Rakyat Susah, Elit Jangan Pesta Pora, Oleh: Donald Harris Sihotang

Dr. Donald Harris Sihotang, S.E., M.M, CEO Kupas Tuntas Grup, yang juga Dosen Magister Manajemen Pasca Sarjana Universitas Saburai Bandar Lampung. Foto: Dok.
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Sejak 25 Agustus 2025, gelombang protes rakyat bergema di berbagai daerah Indonesia. Medan, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, hingga Makassar, masyarakat turun ke jalan melampiaskan kemarahan.
Mereka sudah muak dengan kesenjangan antara rakyat jelata dan pejabat yang semakin tamak, rakus, dan jauh dari realitas hidup warganya.
Pemicu awalnya adalah terungkapnya tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan bagi anggota DPR. Itu pun di luar gaji pokok, tunjangan perjalanan, dan fasilitas lain yang nilainya fantastis.
Total penghasilan mereka bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan. Persisnya tidak jelas, karena tidak pernah dibuka secara transparan. Kondisi serupa juga terjadi di BUMN, kementerian, hingga pejabat daerah. Publik pun merasa dilecehkan, pejabat hidup mewah, sementara rakyat harus berhemat sekadar membeli beras atau membayar sekolah anak.
UMR buruh di sejumlah daerah yang rata-rata hanya Rp2,5–Rp3 juta per bulan. Jurang ini terlalu lebar. Maka wajar jika rakyat menilai para pejabat telah “menikam” mereka dengan kebijakan yang tidak adil. Protes ini adalah akumulasi kekecewaan panjang.
Rakyat melihat pejabat sibuk bagi-bagi jabatan, berfoya-foya dengan fasilitas negara, tapi kinerjanya rendah. Hukum bisa dipermainkan, kasus korupsi ditutup-tutupi, dan oligarki semakin menggurita. Yang dekat kekuasaan semakin makmur, yang jauh dibiarkan menjerit.
Kemarahan rakyat makin menyala karena gaya hidup pejabat dipertontonkan tanpa empati. Mobil mewah, pesta pora, flexing barang-barang branded, hingga joget-joget anggota DPR yang viral di tengah rakyat susah menjadi simbol betapa jauhnya jarak mereka dari penderitaan publik.
Sementara itu, di lapangan rakyat merasakan dampak nyata. Tambang yang dikelola ugal-ugalan merusak lingkungan, memicu banjir dan longsor. Namun hasilnya hanya dinikmati segelintir pejabat dan pemilik modal di ibu kota. Warga di sekitar tambang tetap miskin, sengsara, dan kehilangan tanah serta sumber air bersih.
Lebih ironis lagi, aparat yang seharusnya melindungi justru kerap bertindak represif. Tragedi meninggalnya driver ojol, Affan Kurniawan, yang terlindas kendaraan taktis Polisi di Jakarta pada 28 Agustus, menjadi simbol kebrutalan negara terhadap rakyat kecil. Nama Affan kini hidup sebagai ikon perlawanan rakyat.
Gelombang aksi ini bukan sekadar luapan emosional, tapi juga melahirkan tuntutan yang jelas, 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang.
Tuntutan jangka pendek mencakup pembekuan tunjangan DPR, pembentukan komisi independen untuk menyelidiki kasus Affan, pembebasan demonstran yang ditahan, hingga penarikan TNI dari operasi sipil.
Sedangkan tuntutan jangka panjang menekankan reformasi politik, audit independen DPR, revisi UU KPK agar kembali kuat, penghapusan fasilitas mewah DPR, transparansi anggaran, serta reformasi partai politik agar kaderisasi berbasis integritas dan kapasitas, bukan sekadar kedekatan dengan kekuasaan.
Respons pemerintah masih setengah hati. Pencabutan tunjangan rumah dan moratorium perjalanan luar negeri DPR hanyalah basa-basi yang tidak menyentuh akar persoalan. Publik tidak ingin kosmetik politik, tetapi perubahan nyata.
Sindiran keras pun muncul, DPR kini lebih mirip “Dewan Karyawan Rakyat (DKR)”, karyawan elit yang digaji besar, tapi minim kinerja dan empati. Nama ini menjadi simbol betapa rakyat merasa dikhianati oleh lembaga yang seharusnya menjadi wakil mereka.
Rakyat ingin wakil yang benar-benar bekerja, bukan yang sekadar hadir di ruang sidang lalu menikmati fasilitas negara. Mereka menuntut agar jabatan politik tidak lagi diisi oleh figur tanpa kapasitas. Pemimpin dengan ijazah pas-pasan, tanpa integritas dan prestasi, tidak layak mengatur hajat hidup bangsa.
Gelombang protes ini adalah alarm keras. Demokrasi sedang menghadapi krisis legitimasi. Jika pemerintah dan DPR hanya sibuk mencari “dalang kerusuhan”, mereka salah alamat. Dalang sesungguhnya adalah ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi, dan perilaku elit yang serakah.
Rakyat tidak meminta kemewahan. Mereka hanya ingin hidup layak, pekerjaan yang adil, harga pangan yang terjangkau, pendidikan dan kesehatan yang mudah diakses, serta lingkungan yang lestari. Namun yang mereka saksikan justru kebijakan yang memanjakan elit, dana pensiun seumur hidup untuk pejabat, fasilitas berlebih, hingga anggaran yang tidak transparan.
Pemerintah harus sadar, energi rakyat yang tumpah di jalanan bisa menjadi kekuatan positif bila direspons dengan reformasi tulus. Tapi jika diabaikan, ia akan menjelma menjadi badai yang mengguncang fondasi negara.
Demo yang meluas sejak 25 Agustus bukan sekadar letupan sesaat. Ini refleksi mendalam dari rakyat yang muak pada ketidakadilan. Mereka marah karena merasa ditinggalkan, bahkan ditindas oleh mereka yang seharusnya melayani.
Kematian Affan Kurniawan menjadi pengingat bahwa negara bisa begitu kejam pada warganya. Namun dari tragedi itu juga lahir harapan, rakyat bisa bersatu menuntut perubahan.
Bola kini ada di tangan DPR, pemerintah, dan partai politik. Apakah mereka mau jujur berbenah, atau terus bertahan di zona nyaman sampai rakyat benar-benar hilang kesabaran. Jawabannya akan menentukan masa depan Bangsa ini. (*)
Berita Lainnya
-
254.017 Warga Lampung Belum Masuk Peserta Jaminan Kesehatan
Rabu, 03 September 2025 -
Pengamat Hukum: Larangan Flexing Perlu Diperkuat Aturan Turunan
Rabu, 03 September 2025 -
Pemprov Lampung Sampaikan Belasungkawa kepada Keluarga Pegawai Honorer Korban Pohon Tumbang
Rabu, 03 September 2025 -
Lima Dosen UIN Raden Intan Lampung Lolos Open Panel AICIS+ 2025
Rabu, 03 September 2025