• Senin, 01 September 2025

Ketika Suara Publik Dimatikan, Oleh: Didik Tri Putra Jaya

Minggu, 31 Agustus 2025 - 10.27 WIB
215

Didik Tri Putra Jaya, Wartawan Kupas Tuntas di Kota Bandar Lampung. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Ketika ketegangan sosial meningkat di berbagai kota di Indonesia, TikTok memilih langkah drastis dengan mematikan fitur siaran langsung (Live) selama beberapa hari ke depan.

Dalihnya jelas, demi menjaga keamanan dan memastikan ruang digital tetap 'beradab'. Namun di balik narasi keamanan itu, ada hal yang lebih mengkhawatirkan, yakni pembungkaman suara publik.

Di era digital, live streaming bukan sekadar alat hiburan. Ia adalah ruang demokrasi baru, tempat warga biasa bisa mendokumentasikan kenyataan di lapangan secara real-time.

Siaran langsung telah menjadi senjata rakyat dalam menghadirkan narasi tandingan terhadap kekuasaan, dalam memverifikasi informasi, dan dalam mengungkap kebenaran yang tidak selalu muncul di media arus utama.

Keputusan TikTok mematikan fitur Live, meskipun dilakukan secara 'sukarela', sebetulnya tidak berdiri dalam ruang hampa. Ia muncul di tengah-tengah situasi politik yang sensitif, ketika gelombang demonstrasi merebak dan kecurigaan publik terhadap kekerasan aparat meningkat.

Maka wajar jika banyak pihak melihat langkah ini sebagai bentuk sensor halus terhadap kebebasan berekspresi.

Kita tentu tidak menutup mata bahwa fitur Live memang rentan disalahgunakan. Hoaks, rekaman lama yang diklaim sebagai siaran langsung, hingga konten provokatif bisa tersebar dengan cepat.

Namun, apakah jawaban dari persoalan ini adalah menutup total aksesnya? Bukankah logika itu sama saja dengan menutup jalan karena takut terjadi kecelakaan?

Penutupan fitur Live bukan solusi, melainkan bentuk kemalasan dalam menghadapi tantangan moderasi konten. Yang diperlukan bukan membungkam semua suara, melainkan menyaring mana suara yang merusak dan mana yang justru menyelamatkan.

Dalam konflik sosial, dokumentasi publik sering kali menjadi satu-satunya cara agar pelanggaran HAM tidak lenyap begitu saja dalam kabut propaganda.

Pemerintah pun terlihat absen dalam situasi ini. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) hanya merujuk pada pernyataan TikTok, tanpa menunjukkan sikap tegas atau kerangka hukum yang jelas.

Padahal, jika negara benar-benar ingin menjaga ruang digital tetap sehat, seharusnya ia hadir, bukan diam. Seharusnya ia mengatur, bukan hanya membiarkan platform berbuat sesukanya.

Apalagi, tidak ada deklarasi keadaan darurat dari pemerintah. Artinya, tidak ada dasar hukum untuk membenarkan pembatasan layanan digital, termasuk siaran langsung.

Pengadilan pun telah menegaskan bahwa pemadaman internet atau pembatasan digital hanya sah jika dilakukan dalam kondisi darurat resmi. Maka pertanyaannya: untuk siapa dan oleh siapa suara publik dimatikan?

Ada bahaya besar ketika akses terhadap informasi dibatasi secara sistematis, terutama di saat masyarakat sangat membutuhkannya.

Ketika publik tidak lagi bisa melihat langsung apa yang terjadi di lapangan, ruang itu akan diisi oleh spekulasi, ketakutan, dan manipulasi. Alih-alih menjaga ketertiban, kebijakan ini bisa jadi justru memperbesar potensi konflik.

Kita tidak sedang membela konten kekerasan atau ujaran kebencian. Kita sedang membela hak publik untuk tahu, untuk menyaksikan, dan untuk berbicara.

Solusinya bukan menutup kanal suara rakyat, tetapi memperkuat sistem cek fakta, memperluas edukasi digital, dan mendampingi masyarakat agar lebih cerdas bermedia.

TikTok seharusnya bisa lebih bijak dalam membaca konteks sosial Indonesia. Keamanan memang penting, tapi jangan sampai atas nama keamanan, suara publik justru dibungkam. Karena dalam demokrasi, ketika suara rakyat dimatikan, yang tumbuh bukanlah ketertiban, melainkan ketakutan. (*)