• Kamis, 04 September 2025

Pejabat Flexing Bikin Pusing, Oleh: Arby Pratama

Rabu, 03 September 2025 - 12.05 WIB
251

Arby Pratama Wartawan Kupas Tuntas di Kota Metro. Foto: Dok.

Kupastuntas.co, Metro - Pusing bagi rakyat yang sedang dihimpit kesulitan hidup. Pusing bagi pemerintah pusat yang harus meredam gejolak kepercayaan publik. Pusing pula bagi pemerintah daerah yang kelabakan mencari cara agar birokrasi tetap dipercaya.

Di tengah gejolak ekonomi dunia, harga pangan yang naik, energi tak stabil, hingga inflasi yang terus mengancam, para pejabat justru sibuk memamerkan harta dan gaya hidup mewah.

Mulai dari tas branded, mobil mewah, pesta ulang tahun glamor, hingga liburan ke luar negeri, semuanya dipertontonkan di media sosial. Perilaku itu bukan hanya tidak etis, tapi juga memperdalam jurang antara penguasa dan rakyat.

Instruksi Mendagri Tito Karnavian agar pejabat publik menghentikan flexing adalah sinyal kuat bahwa pemerintah pusat sedang "pusing tujuh keliling." Mereka sadar, satu unggahan hedon seorang pejabat bisa merusak citra seluruh pemerintahan. Saat rakyat diminta berhemat dan bersabar, justru pejabat publik yang pamer kemewahan.

Mendagri paham, flexing adalah bom waktu. Bukan hanya memancing kecemburuan sosial, tetapi juga bisa memicu krisis legitimasi politik. Karena itu, instruksi dikeluarkan, bukan semata demi menjaga etika, tetapi untuk meredam emosi rakyat yang sudah di ambang batas.

Di tingkat daerah, kepala daerah juga ikut pusing. Mereka harus menerjemahkan instruksi Mendagri ke dalam tindakan nyata. Imbauan demi imbauan sudah disampaikan, tapi publik tak lagi puas hanya dengan kata-kata.

Jika ada pejabat daerah ketahuan flexing, publik ingin melihat sanksi tegas. Tanpa itu, pemerintah daerah dianggap tak serius, bahkan dituduh ikut melindungi perilaku hedonis di lingkaran kekuasaan. Di sinilah letak kepusingan pemerintah daerah serba salah menghadapi tekanan publik sekaligus menjaga solidaritas internal birokrasi.

Namun, yang paling pusing tentu saja rakyat.

Di tengah beban hidup yang makin berat, mereka melihat para pejabat pamer kekayaan tanpa rasa malu. Mereka bertanya-tanya: dari mana harta itu berasal? Apakah sesuai dengan gaji resmi, atau hasil dari proyek, fee, dan permainan di balik meja?

Rakyat kini tak bisa lagi ditipu. Media sosial membuat setiap gerak pejabat transparan. Satu unggahan mewah bisa viral dan jadi bahan olok-olok publik. Dan sekali kepercayaan rakyat runtuh, sangat sulit dibangun kembali.

Di balik kepusingan ini, sebenarnya ada peluang besar. Menindak tegas pejabat yang nekat flexing bisa menjadi pintu masuk untuk bersih-bersih birokrasi.

Selama ini, banyak pejabat daerah hanya pandai pamer prestasi fiktif, berpose di media sosial, atau menjilat penguasa demi jabatan dan proyek. Mereka tak punya gagasan, tak punya program nyata, dan tak benar-benar bekerja untuk rakyat.

Instruksi larangan flexing bisa dijadikan senjata untuk menyingkirkan pejabat semacam itu. Mereka yang hanya sibuk membangun citra dan menikmati fasilitas negara layak dievaluasi, bahkan dicopot. Sebaliknya, mereka yang bekerja dengan integritas dan kesederhanaan harus diberi ruang untuk membuktikan diri.

Flexing pejabat tidak hanya bikin pusing, tapi juga menunjukkan wajah asli birokrasi yang sakit—lebih suka terlihat hebat ketimbang benar-benar bekerja.

Inilah saatnya pemerintah pusat dan daerah menunjukkan komitmen nyata, bahwa jabatan adalah amanah, bukan panggung pertunjukan.

Jika momentum ini dimanfaatkan, larangan flexing bisa menjadi titik balik lahirnya birokrasi baru yang lebih sederhana, bersih, dan berorientasi pada kerja nyata.

Jika tidak, flexing hanya akan terus jadi bahan olok-olok, sementara kepercayaan publik makin tergerus.

Pejabat flexing bikin pusing semua pihak. Pusing bagi pemerintah pusat karena citra nasional rusak. Pusing bagi pemerintah daerah karena rakyat tak percaya. Pusing bagi rakyat karena merasa ditertawakan oleh pejabatnya sendiri.

Namun, kepusingan ini bisa berubah menjadi peluang untuk membersihkan birokrasi dari pejabat tak berguna, yang hanya pandai menjilat dan pamer prestasi palsu. Sebab pada akhirnya, rakyat hanya butuh satu hal: pejabat yang benar-benar bekerja, bukan yang sibuk flexing. (*)