• Jumat, 05 September 2025

‎Perusahaan Tambang Emas di Tanggamus Diduga Serobot Lahan Warga Jadi Kompensasi

Jumat, 05 September 2025 - 14.28 WIB
30

‎Kantor BPN/ATR Kabupaten Tanggamus dan pihak PT Natarang Mining saat membahas lahan kompensasi di Kecamatan Kelumbayan. Foto: Sayuti/kupastuntas.co

‎Kupastuntas.co, Tanggamus – Udara pagi di Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus, Lampung masih menyimpan aroma tanah basah usai semalaman diguyur hujan.

Di pekon-pekon yang tenang, seperti Unggak, Penyandingan, dan Susuk, kehidupan warga berjalan apa adanya, seperti berkebun, beternak, dan sebagian menggantungkan hidup dari hasil hutan.

‎Namun, di balik kesederhanaan itu, kini mengendap keresahan besar. Sebidang tanah yang mereka warisi turun-temurun, dengan total seluas 54 hektare, tiba-tiba diduga masuk dalam daftar kompensasi lahan milik PT Natarang Mining, perusahaan tambang emas raksasa yang beroperasi di kawasan hutan lindung Register 39 di Pekon Gunung Doh, Kecamatan Bandar Negeri Semoung, Kabupaten Tanggamus.

‎Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011, setiap perusahaan tambang yang memanfaatkan kawasan hutan diwajibkan menyediakan lahan kompensasi yang bersih dari sengketa hukum maupun kepemilikan.

Aturannya jelas, tidak boleh ada klaim sepihak, apalagi tumpang tindih dengan hak rakyat.

‎Namun, hasil investigasi lapangan menunjukkan kenyataan lain.

Dari total 104 hektare lahan kompensasi di Kecamatan Kelumbayan yang dilaporkan PT Natarang Mining, hanya 50 hektare yang benar-benar dibeli secara sah.

Sisanya, 54 hektare, ternyata masih tercatat sebagai tanah warga yang memegang sertifikat resmi.

‎"Dari total 104 hektare, yang sah dibeli PT Natarang Mining hanya 50 hektare. Sedangkan 54 hektare sisanya adalah tanah milik warga yang dibuktikan dengan sertifikat,” ungkap Romzi Edy, anggota DPRD Tanggamus dari Fraksi Gerindra, Dapil VI, Jumat (5/9/2025).

‎Romzi menjelaskan, lahan yang diklaim tersebut tersebar di tiga pekon, yakni Unggak, Penyandingan, dan Susuk. Pekon Unggak disebut sebagai titik dengan klaim terbanyak.

Ia menilai, dugaan manipulasi ini harus segera dibuka secara terang karena menyangkut hak masyarakat.

‎“Saya akan mendorong Komisi II dan III serta pimpinan DPRD agar memanggil pihak terkait dalam rapat dengar pendapat. Jelas ini kelalaian yang tidak bisa dibiarkan,” tegasnya

‎Yang lebih mengejutkan dari informasi yang berhasil dihimpun Kupastuntas.co menunjukkan, persoalan ini bukan sekadar soal administrasi atau kelalaian perusahaan.

Ada dugaan kuat sebagian lahan kompensasi yang bermasalah tersebut kini dikuasai oleh oknum mantan pejabat Pemkab Tanggamus dan anggota DPRD aktif.

‎"Lahan kompensasi perusahaan tambang emas di Kelumbayan ini sudah dibagi-bagikan, dan dikuasi oleh mantan pejabat dan anggota DPRD," ungkap seorang warga Kelumbayan yang enggan dituliskan namanya.

‎Meski belum ada konfirmasi resmi, kabar ini kian mempertebal aroma permainan kekuasaan di balik polemik lahan kompensasi. Warga pun bertanya-tanya, apakah benar hak mereka telah dialihkan untuk kepentingan segelintir orang berpengaruh?

‎Bagi warga, tanah bukan sekadar hamparan kebun. Ia adalah sumber hidup, identitas, dan warisan. Maka kabar bahwa sebagian tanah mereka tiba-tiba “berubah status” menjadi lahan kompensasi tambang membuat luka kolektif.

‎“Kalau tanah ini hilang, kami mau makan apa?” keluh salah satu warga Unggak yang enggan disebut namanya.

Seperti banyak warga lain, ia hanya bisa menggantungkan harapan pada aparat hukum.

‎Terpisah, Bagian Humas dan CSR PT Natarang Mining Muhammad Eka Putra mengatakan, pembelian lahan kompensasi di Kecamatan Kelumbayan sejak tahun 2018  diserahkan kepada pihak ketiga.

"Dalam praktiknya terjadi kekeliruan, terjadi miss, tapi perusahaan tidak lepas tangan. Kami sedang berkoordinasi dengan BPN Tanggamus,” ujarnya.

‎Namun, jawaban itu belum cukup menenangkan publik. Apalagi, Eka mengaku tak mengetahui detail kasus lantaran sedang cuti. Kesan lepas tangan pun menyeruak, seakan-akan masalah serius ini hanya ditanggapi sebagai urusan administratif belaka.

‎PT Natarang Mining bukan nama asing dalam daftar kontroversi lingkungan di Lampung.

Berdasarkan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Provinsi Lampung 2019, perusahaan ini mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) seluas 3.058 hektare.

Konsesi penambangan aktifnya bahkan mencapai 20.000 hektare di Register 39, sebuah kawasan yang sejatinya berfungsi sebagai hutan lindung.

‎Dengan luas konsesi sebesar itu, kehadiran perusahaan ini selalu menimbulkan perdebatan, yakni antara kepentingan ekonomi dan tanggung jawab ekologis.

‎Kini, dengan dugaan pencatutan 54 hektare lahan warga yang bahkan disebut-sebut beralih ke tangan oknum elit, polemik itu memasuki babak baru.

Bukan lagi hanya tentang hutan yang rusak, tetapi juga tentang manusia yang terancam kehilangan haknya.

‎Kasus ini menyoroti sebuah pertanyaan mendasar, yaitu sejauh mana negara hadir untuk melindungi warganya ketika berhadapan dengan korporasi besar.

"Aturan sudah jelas, sertifikat tanah warga pun ada, tetapi mengapa lahan itu bisa masuk dalam dokumen kompensasi tambang?," kata warga lainnya yang juga minta tidak dituliskan namanya.

‎Publik menunggu langkah nyata dari DPRD, BPN, dan aparat penegak hukum. Sebab jika dibiarkan, kasus ini berpotensi menjadi preseden buruk, bahwa tanah rakyat bisa begitu saja diselipkan dalam laporan perusahaan dan kemudian dikuasai oleh segelintir orang berpengaruh.

‎Di tengah hamparan hijau Register 39 yang perlahan terkikis, warga Kelumbayan masih bertahan dengan harapan sederhana, yaitu tanah mereka tetap milik mereka, bukan angka dalam laporan tambang emas. (*)