• Sabtu, 06 September 2025

Meneladani Nabi Muhammad: Dari Cinta Spiritual hingga Aksi Nyata dalam Kehidupan Modern, Oleh: Muhammad Akmansyah

Sabtu, 06 September 2025 - 09.34 WIB
74

Muhammad Akmansyah, Pemerhati pendidikan Islam, spiritualitas Islam, dan kehidupan sosial. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Mengapa Cinta kepada Nabi Tetap Relevan? Di tengah derasnya notifikasi media sosial, berita buruk yang silih berganti, dan tekanan hidup modern yang serba cepat, kita sering kehilangan ruang hening untuk merenung.

Hidup seolah hanya soal mengejar target, uang, dan status. Akibatnya, banyak orang tercerabut dari akar spiritualnya.

Dalam kondisi seperti ini, sosok Nabi Muhammad SAW hadir sebagai telaga jernih yang menyejukkan. Cinta kepadanya bukan sekadar ritual membaca shalawat atau merayakan Maulid, melainkan energi spiritual yang mampu menuntun kita menghadapi peliknya zaman.

Bagi umat Islam di Indonesia, meneladani Nabi juga relevan secara sosial. Saat bangsa ini dirundung korupsi, ketimpangan, dan krisis moral, nilai-nilai Nabi bisa menjadi jawaban untuk membangun masyarakat yang adil, penuh kasih, dan beradab.

Cinta yang Melampaui Zaman

Para sahabat mencintai Nabi dengan ketulusan yang membentuk perilaku. Nabi tidak hanya dihormati sebagai pemimpin, tetapi dijadikan teladan hidup.

Kisah kejujuran Nabi dalam perdagangan di Syam menjadi contoh abadi. Sebelum diangkat sebagai Rasul, beliau sudah dikenal dengan gelar Al-Amin (yang terpercaya).

Integritasnya diakui bahkan oleh lawan bisnis non-Muslim. Jika prinsip ini dihidupkan oleh pemimpin dan pejabat kita, wajah bangsa tentu akan jauh lebih baik.

Menghidupkan Warisan Nabi dalam Kehidupan Sehari-hari

Cinta Nabi sejati adalah cinta yang membumi, tercermin dalam tindakan nyata :

  • Dalam bisnis: Nabi mengajarkan kejujuran, keadilan, dan transparansi. Prinsip-prinsip ini menjadi benteng menghadapi praktik korupsi dan penipuan.
  • Dalam tradisi keagamaan: Maulid tidak boleh berhenti pada seremoni. Ia bisa dihidupkan melalui kegiatan sosial, ekonomi, dan kreativitas masyarakat.
  • Dalam doa dan shalawat: Shalawat bukan sekadar lantunan indah, melainkan pengingat untuk meneladani akhlak Nabi, yakni rendah hati, sabar dan penuh kasih.

Kisah Nabi yang menjenguk tetangga Yahudi yang sakit, meski sebelumnya sering menyakitinya, adalah bukti bahwa cinta beliau melintasi sekat agama dan identitas.

Maulid: Momentum Refleksi, Bukan Sekadar Seremonial

Peringatan Maulid bisa dimaknai lebih luas, di antaranya :

  • Refleksi diri: sejauh mana kita meneladani keadilan dan empati Nabi?
  • Identitas bangsa: tradisi Maulid di berbagai daerah menunjukkan Islam yang harmonis dengan budaya lokal.
  • Gerakan sosial: banyak komunitas muda menjadikan Maulid sebagai ajang penggalangan dana, kampanye antikorupsi, hingga aksi peduli lingkungan.

Dengan demikian, Maulid adalah jembatan antara nilai spiritual dan tantangan sosial kekinian.

Cinta kepada Keluarga Nabi

Mencintai Nabi berarti juga menghormati keluarganya. Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain dikenal dengan kesederhanaan dan keteguhan iman. Nilai itu sangat kontras dengan budaya konsumtif hari ini.

Namun, cinta kepada keluarga Nabi tidak boleh berubah menjadi fanatisme buta. Yang kita teladani adalah nilai universal: keadilan, kesederhanaan, keberanian, dan kasih sayang.

Relevansi Nilai Nabi untuk Indonesia

Indonesia saat ini menghadapi luka sosial: korupsi, ketimpangan, hingga polarisasi politik. Nilai Nabi bisa menjadi obatnya:

  • Menjaga persatuan: Piagam Madinah menginspirasi kita membangun masyarakat inklusif.
  • Keadilan sosial: Nabi selalu berpihak pada yang lemah, menegaskan bahwa kemuliaan diukur dengan takwa, bukan harta.
  • Aksi kemanusiaan: gerakan zakat dan filantropi di Indonesia merupakan warisan nilai Nabi yang nyata.

Kritik dan Tantangan

Benar, ada yang menilai cinta Nabi hanyalah romantisme masa lalu. Namun, tantangan itu justru mengingatkan kita agar tidak terjebak pada simbol kosong dan menyeimbangkan ritual dengan aksi nyata.

Cinta Nabi bukan sekadar slogan, tetapi pedoman hidup yang harus hadir dari meja kerja, ruang kelas, hingga kebijakan publik.

Cinta yang Membawa Perubahan

Pertanyaan sederhana bisa menjadi kompas hidup: “Apa yang akan Nabi lakukan jika berada di posisiku?”

Jika pertanyaan ini kita jadikan pedoman, cinta kepada Nabi akan menjadi energi transformatif. Ia mengubah diri, keluarga, masyarakat, bahkan bangsa.

Cinta Nabi sejati menghadirkan keadilan, kasih sayang, dan kedamaian. Mari mulai dari hal kecil: jujur dalam bekerja, ramah kepada tetangga, dan sabar bersama keluarga.

Itulah cinta Nabi yang nyata, sederhana dan membahagiakan. (*)