintah. “Pendiri bangsa ingin rakyat bangkit dan melawan dari ketidakadilan,” katanya di bawah terik matahari.

Asfinawati juga mengingatkan syair Indonesia Raya yang pernah dipotong rezim Orde Baru, seperti kalimat sadarlah hatinya, sadarlah buminya, selamatlah rakyatnya.

“Syair itu penting, karena menyuarakan keselamatan rakyat, tanah, dan laut,” tegasnya.

Ia menyinggung kondisi petani yang hidup sulit. Dari Aceh hingga Lampung, banyak petani mengeluh hasil panen singkong 10 bulan hanya dihargai Rp400 per kilogram.

“Apakah itu kemerdekaan? Bukan. Itu penindasan di masa kemerdekaan,” ucap Asfinawati.

Ia menegaskan, jalan satu-satunya bagi rakyat adalah perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada buruh dan petani.

Pidato itu disambut sorak-sorai massa. Spanduk bertuliskan Lawan Perampasan Ruang Hidup berkibar di antara kerumunan. Kehadiran ribuan rakyat di Lampung Timur ini menjadi simbol konsolidasi kekuatan rakyat Sumatera.

Bagi mereka, perlawanan bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban untuk mempertahankan ruang hidup. Massa kemudian menyanyikan Indonesia Raya bersama, sembari mengepalkan tangan ke udara. (*)